Categories
Orasi

Semangat Munir: Selalu Berdiri Tegak di Samping Korban Ketidakadilan

Trimurti.id – Pada 7 September 2004, Munir Said Thalib dihilangkan nyawanya secara paksa. Ia diracun melalui minumannya saat di dalam pesawat Garuda menuju Belanda. Hingga kini, kasus pembunuhan Munir belum menemui titik terang. Negara, melalui Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), dikabarkan akan menyelesaikan kasus ini. Namun kenyataannya, siapa yang membunuh Munir dan siapa yang bertanggung jawab atas kematiannya masih tetap buram.

Kasus Munir menambah daftar panjang pelanggaran HAM berat di masa lalu yang tak kunjung tuntas. Meski banyak suara yang menuntut keadilan, upaya untuk menyelesaikan kasus ini sering kali direduksi, kebenaran dikaburkan, dan publik diajak melupakan. Tragedi demi tragedi terus terulang, seolah pelanggaran HAM sudah menjadi bagian dari negeri ini. Setiap hari, hak-hak buruh, petani, nelayan, masyarakat adat, perempuan, dan kaum miskin kota dirampas. Di era ini, suara yang menentang ketidakadilan sering dianggap sebagai ancaman oleh mereka yang berkuasa.

Perjuangan Munir di masa lalu masih relevan hingga kini, bahkan kasus-kasus baru terus bermunculan. Dulu, Munir dengan lantang menolak proyek Waduk Nipah di Madura, Jawa Timur, karena akan menggusur warga desa yang tak berdosa. Kini, situasi serupa terjadi dalam proyek Kilang Minyak Tuban, yang membuat masyarakat dipaksa melepaskan lahannya dan mengalami kriminalisasi. Bahkan, ada upaya manipulasi psikologis, masyarakat ditekan untuk menjual lahan mereka dengan janji kesejahteraan, seperti yang terjadi dengan kampanye “kampung miliarder.”

Masyarakat dipaksa menyerahkan haknya atas nama pembangunan nasional yang sebenarnya berakar dari kepentingan elite dan modal, bukan dari kebutuhan rakyat. Contohnya bisa dilihat dari pembangunan jalan tol dan kawasan industri yang mengancam hak petani di Kampung Bongkoran, Banyuwangi. Perda RTRW Kabupaten Banyuwangi 2023 mengancam wilayah eks HGU PT Wongsorejo, yang telah diperjuangkan selama puluhan tahun, karena rencana pembangunan Kawasan Industri Terpadu dan jalan tol yang akan melintasi wilayah tersebut.

Di Surabaya, nelayan menghadapi ancaman dari Proyek Strategis Nasional baru bernama Surabaya Waterfront Land. Proyek ini bertujuan membangun kota baru melalui reklamasi pantai dan pulau-pulau buatan, yang akan menutup akses nelayan, meminggirkan mereka, dan merampas kampung-kampung mereka. Bahkan, reklamasi ini berpotensi memicu penambangan pasir laut yang sebelumnya ditolak nelayan pada 2012.

Kriminalisasi semakin marak. Di Banyuwangi, petani Desa Pakel yang menuntut Reforma Agraria menghadapi berbagai tekanan, mulai dari intimidasi hingga kriminalisasi. Pascakriminalisasi tiga orang warga—jumlah orang yang diperiksa kini bertambah menjadi sepuluh orang—sementara Muhriyono tengah diadili atas tuduhan pengeroyokan dan kekerasan yang tak pernah dilakukannya.

Tidak hanya di Pakel, di Tumpang Pitu, Banyuwangi, pejuang lingkungan Budi Pego divonis bersalah atas tuduhan menyebarkan komunisme, yang bahkan ia sendiri tidak paham. Budi hanya menolak penambangan emas yang mengancam kampungnya. Awalnya, Budi divonis satu tahun oleh Pengadilan Negeri Banyuwangi, lalu diperkuat saat banding di Pengadilan Tinggi Surabaya. Puncaknya, Mahkamah Agung menambah hukuman Budi dari satu tahun menjadi empat tahun. Penahanannya pun aneh, ia ditahan pada 2023 setelah seolah dibiarkan bebas selama empat tahun.

Kasus-kasus ini hanyalah sebagian kecil dari banyak kasus serupa yang tidak tampak di publik, baik yang lama maupun yang baru. Sejak Munir berjuang di LBH Surabaya hingga di Kontras Jakarta, tak ada satu pun kasus yang selesai. Justru, pelanggaran semakin bertambah dan semakin parah. Perampasan, kekerasan, hingga kriminalisasi menjadi pemandangan sehari-hari.

Mengenang Munir bukan sekadar romantisme, tapi juga mengingat perjuangannya hingga ia dibunuh secara paksa. Bagaimana ia menyuarakan suara mereka yang dibungkam, mendampingi mereka yang tidak punya akses keadilan, dan berdiri tegak bersama korban penggusuran serta perampasan hak atas ruang hidup. Semangat Munir harus terus dirawat, agar cita-citanya tentang Indonesia yang adil suatu hari nanti dapat terwujud.

Tentu perjuangan ke depan akan semakin berat, karena kita akan menghadapi rezim yang menghalalkan segala cara untuk mempertahankan kuasa dan memperluas pundi-pundi kekayaannya. Apalagi demokrasi yang diharapkan menjadi jalan selamat kini tak berdaya. Ia tidak hanya dibajak, tapi juga dikendalikan oleh mereka yang berkuasa. Satu-satunya yang bisa kita lakukan adalah memperkuat dan memperluas solidaritas perjuangan. Sebagaimana telah dicontohkan oleh Munir.

 

Penulis : Wahyu Eka Setiawan (Aktivis Walhi Jawa Timur)

Editor : Dachlan Bekti