Saya ingin berangkat dari dua coretan di tembok kota bertuliskan, “Tidak Ada Tuhan Selain Tambang” dan “Ke-Tambang-an Yang Maha Esa” pada lokasi yang berbeda. Kira-kira begitulah kondisi Indonesia dalam merumuskan tambang. Tambang adalah kunci untuk menguasai politik lokal-nasional termasuk menguasai hajat hidup warganya. Di Indonesia pula, agama telah lebih dulu menjadi alat kontrol politik dan kehidupan sosial warganya. Kombinasi keduanya dapat menciptakan kekuatan sekaligus konflik yang tajam.
Di masa akhir jabatannya, rezim Jokowi menerbitkan kebijakan pemberian izin tambang khusus (WIUPK) kepada organisasi keagamaan di Indonesia. Kebijakan itu diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 25/2024 perubahan dari PP 96/2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara melalui Kementrian Investasi dan dukungan kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Itulah yang menjadi pemicu konflik tajam tatanan sosial warga.
Bagi pemerintahan Jokowi, hal itu merupakan kemajuan inovasi kebijakan dan itikad baik dari pemerintah, selain karena Jokowi tidak ingin kehilangan peran dan pengaruh kekuasaannya pasca selesai menjadi Presiden.
Kerukunan antar umat beragama di Indonesia kini berada di lahan-lahan tambang dan industri ekstraktif. Toleransi antar umat beragama berubah – lebih tepatnya diubah – menjadi arena transaksional yang memicu konflik horizontal umat dalam satu agama, konflik seagama namun berbeda ormas, hingga konflik antar pemeluk agama, hanya untuk kepentingan tambang ini.
Di sisi lain, kebijakan ini bertentangan dengan UU No 3/2020 Mineral dan Batubara-Minerba, sebab perubahan PP tersebut secara hukum terbukti tidak sesuai prosedur dan kewenangannya. Yurisprudensinya dapat dilihat dari banyak putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang memerintahkan pemerintah mengembalikan WIUPK kepada pemilik badan usaha sebelumnya.
Pemerintah seharusnya memberikan kesempatan terlebih dulu dan memperjelas status WIUPK yang dicabut sebelumnya. Dalam Pasal 40 (4) UU Minerba, pemegang WIUPK yang menemukan komoditas tambang yang diberi prioritas dalam pengelolaannya. Walaupun pada kenyataannya pemerintah pusat malah menawarkan WIUPK tersebut kepada ormas keagamaan. Jika merujuk pada UU Minerba sudah jelas ormas keagamaan bukanlah subjek yang berhak atas WIUPK. Pemberian WIUPK khususnya mineral dan batubara harus melalui lelang terbuka untuk diikuti badan usaha lainnya. Prioritas dimenangkan lelang hanya diberikan kepada BUMN, bukan ormas.
Polemik yang samar dan bias tersebut menjadi dasar utama regulasi ini. Pemerintah berhasil menyelundupkan kepentingan tambang melalui UUD 1945 Pasal 33 ayat 3, yang menyebut bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sudah tentu ormas keagamaan inilah yang disebut “rakyat” yang konon harus dimakmurkan.
Regulasi baru ini menyisipkan pasal 83A yang memberikan kesempatan organisasi keagamaan untuk memiliki WIUPK dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat yang sesuai Pasal 83A (2), di mana WIUPK tersebut merupakan wilayah bekas Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Padahal Ormas keagamaan tidak selalu berasal dari luar tapi juga yang terafiliasi dan terlegitimasi sebagai masyarakat asli/eksisting yang diberikan hak atas tambang yang mendekati hak kepemilikan termasuk hak mencegah akses pihak lain serta hak terbatas untuk mengalihkan, ini seperti devolusi tambang eksklusif.
Masih dalam Pasal 83A (3) yang sama, WIUPK atau kepemilikan saham ormas keagamaan pada badan usaha sebagaimana dimaksud ayat (1) nantinya tidak dapat dipindahtangankan atau dialihkan tanpa persetujuan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang Minerba. Hal ini kemudian diatur dalam Pasal 83 (4), yang menyebut kepemilikan saham organisasi kemasyarakatan keagamaan dalam Badan Usaha harus mayoritas dan menjadi pengendali.
Selain itu, badan usaha yang dimiliki oleh ormas keagamaan yang mendapatkan WIUPK dilarang bekerjasama dengan pemegang PKP2B sebelumnya dan/atau afiliasinya. Kompleksitas ini akan membuat pandangan publik pada ormas berubah. Apalagi terkait peran ormas keagamaan dan kebijakan pengelolaan tambang ini, karena telah terjadi perjumpaan praktik neoliberalisme dan oligarki melalui sumber-sumber ekonomi sektor ekstraktif dalam kerja-kerja keagamaan.
Tafsir publik terkait motivasi ini akhirnya tiba pada politik balas budi, dan balas budi politik, terkait dengan pemilu 2024 lalu. Dari sekian banyak ormas keagamaan, beberapa ormas terbesar telah memberikan respon terhadap kebijakan ini. Dua ormas agama mayoritas terbesar di Indonesia, PBNU dan Muhammadiyah, telah menerima kebijakan ini, sedangkan Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiah (NWDI) belum ada rencana untuk mendaftar terkait izin pengelolaan tambang. Beberapa ormas yang berpotensi menerima dan yang belum merespon tawaran tambang ini seperti menahan diri untuk menakar situasi politik setelah pelantikan presiden, Oktober 2024.
Sebagai negara dengan pemeluk Islam terbanyak, setidaknya terdapat 89 ormas Islam yang akan mendapatkan izin WIUPK ini dengan konsesi lahan tambang yang terbesar dan terluas di seluruh Indonesia. Lebih jauh, dalih nasionalisme yang heroik juga akan menjadi rujukan sejarah kebijakan ini; ormas keagamaan dianggap memiliki jasa dalam memerdekakan bangsa dan negara Indonesia di masa lalu, seperti membuat Fatwa Jihad saat adanya agresi militer. Hal yang tidak mungkin dilakukan oleh konglomerat, perusahaan, apalagi oligarki.
Akan ada lahan konsesi pertambangan di banyak tempat di Indonesia, dengan variasi luas lahan dan jenis tambang beragam hanya untuk ormas-ormas keagamaan tersebut. Selain itu, penunjukan wilayah dan jenis tambang mineral kepada ormas mana dan agama apa yang akan mengelolanya dapat menimbulkan polemik baru. Siapa mendapatkan barang tambang apa, di mana lokasinya, dengan berapa luas konsesinya. Berapa luas lahan tambang yang harus disediakan pemerintah untuk mengakomodir ini? Bukankah ini akal-akalan oligarki?
Secara teknis, ormas keagamaan tidak punya kecakapan dalam pertambangan. Maka penyerahan tata kelola tambang kepada ormas keagamaan ini sangat beresiko fatal dalam pelbagai hal, seperti kemampuan keahlian teknis, risiko salah kelola terhadap lingkungan, masalah pelestarian sumber daya alam, perhitungan ekonomi, hingga risiko KKN.
Pemberian pengelolaan tambang untuk ormas agama itu diskriminatif, seharusnya jika pemerintah adil, maka pengelolaan itu akan berikan juga pada pelbagai organisasi-komunitas, komunitas adat, penganut agama tradisional, organisasi profesi, koperasi petani, nelayan, bahkan untuk komunitas skateboard dan komunitas motor.
Munculnya praktik akumulasi melalui proses penjarahan, melalui konversi ruang sosial menjadi ruang ekonomi, melalui proses perampasan tanah, aktivitas politik yang melibatkan negara, dan berbagai macam bentuk praktik-praktik kekerasan kepada warga negara, penyingkiran masyarakat adat, kerusakan lingkungan, sengketa hukum, wilayah dan kepemilikan termasuk dampak kesehatan dan kelangsungan hidup manusia bahkan krisis iklim dan akan ditanggung oleh ormas-ormas beragama ini.
Operasi pertambangan yang diestafetkan kepada ormas agama, melegitimasi praktik akumulasi kapital di mana prosesnya terus berulang seiring dengan tuntutan mengakumulasi kapital yang tidak henti dan membutuhkan penghancuran ruang-ruang sosial lainnya. Bukankah peran agama adalah untuk memberikan kemaslahatan bagi lingkungan, umat manusia dan ruang-ruang sosialnya? Struktur kapitalisme dalam pertimbangan cost and benefit beroperasi dalam aktivitas ekonomi-politik, kemaslahatan dan kerusakan yang terhubung dengan siapa diuntungkan-dirugikan dalam arena pertambangan sebagai bagian dari arena kekuasaan.
Namun, akan ada pihak ketiga yang menjadi operator dari tambang milik ormas keagamaan tertentu. Pihak ketiga ini dapat dipastikan adalah perusahaan dalam jaringan oligarki yang memiliki pengetahuan atau kemampuan finansial sebagai modal awal dan kemampuan eksplorasi lalu kemampuan produksi. Ormas keagamaan hanya tinggal menunggu keuntungan di akhir tahun sepanjang usia izin tersebut diberlakukan, atau sampai sudah tidak ada lagi yang tersisa untuk dieksploitasi-diekstraksi.
Pemerintah hanya menggunakan nama, peran, posisi, dan kekuatan jaringan ormas agama ini untuk kepentingan jaringan oligarki tambang yang sebenarnya telah menargetkan dirinya untuk mengelola tambang yang ditargetkannya sebelumnya dengan menggunakan tangan ormas agama.
Izinnya milik siapa? Yang mengelola siapa?
Hal ini akan mendorong sistem tata pengelolaan tambang Indonesia tambah buruk, busuk, dan semakin eksklusif dari yang telah ada sekarang, sebelum regulasi ini muncul. Jika sistemnya seperti itu, seharusnya semua elemen masyarakat diberikan WIUPK tambang dengan mencarikan partner apabila tidak mengerti tata cara mengelola tambang. Maka, PP yang mengistimewakan ormas keagamaan dalam izin tambang ini berpotensi diajukan judicial review oleh publik – oleh umat – dan itu sudah sepantasnya dilakukan. Jadi tidak hanya sekadar persoalan yuridis semata, namun juga teologis (akidah) ekologis seperti Green Islam dan moral etik dimana instrumentasi fikih tidak harus dipisahkan dengan ideologi dan ilmuwan, semestinya terintegrasi dan terkoneksi.
Syariah memberikan jalan menuju kemaslahatan manusia salah satunya dengan merawat kesinambungan kehidupan makhluk hidup, di sisi lain, secara scientific, fenomena anthropocene atau pemusnahan akibat aktivitas manusia secara reguler di dalam tatanan kapitalisme yang terhubung dengan bisnis adalah salah satunya pertambangan. Memikirkan keterlibatan ormas agama dengan kalkulasi maslahat-mafsadat (untung-rugi -red) dalam pertambangan seperti menafikan kondisi eksisting alam yang dibaca melalui kerja scientific yang tengah menuju kehancuran, menjauh dari tujuan kemaslahatan.
Terdapat kaidah ushul fikih yang lebih tepat dan memanusiakan, dar’ul mafasid muqaddamu ‘ala jalbil mashalih, mencegah kerusakan (yang terbukti fatal) lebih diutamakan ketimbang mengambil kemaslahatan. Meski mengelola tambang adalah halal- li dzatihi, tetapi, karena situasi tertentu dapat menjadi haram akibat dari eksplorasi sembarangan-serampangan yang malah menjauh dari kemaslahatan karena menimbulkan kerusakan dan bencana alam.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi.” Ada seorang sahabat bertanya; ‘bagaimana maksud amanat disia-siakan? ‘ Nabi menjawab; “Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu.” (Hadits Bukhari 6015)
Masalah ini akan menimbulkan risiko lain yaitu ormas agama resmi akan konflik dengan masyarakat adat-tradisional tempat di mana lokasi-lokasi tambang tersebut diberikan konsesinya. Dengan menggunakan argumen agama untuk menyingkirkan masyarakat adat-tradisional termasuk keyakinannya melalui argumen bid’ah yang bertentangan dengan Pancasila yang dimaknai setingkat menuntut jatah parkiran.
Pemberian lahan tambang kepada ormas keagamaan, awalnya seperti inklusi atau sebatas pemberian akses tanah untuk pertambangan saja. Namun di sisi lain juga bersifat eksklusi karena di wilayah penunjukan lahan untuk pertambangn tersebut terdapat kondisi sejumlah besar orang/rakyat tidak memiliki akses tanah atau distribusi tanah yang sangat timpang. Sementara sedikit orang atau ormas keagamaan ini menguasai sebagian besar tanah di area tersebut.
Selain itu secara prosesnya, pemberian akses – inklusi lahan tambang kepada ormas keagamaan ini juga menciptakan kondisi eksklusi karena akan memicu pengusiran atau penyingkiran masyarakat daerah eksisting dari tanah mereka, yang terkadang diiringi kekerasan dalam pengurasan sumber daya alam, eksploitasi kerja rakyat, di mana terjadi transfer nilai ekonomi ke negara-negara imperialis yang disertai konflik dan kehancuran daya hidup rakyat karena wilayah konsesi tambang tumpang tindih dengan wilayah hutan yang kaya dengan biodiversity dan ruang hidup masyarakat adat.
JATAM mencatat bahwa hanya selama tahun 2020 saja terjadi 45 konflik tambang, 69 orang dikriminalisasi dan 700-an ribu hektar lahan rusak. Islam mengajarkan pentingnya menjaga lingkungan sebagai bagian dari tanggung jawab manusia sebagai khalifah di bumi. Kerusakan yang ditimbulkan oleh pertambangan jelas bertentangan dengan ajaran ini.
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya” (Qs. Al-A’raf: 56)..
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Q.s. ar-Rum [30]:41)
Perubahan-perubahan cara penutupan/pencegahan akses orang atas tanah – eksklusi yang secara empiris sebagai kondisi di mana sejumlah besar orang/rakyat tidak memiliki akses tanah, sementara eksklusi sebagai proses mengacu pada aksi-aksi berskala besar dan diiringi kekerasan yang membuat rakyat miskin atau masyarakat daerah tertentu terusir dari tanah mereka atas nama pihak-pihak yang berkuasa melalui sebuah kebijakan melalui sebuah relasi kuasa membentuk pengaturan, pemaksaan pasar, dan legitimasi. Eksklusi ini dihadapkan dengan inklusi atau pemberian akses.
Ormas agama yang menerima konsesi tambang dengan dalil tertentu seolah mengalami kemunduran dalam tujuan kemaslahatan manusia, sepertinya telah takluk oleh kepentingan politik dan ekonomi dan berlindung dalam pemahaman kaidah “akhaf darurain” atau seperti mengambil mudharat yang lebih ringan. Problem pertambangan oleh ormas ini, bukan hanya berhubungan dengan kapasitas sumber daya institusional, namun juga telah menempatkannya pada ancaman jurang kepunahan alam dan manusia. Apalagi tambang yang akan diberikan kepada ormas keagamaan ini merupakan lahan tambang berbahaya yang tinggal sisa-sisa, sebagai cuci tangannya perusahan-perusahaan oligarki tambang.
“Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka, perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan.” (Q.s. an-Naml [27] : 14).
Hubungan antara agama dan ekologi memiliki pondasi yang kuat dalam pemahaman tentang keterkaitan semua kehidupan dan penghormatan terhadap alam. Agama-agama dunia mengajarkan nilai-nilai yang mendorong harmoni dengan alam dan penghormatan terhadap semua makhluk. Misalnya, dalam tradisi Hindu, konsep ‘ahimsa’ atau nir-kekerasan mencakup semua bentuk kehidupan, sementara dalam ajaran Buddha, keterkaitan semua makhluk ditegaskan melalui konsep ‘pratityasamutpada’ atau saling ketergantungan dan stewardship, atau pengelolaan yang bijaksana terhadap sumber daya alam yang telah diberikan oleh Tuhan dalam agama Kristen.
Ajaran-jaran itu menganjurkan untuk mengelola bumi dengan baik dan tidak merusaknya serta menggambarkan manusia sebagai penjaga bumi yang diberi amanah untuk merawat dan melestarikan alam dengan adil.
Kerja Ushul Fikih ecology, deep ecology dengan realitas historis konkret dapat menawarkan kerangka kerja moral etis secara strategis dan ideologis dalam Hifz al-Bi’ah (perlindungan lingkungan) serta mengatasi krisis iklim yang efektif dengan ditopang pendekatan komprehensif melalui inovasi teknologi, menakar risiko ekologis multipihak dan multisektor melalui perubahan sistemik dalam kebijakan ekonomi politik-nya. Namun jangan lupa, fakta material tentang emisi bahan bakar fosil tak akan berubah dan tidak perlu upaya memalukan untuk merasionalisasikan sesuatu yang memang terlihat nyata melalui kehadiran ormas agama dalam pertambangan. Karena dari sudut pandang keyakinan sentral manusia maupun semesta, pertambangan membawa masalah besar bagi lingkungan maupun manusia. Jadi, bukan hanya berdakwah tanpa melihat material origins.
“Sesungguhnya, Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya, Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa” (Q.s. al-Hadid [57] : 25)
Selain itu, apakah pemberian lahan tambang ini juga bersinggungan dengan pertahanan negara melalui pelibatan ormas keagamaan dengan merujuk pada Undang-undang 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara. Penyebaran ormas di pelbagai wilayah melalui penguasaan sumber daya alam tertentu, seperti menciptakan pos-pos pertahanan sipil atau para militer yang ditempatkan secara teritorial seperti yang dilakukan oleh pos-pos militer melalui Kodam, Korem, Kodim, bahkan Koramil. Terlepas nanti kemudian ormas agama apa yang ditempatkan di wilayah apa dan menguasai berapa luas teritorial. Semua itu dapat dikalkulasi dan ditata sedemikian rupa oleh pemerintah.
Selain itu, ormas merupakan salah satu pintu kerja penyerapan anggaran publik yang dilakukan oleh pemerintahan daerah maupun nasional, termasuk untuk ormas keagamaan. Bentuknya dapat berupa hibah, bansos, dan program-program kerja yang terkait dengan skema pembangunan dalam hal ini RPJMN/RPJMD. Sebagai contoh di Jawa Barat, selain mendapat dana bantuan Pesantren, ormas Islamnya pun mendapatkan manfaat anggaran dari program keumatan dalam bentuk program dan hibah. Hal itu disebabkan oleh konsekuensi logis dari proporsi populasi terbesar umat Islam di Indonesia. NU mendapat perhatian lebih dari sisi manfaat program keumatan ini.
Selain itu, ketika Ridwan Kamil menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat, Ormas PWNU Jawa Barat diklaim telah mendapatkan bantuan sebesar Rp1 triliun dari provinsi Jawa Barat. Lalu, dengan adanya kebijakan ini maka NU akan mendapatkan dana lainnya dari konsesi tambang. Hal ini juga tidak terlepas dari bagaimana kemenangan Ridwan Kamil dalam pilgub Jawa Barat 2018 lalu yang hanya diusung oleh 4 partai, yang didominasi oleh PPP dan PKB dengan tambahan Nasdem dan Hanura yang tidak terlalu signifikan. PKB tentu saja identik dengan Ormas NU dan PPP dianggap memiliki pengaruh kuat di jaringan pesantren di Jawa Barat. Akhirnya PPP menyediakan calon wakil Ridwan Kamil padahal PKB memiliki kursi legislatif lebih banyak untuk menjadi syarat sebagai wakil, tapi keduanya tidak dapat saling menyingkirkan.
Situasi ini menggambarkan bagaimana ormas keagamaan yang berujung pada partai politik juga menjadi kunci dalam politik elektoral daerah sekaligus medan transaksional, setidaknya untuk pendistribusian anggaran jika menang. Apalagi jika itu daerah-daerah berbasis pertambangan, maka akan semakin kentara dengan kebijakan baru ini.
Ormas keagamaan yang akan diberikan konsesi lahan tambang bukan objek yang harus dipersalahkan, karena jika tidak diberi pun bukan sebuah persoalan, namun ketika diberi akan dipandang seperti rezeki, anugrah dan amanah. Pandangan yang sebenarnya akan memperburuk distribusi ekonomi karena ormas akan memonopoli hal tersebut itu, terutama di pimpinan pusatnya. Selain itu, yang patut dipertanyakan adalah kekuasaan (negara-pemerintah) yang memberikan kewenangan hukum duniawi untuk ormas berbasis agama melakukan tugas dan pekerjaan diluar kewenangan dan kemampuannya yang menyangkut hajat hidup orang banyak yang sebelumnya terkait religiusitas.
Ormas keagamaan tidak pernah dibentuk dan dididik untuk mengelola dan mengeksploitasi tambang, bahkan dalam praktik agama manapun tidak pernah diajarkan hal teknis untuk itu. Agama memang bukan urusan sembahyang dan doa, tetapi melalui kelembagaannya – ormas melakukan pengabdian dan pelayanan publik di pelbagai sektor, seperti di sektor Pendidikan dengan mendirikan sekolah formal/non formal, rumah yatim di bidang sosial, dan kesehatan melalui rumah sakit.
Namun, tambang adalah bagian dari industri ekstraktif yang mengolah dan menguras sumber daya alam dengan efek penghancuran habitat, mengakibatkan polusi, dan penipisan sumber daya, serta bencana alam lainnya. Dalam konteks ini, maka (organisasi -red) agama dapat menjadi penghancur alam dan lingkungan. Kenapa ormas agama mau berkecimpung di dunia tambang? Bukannya jika tidak bisa menjaga setidaknya tidak ikut tercebur lalu palid (hanyut -red) di lahan tambang.
“Apabila berpaling (dari engkau atau berkuasa), dia berusaha untuk berbuat kerusakan di bumi serta merusak tanam-tanaman dan ternak. Allah tidak menyukai kerusakan.“ (Q.s. al-Baqorah [2] :205)
Pemberian kewenangan pengelolaan tambang kepada ormas bukan sebagai upaya distribusi pengelolaan sumber daya alam kepada rakyat, karena realitas materialnya yaitu lahan dan hasil tambang tidak mendukung akan terjadi demokratisasi kepemilikan serta pembagian yang adil, bahkan di antara sesama ormas, apalagi rakyat umumnya. Hanya karena dilembagakan dalam formasi spesifik ormas agama yang mengelola, bukan berarti itu sebuah kebijakan inovatif yang akan mendorong menuju Indonesia Emas, tapi Indonesia Cemas. Ormas Agama telah kehilangan peran sentral sebagai pemimpin civil society yang memiliki relasi sosial yang tidak monolitik formasi-formasi sosial yang discursive, lalu bergeser menjadi perpanjangan tangan hegemoni aparatus negara.
***
Penulis: Frans Ari Prasetyo
Editor: Dedi Muis