Categories
Orasi

Jangan Normalisasi Pelecehan Seksual di Ranah Kerja!

Kasus “Staycation” beberapa waktu lalu cukup menggemparkan bukan? Atau tidak, karena ini merupakan hal yang “biasa”…?

Pada Mei 2023 silam, viral sebuah kasus pelecehan seksual yang dialami seorang buruh perempuan (AD, 24). Ia diajak “staycation” oleh bos dengan iming-iming perpanjangan kontrak. Tawaran ini ditolak nya, lalu ia diancam putus-kontrak.

AD melapor dan kasusnya masih dalam proses hingga hari ini.

**

Beberapa bulan lalu pada 2022, saya mengobrol dengan buruh perempuan pabrik garmen di kawasan Bandung Selatan. Selain bekerja selama delapan jam per hari, bergelut dengan mesin-mesin dan ruangan yang pengap, mereka harus senantiasa pula menerima pelecehan seksual dari atasannya. Mulai dari sebutan “Si Semok,” sampai pantat ditepok.

Lebih miris lagi ketika mereka dipaksa menganggap pelecehan seksual sebagai hal yang normal. Hal yang BIASA!

Berikut adalah beberapa dugaan saya tentang penyebab bungkamnya para korban pelecehan seksual di ranah kerja.

Pertama, ancaman dari pelaku. Pelaku yang memiliki jabatan lebih tinggi tentu dapat menggunakan kekuasaannya untuk mengendalikan buruh. Hal ini berkaitan dengan relasi kuasa, yang membuat buruh sulit melakukan perlawanan karena ada kuasa dari bos. Ancaman nyata berupa perlakuan tidak adil pada jam kerja, pemotongan upah hingga ke pemecatan akan terus menghantui mereka yang berusaha melawan.

Kedua, tiadanya sistem pendukung. Situasi kerja penuh persaingan, ancaman pemecatan dan kehilangan pekerjaan , menyuburkan perilaku apatis di lingkungan kerja. Buruh dibuat tidak peduli satu sama lain. Kemudian, orang mulai menempuh dan melanggengkan cara-cara licik demi mempertahankan jabatannya.

Ketiga, tentu saja rejim saat ini memang secara terstruktur TIDAK SERIUS dalam menanggapi kasus kekerasan seksual. Lihat saja, betapa panjangnya waktu yang diperlukan untuk pengesahan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), yang diperjuangkan hingga lebih dari 10 tahun (Komnas Perempuan).

Sekalipun sudah disahkan, dan sudah ada upaya untuk mengamalkannya, pelaksanaan UU TPKS harus tetap dikawal karena belum berjalan dengan baik. Kita juga perlu bertanya benarkah UU TPKS benar-benar melindungi buruh-buruh perempuan di pabrik? Yang berhadapan langsung dengan roda kapital, dan yang geraknya setiap kali terpenjara oleh relasi kuasa antara buruh dan bos?

Tiga faktor itu saja rasanya cukup untuk membuat korban pelecehan seksual memilih untuk tak bersuara. Tentu saja, tak tertutup kemungkinan jika ada faktor tambahan lainnya.

**

Saat saya berseluncur di internet, menelusuri kasus pelecehan seksual di ranah kerja, saya menemukan hasil survei yang dilakukan Never Okay Project (NOP) pada 12 Agustus-13 September 2022. Hasilnya, dari 1173 responden, terdapat 852 orang mengalami pelecehan seksual. Dari 852 orang tersebut, 54,81% pelakunya adalah atasan atau senior, dan 42,55% memilih untuk diam dan tidak tahu harus bagaimana.

Penelitian tersebut pula jelas menunjukkan bahwa 70,93% responden mengalami pelecehan seksual di ranah kerja! Untuk dicatat juga, penelitian tersebut dilakukan setelah UU TPKS disahkan.

UU TPKS sebagai dasar hukum harus disosialisasikan sampai ke akar-akarnya ke segala penjuru, khususnya di pabrik-pabrik yang relasi kuasanya sangat timpang dan tidak adil. Pelaksanaannya teknisnya pun harus segera disempurnakan. Agar tak ada lagi kasus “Staycation” jilid 2, atau jilid-jilid lainnya.

Sekalipun ada saja manusia kebal hukum, setidaknya masyarakat menjadi tahu apa yang harus dilakukan ketika melihat atau menjadi korban pelecehan seksual, dan memahami bahwa perilaku pelecehan seksual sekecil apapun, di manapun, tidak bisa dinormalisasi.

Penulis: Nana Miranda

Editor: Hidayat

Sumber:

https://www.google.com/amp/s/nasional.tempo.co/amp/1582527/kilas-balik-10-tahun-perjalanan-uu-tpks

https://tirto.id/kasus-staycation-buruh-di-bekasi-pekerja-perempuan-makin-rentan-gGnz

https://neverokayproject.org/pusat-data/riset/semua-bisa-kena-laporan-hasil-survei-kekerasan-dan-pelecehan-di-dunia-kerja-indonesia-2022/ pdf