Categories
Orasi

Terus Digerus Omnibus: Hak Perburuhan Paska UU Cipta Kerja

Seri May Day 2022

Mengabaikan protes dari rakyat yang berlangsung berbulan-bulan, pemerintah ngotot menyorongkan rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) ke Dewan Perwakilan Rakyat. Para wakil rakyat di Senayan kemudian menandatanganinya pada Oktober 2020. Belakangan, Mahkamah Konstitusi menyatakan UUCK sebagai konstitusional bersyarat. Dianggap tidak bertentangan dengan UUD, asalkan beberapa pasalnya diperbaiki dalam dua tahun, dengan tengat waktu 24 November 2024.

Bagaimanapun, hingga hari ini UUCK masih berlaku. Lalu, apa dampaknya terhadap situasi perburuhan saat ini. Untuk menjawab pertanyaan rumit ini, Lingkar Studi Advokasi, Bandung, menyelenggarakan diskusi online pada 16 April 2022 lalu. Empat bicara urun pendapat dan pengamatannya. Mereka adalah Kokom Komalawati dari Aliansi Persatuan Perjuangan Rakyat Indonesia (P2RI), Hermawan Sutantyo dari Konfederasi Serikat Nasional (KSN), Yenny Sirait, pengabdi bantuan hukum di Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Jakarta, dan Algiffari Aqsa, pengacara publik dari AMAR Law Firm. Trimurti.id meringkas diskusi tersebut untuk pembaca.

Kokom Komalawati, Persatuan Perjuangan Rakyat Indonesia (P2RI). Berdasarkan pengamatannya di Tangerang dan sekitarnya, kondisi perburuhan tidak banyak berbeda dari sebelumnya. Sejak dulu pun kondisi perburuhan sudah buruk dan pengusaha banyak melakukan pelanggaran. Ada saja perusahaan yang mempekerjakan buruh kontrak hingga bertahun-tahun, bahkan sampai 10-15 tahun. Sesudah UUCK berlaku, beberapa praktek yang sebelumnya merupakan pelanggaran, sekarang tidak lagi dianggap demikian. Sebelumnya, buruh yang kontrak kerjanya diputus, berhak atas pesangon dua kali ketentuan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (PMTK). Setelah UUCK berlaku, buruh kontrak kehilangan hak atas pesangon. Kokom menemukan kejadian ini di sebuah perusahaan kosmetik merek terkenal di Tangerang.

Sejak dulu pun perusahaan berulah sewenang-wenang. Memecat buruh pun tak ada tata kramanya. Buruh diberhentikan dengan pemberitahuan hanya melalui pesan WhatsApp. Perusahaan menetapkan besaran pesangon secara sepihak, dan mengirimkannya ke rekening bank buruh bersangkutan, tanpa menanyakan persetujuan buruh. Sewaktu digugat di pengadilan, dengan pongah perusahaan berkilah tak melakukan pelanggaran barang sedikitpun. Pada kasus-kasus pemecatan besar-besaran, perusahaan dengan gesit menerapkan pasal-pasal dalam UUCK untuk berdebat di pengadilan (meskipun pemecatannya terjadi sebelum UUCK diteken).

Kokom juga menyinggung tentang hengkangnya perusahaan-perusahaan besar (seperti seperti Free Trend, Panarub Dwi Karya, dan Pratama Abadi Industri) dari wilayah Tangerang antara lain ke kota-kota kecil di Jawa Tengah. Seiring berkurangnya kegiatan produksi, sejak 2016 secara berangsur-angsur banyak buruh diberhentikan, dengan ditawari pesangon yang rendah. Sudah pesangon rendah, tak dibela pula oleh serikat buruh, karena pengurus serikat buruh diam-diam sudah membuat kesepakatan dengan pihak perusahaan.

Sesudah UUCK berlaku, menjadi lebih sulit bagi Kokom dan teman-temannya di P2RI untuk memperjuangkan tingkat upah minimum. Gubernur menolak bertemu  dengan serikat buruh. Alasannya, penentuan upah minimum bukan lagi merupakan kewenangan pemerintah daerah. Konon, kalau gubernur menetapkan upah minimum, melawan arahan pemerintah pusat, mereka diancam tidak akan menerima bantuan anggaran dari pemerintah pusat. Dengan menyempitnya ruang gerak serikat buruh, makin sulit pula membangun aliansi di antara antar serikat setempat.

Hermawan, Konfederasi Serikat Nasional (KSN).  Omnibus Law UUCK hanya mengesahkan penggerusan hak-hak perburuhan yang sudah berlangsung lama. Sejak sekarang, perusahaan leluasa melakukan efisiensi upah, dan mempekerjakan buruh kontrak hingga berkepanjangan. Pemecatan dibikin mudah dan hubungan kerja semakin tidak pasti. Singkat cerita, pasar tenaga kerja semakin fleksibel.

Bukan pertama kalinya pemerintah menerbitkan undang-undang yang merugikan buruh. Masa reformasi belum lama berlalu, UU Ketenagakerjaan (No: 13/2003) sudah dicanangkan untuk melegalkan praktek oursourcing, buruh kontrak, dan upah murah. Meski banyak ditentang, undang-undang ini tetap diloloskan. Jalan ceritanya mirip dengan terbitnya PP 78/2015 tentang pengupahan. Hermawan mengamati, pemerintah kali ini jauh lebih sistematis dalam menghadapi penolakan besar-besaran dari masyarakat. Selain itu, UUCK disahkan saat pandemi masih berkecamuk, sehingga menyusahkan masyarakat untuk berkumpul, berdemonstrasi, dan menyampaikan keberatannya.

Hermawan menyorot khusus tentang PP 35/2021, salah salah satu turunan UUCK yang antara lain mengatur tentang pemutusan hubungan kerja. Menurut pengamatannya, karena ongkos pesangon sekarang lebih murah, pengusaha benar-benar memanfaatkan peraturan ini untuk menyingkirkan buruh yang mendekati usia pensiun. Dengan dalih menderita kerugian, pengusaha boleh membayar pesangon 50% dari ketentuan. Tampaknya, menurut Hermawan, tidak ada cara lain kecuali memperkuat serikat di tempat kerja dan mengupayakan perbaikan melalui perjanjian kerja bersama.

Yenny Sirait, LBH Jakarta. Pada pertemuan APEC CEO Dialogue 2020 di Malaysia, Presiden Joko Widodo menjanjikan, Omnibus Law akan menyederhanakan dan memangkas secara besar-besaran tak kurang dari 79 undang-undang, 36 peraturan pemerintah, dan 5 peraturan presiden. Tujuannya adalah untuk memudahkan investasi dan UMKM, serta mengikutsertakan dan memberikan perlindungan bagi buruh.

Menurut Yenny, berbagai target itu nyatanya gagal diraih. Urusan investasi tetap tidak mudah dan sederhana. Ada ratusan pasal dalam UUCK yang mengaturnya. Sebagian pasal maknanya kabur, tidak jelas apa maksudnya, dan tumpang tindih dengan kebijakan lainya. Meskipun, memang benar ada kemudahan dalam mendapatkan izin usaha, membentuk perseroan terbatas, ditambah adanya fasilitas dan insentif bagi Kawasan Ekonomi Khusus.

Dalam hal perlindungan terhadap buruh, boleh dikatakan UUCK telah gagal. Tengok saja pasal 59 UUCK, yang tidak lagi membatasi jangka waktu untuk Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Artinya, buruh terancam terus menerus dipekerjakan sebagai buruh kontrak atau buruh PKWT. Kemudian, hubungan kerja alih daya (outsourcing) tidak lagi dibatasi untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu. Yenny menceritakan, sesudah pemberlakuan UUCK, sejumlah buruh bioskop di Jakarta tiba-tiba kehilangan status sebagai buruh tetap dan terlempar sebagai buruh harian lepas.

Berikutnya adalah soal upah. Penentuan upah minimum sudah tidak lagi didasarkan pada penghitungan Kebutuhan Hidup Layak. Kenaikan upah sekarang tergantung pada hitung-hitungan pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Penghitungan upah menurut sektor industri (upah sektoral) juga dihapuskan. Kerugian lain yang mendera buruh adalah pemangkasan pesangon, pensiun, dan imbalan penghargaan masa kerja. Jika dulu buruh bisa menerima pesangon 32 kali upah, sekarang hanya 19 kali saja. Ringkasnya, PHK dapat dilakukan dengan ongkos murah. Selain murah, semakin mudah pula untuk memecat buruh secara sepihak. Menurut UUCK, buruh dapat dipecat karena melakukan kesalahan berat. Padahal ketentuan ini sudah dihapuskan dalam Undang-Undang Ketenakerjaan tahun 2003.  Selanjutnya, UUCK ini juga sangat tidak ramah terhadap kelompok disabilitas dan buruh yang menderita sakit atau kecelakaan kerja. Pada undang-undang sebelumnya, buruh yang mengalami sakit akibat kecelakaan kerja, berhak tidak masuk kerja selama 12 bulan dan dapat mengajukan permohonan untuk berhenti bekerja. Sejak UUCK berlaku, pemutusan hubungan kerja hanya dapat dilakukan atas kehendak pengusaha.

Yenny menegaskan, UUCK tidak hanya memuat perubahan yang bersifat teknis. Jauh lebih penting, adalah pergeseran filosofisnya. Dalam hubungan ketenagakerjaan, peran negara semakin menyusut, sementara perusahaan menjadi semakin digdaya. Praktek yang dulu dianggap pelanggaran, sekarang dilegalkan. Dan, negara tidak hadir untuk melindungi buruh.

Algiffari Aqsa (AMAR Law Firm). Segera sesudah UUCK disahkan banyak perusahaan segera menyesuaikan diri, dengan mengubah peraturan perusahaan dan Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Kemudian, UUCK memberi legitimasi untuk praktek yang sebelumnya sudah berlangsung: upah minimum yang rendah, kontrak kerja, pesangon, penghargaan masa kerja dan lain sebagainya. Pada 2022, sesudah UUCK berlaku, upah minimum hanya naik sebesar 1% saja. Kemudian, karena ongkos pesangon sudah lebih rendah, lebih mudah bagi perusahaan untuk mengajukan pailit. Algiffari melihat, belakangan ini kasus-kasus pailit terus bermunculan.

Algiffari menduga, UUCK juga menyebabkan merosotnya jumlah kasus perburuhan sepanjang 2020 hingga April 2022. Melihat direktori Putusan Mahkamah Agung (MA), dalam tiga tahun terakhir jumlah putusan terus menurun dari 1760 (2020), 1482 (2021), lalu 75 (sampai April 2022). Jumlah kasus terdaftar juga terus merosot dari 406 kasus (2020), kemudian 207 (2021), dan 3 (April 2022). Penurunan jumlah kasus tersebut tidak lain dipengaruhi oleh UUCK, yang menetapkan standar perburuhan yang rendah. Hal yang dulu dianggap sebagai pelanggaran, sekarang tidak diperkarakan di pengadilan, karena dianggap sudah sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang.

Di lingkungan pengadilan juga terdengar perdebatan, apakah suatu perkara harus diputuskan menurut UU Ketenagakerjaan No: 13/2003, ataukah UUCK. Pada sebuah kasus, Pengadilan Negeri Bandung memutuskan besaran pesangon senilai dua kali PMTK, dengan alasan kejadiannya berlangsung pada 2019 (saat UUCK belum berlaku). Namun, saat kasus tersebut dibawa ke proses kasasi, MA menerapkan UUCK untuk memutuskan soal pesangon.

Tentang putusan MK yang menyatakan UUCK sebagai inkonstitusional bersyarat, Algiffari menduga bahwa DPR akan berusaha kebut-kebutan menuntaskan perbaikannya pada 2022. Sepanjang 2023-2024 perhatian mereka sudah teralih untuk urusan pemilihan umum dan pemilihan presiden. Ada risiko, perbaikan UUCK akan dilakukan secara terburu-buru. Tak ada jalan bagi masyarakat kecuali mengawasi proses perbaikan itu secara sungguh-sungguh. Banyak cara bisa dilakukan untuk itu. Dari mulai membentuk forum bedah kasus, meneliti dampak undang-undang ini terhadap pemenuhan hak-hak perburuhan, aksi bersama, mengajukan Judicial Review sebagai tindak lanjut atas keputusan MK, mengangkatnya sebagai isu politik menjelang pemilihan presiden 2024, dan membuat narasi tandingan terhadap undang-undang ini.

Reporter: Rifky Zulfikar

Editor: Sentot