Trimurti.id, Bandung—Ada yang berbeda di pelataran Los Cihapit. Jika pasar tradisional hanya dikenal sebatas tempat transaksi jual-beli, Senin 9 Desember kemarin, pelataran Los Cihapit tiba-tiba disulap menjadi ruang diskusi dan pemutaran film berjudul Keselamatanmu Tidak Dijamin.
Keselamatanmu Tidak Dijamin merupakan film dokumenter besutan Bambang Dahana yang memiliki fokus pada masalah kesehatan dan keselamatan kerja (K3) buruh di seluruh sektor yang sering kali diabaikan oleh perusahaan bahkan negara. Secara isi, film tersebut memuat kisah tiga narasumber yang bercerita tentang penyakit yang mereka alami selama bekerja.
Pada bagian awal, film ini menceritakan kisah Bono, pengurus dari Serikat Buruh Kerakyatan (Serbuk) dan mantan buruh di salah satu perusahaan produsen atap gelombang yang berbahan baku asbes. Ia mulai bekerja sejak pabrik dibangun dan ditawari menjadi operator produksi di bagian mixing hingga akhirnya menderita sakit pada saluran paru-paru. Bersama Serbuk, kini Bono mendesak dihentikannya produksi dan penggunaan asbes yang sangat berbahaya bagi kesehatan.
Selanjutnya, Bono bertemu dengan Zaky Yamani. Jika sebelumnya Bono yang diwawancarai, kali ini Bono yang mewawancarai Zaky. Mereka membincang hal yang sama. Zaky merupakan mantan jurnalis Pikiran Rakyat yang mengalami gangguan psikis akibat bekerja dan kemudian dipecat pada 2016 silam.
Terakhir, Zaky mendatangi Sumi, seorang pengurus Serikat Pekerja Nasional (SPN) di Bogor. Lantas Zaky mewawancarai Sumi. Dulu Sumi bekerja di bagian laboratorium kimia sebuah perusahaan tekstil. Sumi mengalami masalah pada rahimnya, hingga mengalami keguguran sebanyak lima kali. Ketika hendak membantu kawan-kawan buruhnya untuk tidak dipecat, ia malah dipecat.
Benang Merah di antara Kusutnya Kesehatan Buruh
Ada tiga hal yang kemudian menjadikan tiga narasumber dalam film tersebut saling terhubung. Pertama, mereka bekerja dan kemudian mengalami sakit. Kedua, penyebab sakit yang dialami oleh mereka tak pernah diakui oleh perusahaan dan negara sebagai dampak dari pekerjaan yang dilakukan. Ketiga, karena penyebabnya tidak diakui sebagai akibat kerja, maka seluruh ongkos perawatan kesehatan ditanggung oleh pribadi.
Sebutlah Bono, ia merasa informasi mengenai dampak buruk yang ditimbulkan asbes terhadap kesehatan bagi buruh yang bekerja, selalu ditutup-tutupi oleh perusahaan bahkan negara sekalipun. “Bahkan Kementerian Tenaga Kerja bilang, bahwa asbes putih itu aman,” kata Bono.
Padahal, mengutip Kumparan.com, pada 2016 saja di Indonesia telah terjadi 984 kasus kematian akibat paparan asbes di tempat kerja. Angka itu mencakup mesotelioma (337), kanker paru (556), asbestosis (15), dan kanker laring serta ovarium (76).
Hal serupa dialami Zaky. Depresi yang ia alami selama bekerja sebagai editor Pikiran Rakyat, tak pernah diakui Pikiran Rakyat sebagai akibat kelelahan bekerja. Bahkan sampai pada proses persidangan, putusan hakim sama sekali tidak menyatakan bahwa pekerjaannya lah penyebab dari sakit yang ia derita.
Sebab menurut Zaky, penyakit yang diakibatkan oleh kerja, sudah seharusnya menjadi tanggung jawab perusahaan untuk membiayai pengobatan. “Karena itu merupakan hak pekerja,” ujarnya.
Begitu pula Sumi. Tempat kerja yang sarat oleh bahan-bahan kimia membuat ia mengalami keguguran sebanyak lima kali. Bahkan teman kerjanya ada yang sampai tidak bisa hamil dan kalau pun memiliki anak, ia lahir dalam keadaan cacat.
“K3 itu juga sama penting dengan upah. Kesehatan itu mahal. Kalau sakit, rangkaian pengobatan itu lebih mahal daripada upah,” kata Sumi.
Mengembalikan Isu Kesehatan sebagai Keselamatan Orang
“Saya ingin mengembalikan isu K3 ini sebagai isu keselamatan orang,” kata Bambang Dahana, pada tengah-tengah diskusi ketika ditanya mengenai alasannya menyoroti isu K3. Menurutnya, masalah kesehatan pada buruh ini terlalu teknis dan medikal.
“Tahun 2019 ini banyak urusan-urusan yang nggak selamat. Ada tumpahan minyak dan gas di Karawang yang tidak ramai di media. Kemudian isu asap yang terjadi tiap tahun, banyak orang menganggap kebakaran itu merupakan kewajaran,” tambahnya.
Saya menemukan sesuatu yang menarik dari apa yang diucapkan narator pada akhir film Keselamatanmu Tidak Dijamin. Bahwa “demokrasi memang dibutuhkan. Agar orang dapat menyurakan kegelisahannya. Agar buruh terjauhkan dari penyakit akibat kerja. Dan tentu saja, agar kita semua… selamat.”
Betul, agar kita semua selamat. Sebuah pesan yang kuat dan menukik, mengingat sisa-sisa bencana akibat tegangan ekonomi dan politik—seperti kabut asap di Sumatera dan Kalimantan serta kematian para demonstran pada protes September lalu—tengah melanda di negeri ini. Semoga kita semua sehat dan selamat!
Reporter: Syawahidul Haq
Editor: Dachlan Bekti