Categories
Jam Istirahat

Bulan Ramadhan yang Menakutkan

Assalatu khairum minannaum,” terdengar pengeras suara dari salah satu masjid mulai berbunyi. Adzan awal itu-seperti yang sebagian umat muslim ketahui-dikumandangkan untuk memberitahu orang yang akan shalat malam dan mengingatkan orang yang akan berpuasa untuk menyegerakan santap sahur. 

Suara kumandang adzan awal pun berlalu. Sudah dipastikan seluruh para keluarga buruh bergegas menyiapkan hidangan sahur. Tetapi di dalam ruangan berukuran 4×3 meter ini, salah seorang temanku sudah bangun lebih awal dariku dan Bakrie–si penghuni kamar indekos–memilih untuk melakukan hal lain. Ketimbang membangunkan Bakrie dan aku untuk memasak panganan sahur. 

Kamar indekos Bakrie tidaklah terlalu luas. Tata letaknya pun diatur sedemikian rupa agar kasur lantai, meja kecil, deretan terminal listrik serta kompor portabel dapat mengisi celah-celah ruangan. Di tengah celah kecil ruangan itu, Bayu sibuk mengatur posisi duduknya. Lantas mengambil sebuah setrika listrik dan merentangkan baju kemeja merah marun di atas lantai yang dialasi sebuah kain.

Aku yang baru saja terbangun dalam kondisi setengah sadar sontak bertanya keheranan melihat tingkahnya.”(kamu) mau kemana? Pagi-pagi begini sudah siap-siap,”

“Ngajar Bob, biar langsung sat-set nanti,” ujar Bayu sambil memaju-mundurkan setrika yang tengah merapikan kerutan demi kerutan pada kemeja merah marunnya. 

Oh sial, aku lupa bahwa kedua kawanku–Bakrie dan Bayu–adalah seorang guru honorer atau buruh pengajar di sebuah sekolah. Saat itu hanya aku yang masih belum memiliki sebuah pekerjaan, pantas saja aku lupa temanku sudah bekerja, pikirku dalam hati.

Aku dan Bayu jelas bukan pengungsi tetap di kamar indekos Bakrie. Tapi malam itu, sekitar pukul 21.30 WIB, saat aku dan Bakrie berbincang ngalor-ngidul. Ia tiba-tiba datang dengan wajah kusut sembari membawa kantung besar berisi baju, seolah hendak minggat menuju wilayah perantauan.

Bayu tentu tidak menghendaki dirinya menginap di kamar indekos Bakrie. Karena ia tahu hal itu sangat akan merepotkan. Tetapi saat itu, ia tak memiliki pilihan apapun. Selain mendatangi kamar indekos Bakrie.

Begini ceritanya, pada hari itu di bulan suci ramadhan tahun 2024, Bayu berangkat menuju sebuah Sekolah Menengah Pertama (SMP) di kota Bandung untuk menuntaskan kewajibannya: mengajar, membimbing anak murid, dan mengerjakan tugas-tugas administrasi lainnya. 

Kegiatan yang ia lakoni hampir setiap hari, tentu bukanlah perkara mudah. Terlebih saat bekerja di bulan puasa. Para buruh, seperti Bayu, harus pandai menahan dahaga dan segala bentuk hawa nafsu.

Waktu kegiatan belajar-mengajar usai. Momen itulah paling yang Bayu nantikan. Bayu hanya ingin pulang kerumah, merebahkan tubuh di lantai beralaskan tikar sambil menunggu jam berbuka puasa tiba. Tapi sayangnya, saat Bayu hendak memacu motor bebeknya menuju rumah, hujan deras turun ke bumi sampai buliran airnya menampar wajahnya yang tak tertutupi kaca helm.

Bayu bisa saja berhenti di warung kelontong atau ruko di pinggir jalan. Lantaran badannya sudah kadung basah kuyup oleh hujan dan ingin segera sampai di rumah. Ia terabas hujan tanpa pandang bulu sambil terhuyun-huyun menahan derasnya air hujan yang membombardir tubuhnya.

Namun sialnya, ketika ia sudah sampai di depan rumah, angan indah itu bertepuk sebelah tangan. Bayu sangat terkejut melihat rumahnya terendam banjir seukuran pahanya. Ia mematung seperti batu untuk sejenak, tak mempercayai apa yang dilihatnya. Sementera air keruh berwarna kecoklatan dan berbau dari parit itu terus memenuhi rumahnya.

Tak lama kemudian, Bayu bangkit dari lamunannya. Ia langsung masuk ke dalam rumah dan melirik keadaan kamarnya yang sekarang telah menjadi empang dadakan. Sadar esok hari masih harus mengajar, ia mengais beberapa potongan kemeja dan celana yang masih bisa diselamatkan dan digunakan untuk mengajar.

Untungnya tak lama hujan mereda, Bayu lantas membantu sanak keluarganya membersihkan rumah yang sudah tak berwujud rupa. Dengan terpaksa pula, ia membatalkan ibadah puasanya karena saking lelahnya. 

Di sela-sela para sanak keluarga bergotong royong membereskan rumah, sang kakek tiba-tiba menggerutu kepada bayu.

Salila Aki hirup di dieu (wilayah Kiaracondong), karek ayeuna ngarasaan banjir di dieu (Selama kakek hidup di sini, baru sekarang ngalamin banjir di sini),” ketus sang kakek. 

Bayu yang sudah lemas tak berdaya hanya mengangguk seraya membenarkan ucapan kakeknya tersebut. Sesi gotong royong selesai, namun hawa rumah yang tercampur aroma parit selokan masih belum bisa kembali ditempati. Tanpa pikir panjang, Bayu lantas menelpon Bakrie untuk mengungsi beberapa hari di kamar indekosnya. Karena rumah sanak saudara di dekatnya juga sama-sama terendam banjir.

***

Sebelum kami bertiga mengakhiri percakapan pengantar tidur, Bayu yang masih mencerna makna dari hari sial itu bergumam, “Cobaan kok gini-gini amat ya, langsung bleg gitu”

Aku yang sudah setengah mengantuk membalas, “Ya kalau sedikit mah nyobain bukan cobaan,”

“Kalau gini mah jadi Ramadhan yang menakutkan,” ucapnya sambil menarik nafas cukup dalam. Tak lama kemudian kami semua tertidur.

Waktu terus berputar. Setengah jam usai adzan awal berkumandang, bunyi pengeras suara masjid berbunyi kembali menyuruh warga untuk segera santap sahur sebelum imsak menjelang.

Waktos tos nandakeun jam 3.30. Sahurrrrrrrrrrr (Waktu sudah menunjukan pukul 3.30. Sahurrrrr),”

Bakrie, si penghuni kamar indekos, sudah terbangun lalu menawarkan aku dan Bayu yang sudah merapikan kemeja merah marunnya. Ia lalu mengambil dua butir telur dan memasak telur dadar agar para tamu mendapat jatah bagiannya. Kami bertiga lalu bersantap bersama sambil menertawakan hari sial yang baru menimpa Bakrie.

Gelap malam berganti terang pagi. Bakrie dan Bayu berangkat mengajar seperti biasa. Hanya itu yang bisa dilakukan untuk menyambung kebutuhan hidup, walau upah yang mereka sebagai guru honorer terima tidak seberapa. 

*)Nama penulis dan tempat redaksi samarkan atas permintaan dan demi keamanan narasumber.

 

Penulis: Dudi Nirwana

Editor: Anita Lesmana