Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) kembali berada di tengah pusaran kontroversi yang memanas. Baru-baru ini, federasi sepakbola nasional ini mengambil langkah yang mengejutkan dengan melakukan Pemecatan terhadap 43 buruhnya. Tindakan ini menimbulkan guncangan hebat, terutama di divisi media dan teknik yang kabarnya telah dibubarkan secara total per 1 september 2024.
Menghadapi kekosongan struktural akibat pemecatan massal tersebut, PSSI tampaknya telah menyusun rencana yang menuai banyak pertanyaan. Berdasarkan laporan dari Voi.Id, Di tengah ketidakjelasan ini, sejumlah kandidat dari Mahaka Group–perusahaan media yang memiliki hubungan erat dengan Erick Thohir, Ketua Umum PSSI–kemungkinan besar akan dilibatkan dalam pengisian posisi-posisi strategis tersebut. Hal ini memicu kecurigaan adanya praktik nepotisme dalam tubuh PSSI.
Erick Thohir, yang juga merupakan Menteri BUMN dan tokoh berpengaruh di dunia bisnis Indonesia, kini mendapat sorotan tajam atas dugaan pemanfaatan posisinya untuk menguntungkan lingkaran dekatnya. Mulai bermunculan asumsi bahwa pemecatan massal ini bukan semata-mata upaya restrukturisasi, melainkan sebuah manuver terselubung untuk membuka jalan bagi kroni-kroni Thohir agar masuk ke dalam struktur PSSI.
Permasalahan di tubuh PSSI tampaknya semakin rumit. Selain kontroversi PHK massal yang diduga sarat dengan nepotisme, federasi sepakbola nasional ini ternyata juga tersandung masalah perburuhan yang serius. Terungkap bahwa PSSI telah lalai dalam membayarkan iuran BPJS Ketenagakerjaan bagi para buruhnya sejak Desember 2021. Keterlambatan yang sudah berlangsung hampir tiga tahun ini menimbulkan kegelisahan di antara 112 buruh PSSI, termasuk 43 orang yang baru saja dipecat.
Situasi ini menambah beban berat bagi para buruh yang dipecat. Mereka yang sebelumnya telah dijanjikan kompensasi yang adil, kini harus menghadapi ketidakpastian ganda. Bukan hanya pesangon yang masih menggantung, tetapi juga jaminan sosial yang seharusnya menjadi hak mereka kini berada dalam ancaman. Kondisi ini semakin mempertegas dugaan adanya mismanajemen serius dalam tubuh PSSI.
Perlu dicatat bahwa kelalaian PSSI dalam pembayaran iuran BPJS buruhnya bukan masalah sepele. Konsekuensi hukum yang mungkin dihadapi PSSI cukup berat, mulai dari teguran tertulis, denda, hingga penghentian pelayanan publik. Bahkan, jika terbukti ada unsur penggelapan iuran BPJS buruh, ancaman hukuman bisa mencapai delapan tahun penjara sesuai Pasal 374 KUHP.
Kontroversi Berlanjut: Budaya Nepotisme dan Selamat Tinggal Sepak Bola Putri!
Mungkin masih teringat dengan jelas tentang keganjilan yang muncul dalam proses tender apparel Timnas. PSSI sempat mengumumkan Erigo sebagai pemenang tender, namun keputusan ini tiba-tiba berubah menjadi Erspo. Perubahan mendadak ini memicu spekulasi publik tentang adanya ketidakberesan dalam proses pengambilan keputusan.
Dugaan nepotisme semakin menguat dengan terungkapnya keterlibatan Rangga Laksmana, atau lebih dikenal sebagai Ranggaz si pangeran jaksel, di Erspo. Ranggaz bukanlah nama asing – ia adalah putra Rudy Setia Laksmana, Komisaris Utama PT Mahaka Digital Inovasi, yang diketahui memiliki kedekatan dengan Ketua Umum PSSI, Erick Thohir. Hubungan ini menimbulkan pertanyaan serius tentang objektivitas proses tender dan potensi konflik kepentingan dalam struktur organisasi sepakbola nasional.
Rangkaian peristiwa di PSSI ini bagaikan sebuah drama yang saling bertautan, dengan satu babak membuka jalan bagi babak berikutnya. Kontroversi tender Erspo, yang melibatkan kerabat dekat lingkaran Erick Thohir, seolah menjadi prolog yang memberi isyarat akan arah cerita selanjutnya. Tak lama berselang, PHK massal yang mengguncang organisasi pun terjadi, seakan-akan menjadi babak kedua yang membuka tirai bagi masuknya para pemain baru – orang-orang kepercayaan Thohir – ke panggung utama PSSI.
Sementara drama ini terus bergulir, bayangan kekhawatiran mulai menyelimuti masa depan sepakbola putri Indonesia. Layaknya pepatah “pengalaman adalah guru terbaik”, kita diingatkan pada kisah Perbasi (Persatuan Bola Basket Seluruh Indonesia) di bawah naungan Mahaka Group.
Di sana, liga basket putri seolah terjebak dalam lingkaran janji-janji tanpa ujung, tanpa pernah melihat realisasi konkretnya. Kini, dengan masuknya gerbong Mahaka Group ke dalam kepemimpinan baru PSSI,wajar jika muncul ketakutan yang sama mulai menggelayut. Akankah sepakbola putri Indonesia terjebak dalam skenario serupa, di mana harapan dan janji tinggal menjadi kata-kata manis tanpa aksi nyata? Dugaan nepotisme tidak hanya berdampak pada proses pengambilan keputusan bisnis atau perombakan struktur organisasi, tetapi juga berpotensi mengancam perkembangan sepakbola Indonesia secara keseluruhan, terutama untuk cabang yang mungkin dianggap kurang menguntungkan secara finansial seperti sepakbola putri.
Di tengah badai kontroversi yang terus menerjang PSSI, nasib 43 buruh yang dipecat masih terkatung-katung dalam ketidakpastian. Keputusan pemecatan yang menuai kontroversi ini bukan sekadar persoalan hilangnya mata pencaharian, melainkan menjadi cermin dari problematika yang lebih kompleks dan mengakar dalam tubuh organisasi sepakbola nasional ini.
Tindakan pemecatan massal yang dilakukan PSSI semakin mempertegas kekhawatiran publik tentang arah pengelolaan sepakbola Indonesia. Dugaan kuat adanya praktik nepotisme dalam rencana pengisian posisi-posisi yang ditinggalkan membuat situasi ini semakin pelik. Beredarnya rumor bahwa kandidat-kandidat dari Mahaka Group–perusahaan yang memiliki afiliasi erat dengan Erick Thohir–akan mengisi posisi strategis pasca PHK, semakin mempertebal keyakinan adanya agenda tersembunyi dan kepentingan pribadi di balik keputusan ini.
Lebih memprihatinkan lagi, masalah tunggakan iuran BPJS Ketenagakerjaan yang belum terselesaikan sejak Desember 2021 menambah beban berat bagi para karyawan yang di-PHK. Keterlambatan pembayaran iuran yang sudah berlangsung hampir tiga tahun ini bukan hanya melanggar hak-hak dasar para pekerja, tetapi juga mengancam jaminan sosial dan kesejahteraan mereka di masa depan. Situasi ini semakin mempersulit posisi para mantan karyawan yang kini harus menghadapi ketidakpastian ganda: tidak hanya kehilangan pekerjaan, tetapi juga terancam kehilangan perlindungan sosial yang seharusnya menjadi hak mereka.
Tata Kelola Sepakbola Nasional: Buruhnya Sengsara, Sepakbolanya Merana
Kombinasi pemecatan massal, dugaan nepotisme, dan kelalaian dalam pemenuhan kewajiban terhadap buruh ini menciptakan narasi yang sangat mengkhawatirkan tentang tata kelola PSSI. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius tentang prioritas dan komitmen PSSI terhadap kesejahteraan para pekerjanya dan profesionalisme dalam pengelolaan sepakbola nasional.
Lebih jauh lagi, situasi ini mungkin akan berpotensi menciptakan efek domino yang merugikan bagi perkembangan sepakbola Indonesia secara keseluruhan. Hilangnya mayoritas tenaga kerja berpengalaman, terutama di bidang media dan teknik, bisa berdampak signifikan pada kualitas dan kontinuitas program-program sepak bola indonesia. Jika posisi-posisi kunci kemudian diisi oleh orang-orang yang dipilih berdasarkan koneksi pribadi daripada kompetensi, hal ini bisa mengancam profesionalisme dan efektivitas organisasi dalam jangka panjang.
Situasi ini menuntut adanya transparansi dan akuntabilitas yang lebih besar dari PSSI. Publik, termasuk para pemangku kepentingan dalam dunia sepakbola Indonesia, harus mendesak agar ada penjelasan komprehensif mengenai alasan di balik pemecatan massal, rencana konkret untuk menyelesaikan tunggakan iuran BPJS, serta jaminan bahwa proses pengisian posisi kosong akan dilakukan secara transparan dan berdasarkan merit.
Nasib 43 buruh yang menjadi korban pemecatan seharusnya dapat menjadi simbol perjuangan kelas dalam arena sepakbola Indonesia. Penyelesaian kasus ini bukan hanya tentang nasib segelintir individu, melainkan mencerminkan pertarungan yang lebih besar antara kelas pekerja dan elit penguasa dalam struktur PSSI.
Perlakuan terhadap para pekerja ini menjadi bukti nyata bagaimana kapitalisme korporat telah merasuki dan mengkorupsi institusi olahraga nasional, yang seharusnya menjadi wadah aspirasi rakyat dalam dunia sepakbola, yang kini tampak sebagai alat bagi segelintir elit untuk mengakumulasi kekuasaan dan keuntungan pribadi. Reformasi PSSI tidak bisa lagi sekadar menjadi retorika kosong, ia harus menjadi refleksi dari perjuangan yang lebih besar.
Sepakbola, sebagai olahraga rakyat, harus direbut kembali dari cengkeraman kapitalisme korporat dan dipulangkan ke pangkuan masyarakat. Hanya dengan demikian, mungkin kita dapat membangun fondasi bagi sepakbola Indonesia yang benar-benar inklusif dan adil.
Penulis: Cici Hartono
Editor: Elijah Warobay