Fenomena predatory journals atau yang dikenal sebagai jurnal bandit telah menjadi perhatian serius dalam dunia akademis. Jurnal bandit adalah publikasi yang mengeksploitasi kebutuhan para akademis untuk mempublikasikan karya mahasiswanya atau orang lain guna mendapatkan pengakuan dan kenaikan jabatan, tanpa menyediakan proses peninjauan yang layak bahkan standar akademik yang memadai. Jurnal–jurnal ini seringkali hanya mengejar keuntungan finansial dengan mengenakan biaya publikasi yang mahal, sementara kualitas penulisan yang diterbitkan tidak dijamin. Pencurian karya ilmiah mahasiswa oleh dosen merupakan pelanggaran serius dalam dunia akademik yang tidak hanya merusak integritas moral, tapi juga memberikan dampak jangka panjang bagi para mahasiswa, baik secara pribadi maupun profesional. Dalam kasus ini, mahasiswa yang menjadi korban seringkali berada dalam posisi rentan, terutama karena ketergantungan pada dosen sebagai pembimbing atau penilai utama dalam perjalanan akademis mereka.
Salah satu dampak terbesar adalah hilangnya pengakuan intelektual. Artikel ilmiah yang dihasilkan mahasiswa sering kali merupakan hasil dari penelitian yang panjang dan mendalam, mencakup usaha, waktu dan pikiran yang tidak sedikit. Ketika dosen mencuri karya tersebut untuk meraih gelar atau jabatan, mahasiswa kehilangan kesempatan untuk mendapatkan penghargaan yang layak atas kontribusi ilmiah mereka. Hal ini tidak hanya merusak kredibilitas mahasiswa di mata akademik, tetapi juga menghancurkan motivasi mereka untuk terus berkarya di bidang penelitian.
Lebih jauh, pencurian artikel ilmiah dapat menghambat karir akademis korban. Publikasi ilmiah adalah aset penting dalam pengembangan karir akademik, dan bagi banyak mahasiswa. Publikasi pertama merupakan langkah awal menuju reputasi akademik yang baik. Ketika karya mereka dicuri dan diklaim oleh dosen, mahasiswa kehilangan peluang tersebut, sehingga menjadi sulit untuk bersaing di dunia akademis yang semakin kompetitif, baik dalam mendapatkan beasiswa, posisi riset maupun jabatan akademis.
Di samping itu, mahasiswa yang menjadi korban seringkali merasakan dampak psikologis yang berat. Mereka mungkin merasa dikhianati oleh sistem pendidikan yang seharusnya melindungi mereka. Kepercayaan terhadap dosen, institusi akademik, bahkan terhadap proses pendidikan itu sendiri bisa terkikis. Rasa frustasi, marah, dan tidak berdaya sering muncul, terutama karena sulitnya menuntut keadilan di lingkungan akademik yang seringkali memiliki hirarki yang kaku. Tidak jarang, mahasiswa sebagai korban merasa takut untuk melaporkan insiden tersebut karena khawatir dengan dampak balasan dari pihak dosen atau institusi, yang bisa berupa penurunan nilai atau pembatasan kesempatan akademik.
Dampak dari hilangnya harapan sebagai korban akademis yang mana diberikan secercah harapan untuk mendapat keuntungan dari dosen, para mahasiswa memilih jalan alternatif sebagai mana mestinya mahasiswa yang memiliki intelektualitas, yaitu dengan membuka jasa joki tugas baik itu skripsi maupun tugas akademis lainnya. Fenomena joki skripsi sudah menjadi rahasia umum dalam dunia akademis. Kegiatan ini merujuk pada praktik dimana seorang mahasiswa ataupun dosen membayar pihak ketiga baik individu atau lembaga untuk menulis skripsi atau tugas akhir. Dibalik layar, kegiatan ini tampak seperti sulap sigap bagi mahasiswa yang menghadapi kesulitan dalam menyelesaikan tugas akhir. Namun, pada kenyataannya, joki skripsi merupakan bentuk pelanggaran etika merusak integritas akademik dan mencederai esensi dari pendidikan itu sendiri.
Namun demikian, terdapat hukuman pidana bagi para pelaku joki skripsi di Indonesia, meskipun tergolong pelanggaran etika akademik. Yang dimana hukuman ini berlaku bagi para pelaku joki skripsi namun tidak dengan Dosen sebagai guru akademis. Hal ini dikarenakan Dosen memiliki posisi otoritas di institusi akademik. Ini membuat kasus kecurangan akademis sulit untuk dibuktikan, terutama jika dosen yang terlibat memiliki reputasi atau jabatan penting di kampus. Mahasiswa yang menjadi korban sering merasa takut untuk melaporkan karena khawatir dengan dampak pada karir akademik mereka, terutama karena dosen dapat mempengaruhi penilaian atau rekomendasi mereka di masa depan.
Seperti kasus salah satu mahasiswa di universitas swasta yang berlokasi di Bandung, penulis menyamarkan nama dengan sebutan Awan, yang dimana ia telah mengerjakan 7 artikel ilmiah yang dipesan oleh Dosen Pembimbing, namun pada faktanya Dosen tersebut menghapus nama Awan sebagai penulis dan telah dipublikasi Journal Internasional tanpa sepengetahuan korban. Argumentasi yang diberikan yaitu “Maaf wan, tulisan kamu banyak yang salah, jadi saya revisi dengan tim saya” Ujar dosen tersebut. Argumentasi tersebut sangat disesalkan yang dimana terdapat pelanggaran perjanjian lisan diawal antara Awan dengan dosen pembimbingnya. Sebagaimana mestinya, relasi ini merupakan suatu pekerjaan antar dosen dan mahasiswa serta tindakan ini biasanya dilakukan di balik layar, dengan dokumen dan kesepakatan yang tidak resmi. Sering kali tidak ada bukti tertulis yang jelas atau kontrak yang menunjukkan bahwa dosen meminta mahasiswa menulis artikel untuk keuntungan pribadinya. Tanpa bukti yang kuat, penegakan hukum di luar ranah etika akademik menjadi lebih sulit.
Perlu diketahui, dosen pembimbing Awan menjabat sebagai sekretaris prodi yang dimana memiliki relasi dekat dengan Dekan (pimpinan tertinggi di fakultas). Relasi kuasa antara dosen dan pejabat kampus di lingkungan universitas seringkali terjalin melalui jaringan formal maupun informal yang memperkuat hierarki akademik. Kasus yang menimpa Awan adalah bentuk dari skema politik pendidikan yang terjadi di ranah Universitas. Informasi yang penulis ungkap, politis ini dilakukan karena terdapat salah satu anggota tim dosen pembimbing Awan yang ingin naik menjadi dosen, serta Dekan yang ingin naik menjadi guru besar. Naiknya menjadi dosen perlu memenuhi syarat administrasi, yang diantaranya perlu memenuhi target publikasi artikel ilmiah. Maka, dari sinilah keculasan terjadi dengan memanipulasi artikel ilmiah dan memanfaatkan mahasiswa untuk memesan artikel ilmiah tanpa benefit upah. Hubungan ini umumnya terbentuk berdasarkan jabatan struktural dan fungsional yang dipegang oleh dosen, seperti menjadi kepala program studi, dekan, atau anggota senat universitas. Dosen yang memiliki kedekatan dengan pejabat kampus, baik secara profesional maupun personal, sering kali memiliki akses lebih luas terhadap sumber daya, pengaruh dalam pengambilan keputusan, serta peluang untuk kenaikan jabatan akademik.
Namun, fenomena ini juga dapat menimbulkan masalah jika relasi kuasa tersebut disalahgunakan. Dalam beberapa kasus, dosen dengan hubungan kuat terhadap pejabat kampus dapat memanipulasi sistem untuk mempertahankan posisi atau pengaruhnya, misalnya dengan mendominasi pengambilan keputusan, membatasi akses bagi dosen lain, atau bahkan melindungi diri dari investigasi atas pelanggaran etika akademik. Hal ini dapat menciptakan lingkungan akademik yang tidak adil dan merusak integritas institusi.
Disisi lain, Sistem akademik yang kompleks dan birokratis sering kali mempersulit proses pengaduan atau penyelidikan terhadap dosen. Selain itu, dalam beberapa kasus, institusi akademik mungkin enggan membuka skandal yang dapat merusak reputasi mereka. Dalam kasus pencurian karya ilmiah, seperti artikel, sering kali muncul masalah terkait kepemilikan intelektual. Mahasiswa yang menulis artikel bisa saja belum memiliki pemahaman yang jelas tentang hak – hak mereka atas karya yang dihasilkan. Di sisi lain, dosen yang terlibat mungkin mengklaim bahwa mereka terlibat dalam supervisi atau bimbingan, sehingga mereka juga berhak atas hasil penelitian tersebut. Konflik semacam ini sering kali lebih sulit diatasi karena tidak ada batas yang jelas mengenai kontribusi intelektual dalam kolaborasi akademik antara dosen dan mahasiswa.
Pelanggaran etik dalam dunia pendidikan memiliki keterkaitan erat dengan gagalnya sistem pendidikan dalam memanusiakan manusia. Pendidikan idealnya tidak hanya berfokus pada transfer pengetahuan, tetapi juga pada pembentukan karakter dan nilai-nilai moral, etika, serta integritas. Ketika terjadi pelanggaran etik dalam praktik pendidikan baik dari pihak pendidik, institusi, atau peserta didik, hal tersebut mencerminkan kegagalan industri pendidikan dalam menjalankan fungsinya untuk membentuk manusia intelektual. Hal ini berefek domino pada kasus komersialisasi pendidikan, banyak lembaga pendidikan tinggi swasta yang memprioritaskan jumlah pendaftaran mahasiswa tanpa memperhatikan kualitas pengajaran dan pembinaan. Akibatnya, banyak lulusan yang tidak memiliki keterampilan atau pengetahuan yang memadai untuk menghadapi tantangan dunia kerja, yang pada akhirnya mencerminkan kegagalan sistem pendidikan. Komersialisasi pendidikan menciptakan kesenjangan pendidikan yang semakin tajam, terutama bagi kelompok masyarakat dengan ekonomi kurang mampu. Biaya pendidikan yang tinggi di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi berkualitas membuat akses terhadap pendidikan bermutu menjadi eksklusif bagi mereka yang mampu secara finansial, sementara yang tidak mampu semakin terpinggirkan. Hal ini memperkuat polarisasi sosial dan berpotensi menurunkan kualitas sumber daya manusia di masa depan, karena kelompok ekonomi lemah tidak mendapatkan kesempatan yang sama untuk berkembang dan berkompetisi di dunia kerja.
Penulis: Nur Rafiq Setiawan
Editor: Rokky Rivandy
Nur Rafiq Setiawan adalah mahasiswa pascasarjana yang bergiat pada penulis karya tulis ilmiah, jurnalistik, analisis kebijakan publik, sosial, hukum & HAM.