Menurut pepatah, kalender hanya mencantumkan hari-hari besar. Hari raya, hari kemerdekaan, dan peringatan penting lainnya. Tapi tidak dengan hari sial.
Beberapa minggu ke belakang media menyiarkan rangkaian kesialan yang dialami Husein Ali Rafsanjani, guru muda lulusan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) yang mendapat tugas mengajar di kota kecil Pangandaran, Jawa Barat. Kesialan datang bertubi-tubi sesudah Husein melaporkan pungutan liar (pungli) yang menimpa para guru di Pangandaran.
Dalam video yang diunggah di platform TikTok, Hussein mengungkap tentang “ongkos transportasi” ia bayarkan untuk mengikuti kegiatan pelatihan dasar di Bandung pada 2020 silam. Pungutan itu tidak masuk akal, karena Husein berangkat ke Bandung menggunakan kendaraan pribadi. Lebih konyol lagi, guru-guru yang berhalangan mengikuti pelatihan, karena sakit dan hamil, tetap harus merogoh kantungnya masing-masing untuk membayar pungli itu.
Bagi Husein, yang sudah berbulan-bulan mengajar tanpa diupah, pungutan “transportasi” itu sungguh memberatkan. Ia melaporkan pungli yang dialaminya secara anonim ke lapor.go.id. Harapannya, akan ada penyelidikan dan tindakan tegas atas kasus ini.
Kita tentu mafhum. Tenaga guru sudah lama menjadi korban pungli. Memaksa orang membayar pungli, tindakan ala premanisme, dan lagak petantang-petenteng dari pemilik kekuasaan adalah kejadian lazim di segala sektor di negara ini. Hati nurani Husein tentu terganggu menyaksikan pungli yang di depan matanya sendiri. Dia mungkin juga naif dan tak mengira apa yang bakal menimpanya kemudian.
Sesudah laporan dilayangkan, pihak berwenang di Pangandaran -bukannya ikhlas dan dengan lapang dada menyelidiki kebenaran kejadian punglinya – malah sibuk menyangkal. Semua hal dilakukan demi menjaga marwah, harkat dan martabatnya pemerintah daerah Pangandaran.
Daripada segera mencari tahu kebenaran laporan, pejabat setempat malah mati-matian menyelidiki siapa gerangan orang yang membuat laporan ke lapor.go.id. Siapa sih gerangan si pengkhianat itu? Singkat cerita, kemudian diketahuilah bahwa guru muda Huseinlah pelakunya.
Husein kemudian diteror beberakali kali, diancam oleh orang-orang yang merasa nama baiknya tercoreng. Sebenarnya bukan hanya Husein yang ditekan. Rekan-rekannya sesama guru di Kabupaten Pangandaran juga diancam tidak akan mendapatkan surat keputusan pengangkatan sebagai guru ASN.
Mengalami tekanan seberat itu, Husein yang malang sempat memutuskan untuk mencabut laporannya dan mengundurkan diri dari pekerjaan sebagai guru.
Sesudah video itu ramai diperbincangkan, Dani Hamdani, yang menjabat sebagai Kepala Badan Kepegawaian & Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Kabupaten Pangandaran dengan agak malu-malu berkomentar, bahwa Husein sesungguhnya tidak layak untuk menjadi ASN karena ia tidak lulus tes kejiwaan.
Pernyataan Dani Hamdani sungguh bermasalah. Pertama, kita tidak tahu standar apa yang dipakai? Tidak diketahui pula seperti apakah tes kejiwaan yang dipakai untuk menyaring ASN. Apakah tes itu dirancang untuk menjaring orang-orang yang menganut nilai-nilai adiluhung, seperti culas, tidak jujur, tidak bertanggungjawab, korup, berwibawa. Atau berintegritas, dan bebas dari asap rokok, mungkin? Kemudian, hasil tes kejiwaan adalah informasi pribadi yang tidak seharusnya diumumkan ke publik.
**
Pungli yang dialami Husein cukup menghebohkan. Beritanya menghiasi media berhari-hari. Sebetulnya saya ingin terkejut. Sayangnya, cerita Husein sama sekali tidak mengejutkan. Tidak ada yang merasa heran, pungli memang masih saja terjadi bahkan di lembaga pemerintahan, lembaga yang memiliki marwah yang agung, dan menjunjung nilai kejujuran, berintegritas, dalam melayani rakyat.
Kejadian pungli ini kebetulan saja terjadi di lingkungan pemerintahan dan di sektor pendidikan. Kejadian yang serupa bisa terjadi di berbagai lapangan pekerjaan. Sudah menjadi rahasia umum, di perusahaan-perusahaan kotor, anda harus menyiapkan uang pelicin untuk diterima bekerja, agar urusan lancar dan tidak dijegal calo. Baru-baru tersiar kabar tentang seorang buruh di Cikarang yang harus bersedia diajak “Staycation” agar hanya kontrak kerjanya diperpanjang. Singkat cerita, buruh harus menyerahkan sesuatu, baik uang pungli maupun imbalan bukan berbentuk uang, untuk mendapatkan atau mempertahankan pekerjaan.
Kesialan berikutnya yang dialami Husein adalah, tampaknya tidak ada satupun organisasi profesi guru atau serikat guru yang memperlihatkan solidaritas apalagi menawarkan bantuan untuk Husein. Pungli sudah lama terjadi, kesejahteraan guru masih jauh dari memuaskan, ditambah lagi tanggung jawab dan jam kerja mereka juga terus bertambah; namun solidaritas tidak kunjung berkembang di antara para guru.
Akhir dari kasus Husein, pejabat berwenang setempat yaitu kepala BKPSDM Dani Hamdani dinonaktifkan dari jabatannya dan penyelidikan dapat terus dilakukan. Sementara itu, Bupati Pangandaran Jeje Wiradinata dikabarkan tidak yakin adanya kejadian pungli yang dilaporkan Husein. Menurut informasi yang dia peroleh, uang yang diberikan merupakan kesepakatan para peserta pelatihan dasar CPNS. Kemudian, dengan tekanan bertubi-tubi yang dialaminya, guru Husein akhirnya memilih pindah mengajar dari Pangandaran ke Bandung.
Kesialan yang dialami Husein mungkin sudah berakhir. Dan, langkah-langkah tambal-sulam yang ditempuh pemerintah daerah Pangandaran barangkali cukup untuk meredakan amuk warganet. Namun demikian, yang jauh lebih dibutuhkan adalah membasmi pungli secara sistemik serta memperbaiki kondisi kerja dan upah guru.
Penulis: Syawahidul Haq
Editor: Cecep Hidayat