Categories
Telusur

Bak Benalu, Industri Tambang Nikel Meraup Laba dari Buruknya Kondisi Kerja Buruh

Trimurti.id, Bandung –  Dalam beberapa tahun terakhir, bahan tambang nikel menjadi primadona dan diagungkan para pengurus publik di Indonesia. Nikel dianggap sebagai penyangga modernisasi dunia, merupakan bahan baku utama untuk produksi peralatan rumah tangga, piranti elektronik, hingga baterai penggerak kendaraan bertenaga listrik. 

Saking merebaknya demam nikel, Presiden Joko Widodo selaku pengurus publik sampai rela turun tangan menyambut Elon Musk dan para taipan berekening tak berseri lainnya untuk mempromosikan tambang-tambang nikel di Indonesia. 

Namun, jauh di pedalaman Sulawesi Tengah, tepatnya di Kabupaten Morowali, -bak benalu yang menghisap makanan dari tanaman yang dihinggapinya- perluasan areal pertambangan nikel terus berlangsung dengan merampas lahan, merusak lingkungan hidup, dan mengabaikan keselamatan serta hak-hak para buruh. 

Merespon dampak dari perluasan industri tambang nikel, pekan lalu, 10 Mei 2023, Perkumpulan Penggiat Kesehatan Masyarakat (Safety) dan Indoprogress menggelar diskusi publik bertajuk “Ekspansi Industri Tambang dan Respon Gerakan Sosial” bertempat di Kantor Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jawa Barat, Kota Bandung. 

Diskusi ini dipandu oleh Fahmi Panimbang (Indoprogress), menghadirkan pembicara Fuad Abdulgani (pengajar di Universitas Lampung), Sugeng Riyadi (Lembaga Perburuhan Sedane), Harold Aaron Perangin-rangin (Safety).

Fuad Abdulgani menggambarkan pertambangan sebagai industri yang sangat rakus lahan dapat menimbulkan krisis yang berkelanjutan. Ketika warga terenyahkan dari ruang hidupnya, ritus pangan milik warga akan ikut lenyap, kemudian krisis pangan tak terelakkan.  Selain itu, perluasan industri tambang tentunya mengundang migrasi buruh dari luar daerah dan membuat populasi buruh melonjak.

Fuad menambahkan, dalam kondisi demikian, muncul aktor-aktor baru yang menguasai dan mengatur pasokan pangan untuk wilayah pertambangan dan sekitarnya. Contohnya, begitu terjadi lonjakan jumlah penduduk, para pedagang besar berlomba-lomba memasok ayam broiler ke wilayah tersebut. Mirisnya, penduduk yang tergusur dari kampung asalnya serta para buruh tambang akan sulit untuk mendapatkannya, karena harganya yang tak terjangkau.

“Yang akan terjadi selanjutnya adalah degradasi kesehatan buruh, lebih jauh berpengaruh pada masalah kesehatan, khususnya masalah nutrisi,” yang bergabung dalam diskusi melalui saluran online.

Ia juga menegaskan, adanya industri tambang di suatu wilayah akan mengenjot industrialisasi pangan, yang akan berdampak pada kenaikan emisi dan memperparah krisis iklim. 

Nyawa Buruh yang Tak Seberharga Nikel

Sementara itu, Sugeng Riyadi menyoroti buruknya kondisi kerja buruh-buruh di PT Gunbuster Nickel Industry (PT GNI) di Kabupaten Morowali. Saking buruknya, buruh yang terjatuh tidak dianggap sebagai kecelakaan kerja oleh perusahaan. Menurut keterangan yang diperolehnya, PT GNI bahkan tidak menyediakan alat pelindung diri (APD) bagi buruh. 

“Persoalan ini berkaitan dengan (hasrat untuk menekan) biaya produksi dan mempertahankan keuntungan perusahaan,”ujar Sugeng. Alih-alih memastikan keselamatan para buruh, perusahaan lebih mementingkan laba. 

Ada cerita menarik tersendiri mengenai APD. Sekali waktu perusahaan pernah membagikan APD untuk para buruh. Tampaknya ada pamrih di balik pembagian tersebut, karena jam kerja buruh menjadi lebih Panjang dari yang semestinya. 

Para buruh bukan tak berupaya untuk memperbaiki kondisi kerja. Pada Sabtu, 14 Januari 2023, kemarahan buruh di pabrik pengolahan nikel itu memuncak. Mereka menuntut perbaikan kondisi kerja dan kompensasi yang adil kepada dua orang buruh yang meninggal karena kecelakaan kerja pada 22 Desember 2022.

Sayangnya, aksi mogok ini berujung dengan bentrokan antara buruh lokal dan buruh migran asal China. Bibit rasisme mudah tersemai, antara lain karena PT GNI membedakan upah dan proporsi kerja para buruh lokal maupun buruh migran asal China. 

Harold Aaron menambahkan, kondisi kerja buruk sebenarnya juga menimpa semua buruh. Baik buruh migran asal China maupun bukan. “Padahal setiap lini produksi industri nikel memiliki resiko kerja masing-masing lho,”tukasnya.

Kecelakaan kerja hal lumrah terjadi dan diperburuk lagi oleh keengganan perusahaan melengkapi fasilitas kesehatan seperti klinik dan lain-lain. Lantaran fasilitas kesehatan yang minim, buruh yang ingin memeriksakan kesehatan perlu menempuh satu jam perjalanan melewati jalanan rusak dan berdebu guna memperoleh rekam medis.  

Memang ada masalah-masalah yang khususnya dihadapi oleh buruh migran. Menurut Harold, kebanyakan buruh migran asal China juga tidak dapat mengklaim BPJS kesehatan karena persoalan status kerjanya. Mereka adalah buruh yang dikontrak hanya untuk masa kerja tiga bulan. 

Pada para buruh migran asal China ini juga ditemukan kasus-kasus penahanan paspor oleh pihak perusahaan. Harold menilai, penahanan paspor ini bentuk kontrol dari perusahaan, agar buruh patuh dan tidak berbuat macam-macam.

Diskusi ini dihadiri kurang lebih 30 orang yang berasal dari organisasi serikat buruh, organisasi pembela HAM dan lingkungan, serta media. Di akhir sesi diskusinya, Harold mengatakan, “Saat ini kita perlu membangun serikat yang anti xenophobic guna menepis semua isu-isu rasisme mengatakan buruh China akan merebut pekerjaan warga lokal.”

Sementara industri tambang terus memperluas wilayah produksinya, tanpa mempersoalkan asal-usul modal dan warna kulit buruhnya, maka  seluruh organisasi perjuangan rakyat perlu untuk membangun solidaritas antar rakyat tertindas. Tanpa memandang sektor, profesi, ras, suku maupun agama. 

Reporter: Baskara Hendarto

Editor: Cecep Hidayat