Pukul lima pagi, seperti biasa saya sudah berapih-rapih dan bersiap menuju kampus. Sambil terburu-buru menyiapkan ini dan itu, mata saya tak putus melirik jam dinding di ruang tengah. Sebelum jarum jam jatuh ke angka enam saya harus sudah meninggalkan rumah. Terlambat sepuluh menit saja, besar kemungkinan saya akan bersaing sengit dengan pengendara lain memperebutkan setiap ruang kosong yang bisa disusupi sepeda motor. Ya, terlambat sedikit, saya akan terjebak macet!
Kuliah pagi dimulai pukul tujuh. Jarak dari rumah menuju kampus hanyalah sekitar 15 km. Berkendara dengan kecepatan normal, jarak sependek itu seharusnya dapat ditempuh barang setengah jam. Namun, jangan harap hitung-hitungan itu berlaku bagi warga kota yang setiap hari berjibaku dengan kemacetan Bojongsoang, Bandung Selatan. Jadi, kalau saya rutin bangun dan berkemas sejak pagi buta, itu bukan karena rajin melainkan upaya menghindari kemacetan.
Persoalan serupa, yang dua atau tiga kali lipat lebih kejam, menanti saya kala perjalanan pulang. Pada sore hari, jalanan Bojongsoang akan dipenuhi kendaraan besar, termasuk truk pengangkut pasir dan bahan bangunan yang memuntahkan debu sepanjang perjalanan. Belum lagi bising dari knalpot yang letupannya ‘menembak’ tepat ke wajah. Tantangannya bertambah. Bukan hanya soal soal meliak-liuk di tengah kemacetan, tapi juga melindungi mata dari debu yang beterbangan.
Tiba musim hujan, Bojongsoang semakin runyam. Genangan air memenuhi jalanan, membanjiri pemukiman, dan akan memperparah kemacetan. Perjalanan yang normal satu-dua jam akan molor sampai tiga jam bahkan lebih.
Sudah bertahun-tahun para pelajar, pedagang, buruh pabrik, dan orang biasa seperti saya setiap hari didera kemacetan dan penderitaan tak berguna lainnya. Entah dampak kesehatan apa yang akan muncul di masa yang akan datang akibat setiap hari menghirup debu dan asap knalpot. Sekarang saja saya sudah merasakan sesak nafas dan perih mata.
Selain di Bojongsoang yang pinggiran, kemacetan juga sering terlihat di kawasan sibuk seperti Dago. Bedanya, Bojongsoang macet karena truk pasir, Dago macet karena lalu-lalang mobil mewah dan mahal.
Orang bilang, kemacetan terjadi baik di wilayah kota maupun kabupaten Bandung. Bagi saya, pembedaan menurut batas-batas administratif itu tidak terlalu penting. Toh, kemacetan terjadi di mana saja, dan menciptakan kesusahan bagi semua buruh pabrik dan penjaga toko yang setiap hari mondar-mandir melintasi batas-batas administratif untuk mendatangi dan meninggalkan tempat kerja. Semua orang-orang itu tidak punya kemewahan khusus untuk berlindung di balik kaca mobil pribadi dari terpaan debu dan panas. Tidak pula mereka punya pilihan untuk masuk jalan tol berbayar untuk menghindari kemacetan.
**
Menengok ke belakang barang 15-20 tahun yang lalu, orang yang melintas di jalan utama Bojongsoang masih bisa merasakan hembusan angin dari area persawahan dan menghirup udara bersih. Area persawahan sudah lama hilang, dan kini Bojongsoang merubah dirinya menjadi kawasan elit dengan mall, kampus, pemukiman mahal, yang dilengkapi dengan akses ke jalan tol. Seluruhnya adalah fasilitas yang menyasar kelas menengah ke atas. Sementara, kelompok miskin kian teraleniasi dari kotanya. Sekedar pelaku pasif yang tidak dihiraukan dan sekedar diseret-seret oleh arus pembangunan kota. Padahal, merekalah yang terutama terdampak oleh segala macam kemerosotan kualitas lingkungan hidup. Lalu, apa penyebabnya? Saya lagi tidak percaya dengan penjelasan bahwa penyebab permasalahan kota adalah karena tiadanya perencanaan atau salah memilih walikota, atau ulasan sejenis yang terlalu khusus atau semata. kasuistis. Persoalannnya jauh lebih besar. Sepanjang saya tinggal dan berkeliaran di Bojongsoang, semakin saya teryakinkan bahwa bagian kota berjalan dengan resep pembangunan ala neo-liberalisme.
Kota sejatinya hadir untuk menopang segala aktivitas manusia di dalamnya. Pada saat yang sama, neo-liberalisme semakin mendominasi aspek ekonomi dan perpolitikan di Indonesia. Maka, pemikiran mengenai kota dan pembangunan kota tak akan pernah lepas dari pengaruh kebijakan ekonomi neo-liberalisme. Kota berlangsung dengan semangat neo liberalisme, dengan penopang utamanya: fleksibilasasi kerja, kebebasan berdagang, dan upah buruh yang murah.
Segala perubahan rupa di Bojongsoang mengingatkan saya pada paparan komprehensif dari Arianto Sangaji (2009) tentang neo-liberalisme yang bekerja secara sistematis. Mula-mula dengan berbagai macam deregulasi untuk melumpuhkan campur tangan negara terhadap pasar. Biarkanlah pasar bebaslah yang mengatur segala sendi kehidupan masyarakat. Dampaknya sudah terlihat. Fleksibilisasi pasar tenaga kerja membuat buruh sudah upahnya rendah rentan pula kehilangan pekerjaan. .
Berikutnya, sebagaimana disampaikan Mathivet (2010), ciri dari pembangunan ala neo-liberalisme adalah privatisasi ruang perkotaan, komersialisasi ruang-ruang kota, guna memberi ruang bagi kawasan industri dan perdagangan. Kawasan yang tidak mampu memberikan/meningkatkan keuntungan harus diubah agar lebih produktif. Maka jangan heran, apabila -baik di inti kota maupun pinggiran– banyak terjadi penggusuran. Kawasan kumuh, atau yang dituduh demikian, senantiasa dianggap tidak produktif, dan karena itu harus digusur. Atau barangkali logika ini juga telah berubah menjadi lebih bengis lagi. Kota dan pengembangan kota seluruhnya dipersiapkan untuk menyambut kedatangan modal demi menciptakan keuntungan.
Konsekuensi dari pembangunan ala neo-liberalisme di perkotaan adalah penyingkiran masyarakat miskin dari kotanya. Kalau kaum buruh semakin rentan kehilangan pekerjaan, warga kota juga akan semakin rentan tersingkir dari kota. Untuk sekarang, penggusuran sedang atau sudah berlangsung di Tamansari, Kebon Jeruk, Jalan Anyer Dalam, dan Jalan Karawang, untuk menyebut beberapa contoh. Sudah terbukti, masyarakat miskin disingkirkan secara fisik dari perkotaan. Penggusurnya boleh berbeda-beda (pemerintah kota, BUMN, swasta). Tapi semua memiliki muara yang sama yakni menciptakan kota yang ramah akan pasar bebas, ramah akan potensi-potensi investasi.
Keculasan kota tidak hanya terbatas pada pelucutan hak-hak perburuhan dan penyingkiran fisik terhadap masyarakat miskin atas kotanya. Jarang disadari bahwa hal lain yang direnggut adalah kontrol masyarakat atas pembangunan kota. Tanpa kontrol terhadap pembangunan kota, warga kota kehilangan akses terhadap air bersih, udara yang sehat, pendidikan dan kesehatan yang layak.
Kembali ke Bojongsoang, warga kota seharusnya memiliki kuasa dalam menentukan lingkungan hidup yang layak. Kita semua berhak menolak berbagai pembangunan yang mengakibatkan udara menjadi kotor dan kemacetan dimana-mana. Sayangnya, karena kota diurus dengan cara yang seperti ini, warga tinggal di kota yang kondisinya buruk. Keadaan akan semakin merosot dalam beberapa tahun ke depan, apabila warga kota tidak menyadari posisinya sebagai subjek penting dalam pembangunan perkotaan. Warga kota sejatinya mampu menciptakan kotanya berdasarkan impiannya sendiri.
Mewujudkan Hak Warga atas Kotanya.
Membangkitkan kesadaran warga kota akan hak-haknya mungkin tidak mudah. Minimnya kesadaran warga kota atas haknya bukanlah sebuah kodrat, melainkan sesuatu yang sengaja dibentuk. Selama ini kota secara sepihak mendikte warganya untuk menerima segala bentuk pembangunan. Pemerintah Kota Bandung pun menjauhkan warganya dari persoalan nyata seperti kurangnya akses terhadap air bersih, udara yang buruk, banjir, kemacetan, lapangan kerja yang minim, hingga kondisi ekonomi yang buruk. Sebagai gantinya, pemerintah kota malah menciptakan ilusi tentang kota modern berupa berupa taman kota dan lampu hias yang berjejer di jalanan pusat Kota Bandung, dengan harapan warganya terhibur dan memberi selamat atas keberhasilan pembangunan Kota Bandung.
Alih-alih memberikan ruang partisipasi kepada warganya, pemerintah kota akan terus menjauhkan masyarakat dari urusan-urusan pembangunan kota. Hal ini untuk memastikan kota menjadi ruang yang tepat dalam menyambut ekonomi neo-liberalisme. Infrastruktur, regulasi, hingga sosial dan budaya harus mampu beradaptasi dengan keinginan neo-liberalisme.
Namun penting untuk diingat, seperti yang diungkapkan oleh Lefebvre (dalam Mathivet, 2010) melalui ‘The Right of The City’, hak atas kota bukan sekedar membicarakan hak atas air bersih, hak atas kesehatan, hak atas pendidikan, dst. Jauh daripada itu, hak atas kota adalah sebuah konsep dimana masyarakat sebagai subjek inti memiliki kontrol dan kuasa atas pembangunan kotanya.
Dengan demikian, warga kota, termasuk yang terjadi pada Bojongsoang, mampu menentukan segala sesuatu yang berkaitan atas kotanya mulai dari pembangunan, kebijakan, bahkan kondisi kerja. Ya, segala sesuatu yang berkaitan atas kota berada pada kontrol masyarakat.
Hak warga atas kota tentulah sesuatu yang harus diperjuangkan, apalagi jika pemerintah kota dengan keras kepala dan bebalnya terus membentuk kota secara sepihak tanpa partisipasi warga. Tindakan sepihak itu saja sudah bertentangan dengan prinsip-prinsip hak warga atas kota. Daripada menunggu kebajikan pemerintah kota, jauh lebih penting masyarakat secara kolektif harus memperkuat posisinya dalam menentukan perkembangan kotanya. Impian atas kota yang kita cita-citakan harus lahir dari gerakan warga kota itu sendiri. Warga kota harus mulai bersatu dan bertukar keluh kesah sehari-harinya tentang kota. Proses seperti ini lambat-laun akan memupuk kesadarannya tentang haknya atas kota. Diskursus tentang permasalahan perkotaan, dari yang ringan hingga yang berat, harus terus digelorakan Di gang-gang, di pinggiran jalan, di sekolahan dan kampus, di pabrik, di setiap cafe-cafe, permasalahan perkotaan harus terus menjadi perhatian. Biarkanlah persoalan kota muncul dalam di twitter atau Instagram. Distribusi koran-koran yang berisikan tentang permasalahan perkotaan dan upaya-upaya lainnya perlu dilakukan, untuk memastikan narasi hak atas kota lahir dan dari segala sudut kota. Semua jalan kita harus upayakan!
Penulis: Yusuf Septian
Editor: Nugraha
Sumber:
Sangaji, Arianto. Neoliberalisme (2009) https://indoprogress.com/2009/08/neoliberalisme-1/
Mathivet, Charcolatte. Sugranyes, Ana. Cities for All (2010)
Lefebvre, Henry. The Right to The City (1968)