Trimurti.id – Indonesia sebagai negara agraris yang memiliki sejarah panjang dalam sektor pertanian, memiliki potensi alam yang melimpah untuk menjadi kekuatan pertanian yang kuat. Dengan mayoritas penduduknya yang menggantungkan mata pencaharian pada pertanian. Sektor ini memiliki peran strategis dalam perekonomian negara ini. Seperti dahulu Indonesia dijuluki sebagai negara agraris, sebab mayoritas masyarakatnya merupakan petani dan ekonomi nasional bertumpu pada sektor pertanian
Pertanian memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk identitas dan cita-cita bangsa Indonesia. Pencapaian kemerdekaan pada tahun 1945 membawa semangat baru untuk mencapai kemandirian dan kemakmuran dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agraris. Semangat inilah yang kemudian tertuang dalam UU Pokok Agraria Tahun 1960. Sebuah hukum yang mengatur penggunaan, penguasaan, dan pemanfaatan tanah demi kepentingan rakyat. Di bawah landasan hukum ini, muncul harapan besar untuk mengangkat taraf hidup petani agar mendorong pembangunan pedesaan hingga mencapai kedaulatan pangan.
Namun, meskipun Indonesia memiliki potensi alam yang subur dan kondisi ideal untuk pertanian, harapan-harapan tersebut belum sepenuhnya terwujud. Pasca reformasi pada akhir 1998-an, harapan untuk perubahan dan kemajuan di sektor pertanian tidak terwujud sepenuhnya. Kondisi ini justru menghadirkan tantangan-tantangan baru bagi gerakan petani Indonesia. Kendati kediktatoran Orde Baru telah berakhir, gerakan petani tetap dihadapkan pada berbagai masalah dan permasalahan yang kompleks.
Salah satu masalah utama adalah meningkatnya kasus konflik agraria yang menimbulkan ketidakadilan dan ketegangan sosial. Penguasaan lahan yang tidak merata dan konflik antara petani dengan perusahaan atau pemilik modal menimbulkan kerugian besar bagi para petani dan lingkungan sekitarnya. Selain itu, laju industrialisasi teknokratis yang semakin pesat juga telah merubah lanskap pertanian serta menghadirkan dampak negatif terhadap lingkungan hidup juga mata pencaharian petani tradisional.
Konflik agraria menjadi salah satu tantangan paling kompleks yang dihadapi oleh gerakan petani. Konflik agraria dapat diartikan sebagai konflik yang berkaitan dengan pertentangan atas hak dan kepemilikan tanah. Konflik ini sering melibatkan petani, masyarakat adat, perusahaan besar, dan pemerintah. Dalam beberapa kasus, konflik agraria bahkan berujung pada tindakan represif dari aparat keamanan yang menyebabkan korban jiwa dan pelanggaran hak asasi manusia.
Selama beberapa dekade terakhir, konflik agraria di Indonesia meningkat secara signifikan. Organisasi seperti Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat bahwa dari tahun 2010 hingga 2019, terdapat sekitar 3358 kasus agraria. Angka ini belum mencakup konflik-konflik yang terjadi setelah tahun 2019. Konflik agraria sering terjadi akibat perampasan lahan oleh kelompok pengusaha dan korporasi. Sekitar enam puluh delapan persen tanah di Indonesia dikuasai hanya oleh satu persen kelompok tersebut. Ketidakadilan dalam akses dan penguasaan lahan ini menjadi salah satu tantangan utama bagi gerakan petani.
Pengembangan proyek infrastruktur seperti bendungan, jalan tol, perkebunan besar, industri ekstraktif seperti pertambangan, perkebunan kelapa sawit, dan industri lainnya juga berkontribusi pada konflik agraria. Ekspansi perusahaan-perusahaan ini seringkali mengakibatkan perampasan lahan milik petani dan masyarakat adat. Selain itu, praktik-praktik eksploitasi lingkungan yang merusak ekosistem alam, air, dan tanah juga menjadi pemicu konflik dengan masyarakat lokal yang menggantungkan hidupnya dari sumber daya alam tersebut.
Tidak jarang terjadi pertentangan antara hukum dan kebijakan pemerintah dengan kepentingan petani dan masyarakat lokal. Seringkali, banyak regulasi yang justru tumpang tindih membuat semakin peliknya konflik lahan. Kebijakan pemerintah yang cenderung mendukung investasi dan pertumbuhan ekonomi tanpa mempertimbangkan dampak sosial dan lingkungan juga bisa menjadi sumber ketegangan dan konflik agraria.
Dalam beberapa kasus, konflik agraria di Indonesia berujung pada represi dan kekerasan. Aparat keamanan seringkali digunakan oleh pemerintah/perusahaan untuk mengatasi perlawanan petani atau masyarakat adat yang berusaha mempertahankan hak-hak tanah mereka. Aksi represif ini seringkali menyebabkan korban jiwa, luka-luka, dan pelanggaran hak asasi manusia.
Konflik agraria dan penguasaan lahan menjadi tantangan serius bagi gerakan petani di Indonesia. Ketidakadilan dalam penguasaan lahan, pembangunan infrastruktur, ekspansi industri ekstraktif, pertentangan hukum dan kebijakan, serta represi dan kekerasan merupakan isu-isu yang harus diatasi secara holistik dan berkelanjutan. Daripada berharap penyelesaian konflik agraria kepada pemerintah, lebih baik merapatkan barisan agar gerakan petani menjadi lebih kuat disetiap titik konflik maupun yang belum mengalami konflik secara langsung.
Penulis: Nikita Sulaiman Akbar, Serikat Petani Harvestmind
Editor: Rokky Rivandy