Seberapa suram lanskap Manchester dari bukit Kersal Moor yang dilukis Wiliam Wylde? The Condition of the Working Class in England (1844) yang ditulis Friedrich Engels bisa jadi jawaban: barisan kepala tanpa atap dan perut-perut kurang roti.
Suatu kota dikenal dan dikenang sebagaimana kota itu dikisahkan. Konon selain arsitektur bata merah yang ikonik, markas klub bola yang memiliki fans luar biasa di seluruh dunia, Manchester juga dikenal sebagai tempatnya musik.
Di atas Wylde dan Engels telah menangkap kondisi Manchester pada abad sembilan belas. Di tengat abad dua puluh yang paling nyaring dari kota ini adalah musiknya. Karena musik juga kota ini banjir pengunjung kala itu.
Sayangnya, perkenalan awal saya dengan Manchester harus melalui Joy Division, The Fall, dan The Smith. Jadi jangan harap ada kisah kolosal seperti yang dituturkan Oasis. Tiga band tersebut sedikit-banyak menjelaskan seberapa kelam lingkungannya berasal.
Satir terbaik mengenai Manchester keluar dari mulut mantan penduduknya, seniman cum musisi nyentrik Genesis P-Orridge. Setiap kali ada pertanyaan tempat asal, ia lugas menjawab Manchester, bukan Britania. Dia menjawab begitu bukan karena rasa bangga, melainkan kebenciannya yang akut. Bagi vokalis Throbbing Gristle itu, Manchester adalah kehampaan absolut tanpa lingkungan spiritual.
Perasaan yang sama diidap oleh jurnalis musik, Jon Savage. Dia mengumpat kepada situasi Manchester “grim beyond belief” ketika harus menetap di kota ini sesudah terimbas relokasi di London pada tahun 1978.
Kota ini dikisahkan memang serba menyeramkan. Inggris pada 1970an memang lagi gelap-gelapnya. Gelap dalam artian lebih luas dari sekedar pemadaman listrik tiga hari dalam seminggu yang melanda kota-kota di negara tersebut.
Dalam kelesuan ekonomi itu, Manchester yang merupakan penghasil tekstil terbaik dan pusat kapitalisme dunia pada jamannya, kena imbas pertama. Sepanjang 1966 hingga 1975 saja, lapangan kerja di sektor utama yaitu industri pengolahan (manufaktur) hilang seperempatnya. Pada tahun-tahun itu pula kota industri tertua ini menjadi kota pertama yang beralih ke era pascaindustri.
The Fall sempat merekam perubahan itu ke dalam lagu “Industrial Estate.” Tak ada catatan romantis dalam lirik lagunya. Manchester dikisahkan dengan getir penuh ironi. Terserah dengan arsitek yang merancang kota dengan segala gembar-gembor kemegahan dan keindahannya.
Lewat lagu “Victoria,” The Fall membeberkan hubungan benci-tapi-cinta antara mereka dengan tempat kelahirannya. Memang ada penggalan liriknya yang bercerita begini:
I was born, lucky me/Aku lahir, hm.. dengan diliputi keberuntungan
In the land that I love/di tanah yang aku cintai
Though I’m poor, I’m free/biarpun miskin, aku bebas
Kedengarannya manis. Tapi tolong ingat, lagu ini ditulis Mark. E. Smith yang punya selera humor lumayan absurd.
Personil The Fall menjalani masa muda saat Manchester sedang gencar-gencarnya menjalankan program Kota Tanpa Kumuh. Manchester bersama Liverpool memiliki angka bongkar rumah terbesar. Una Baines, keyboardist pertama The Fall punya pengalaman kelam perihal itu. Baines selalu ingat peristiwa sang ibu menangis di pojokan jalan Collyhurst menyaksikan rumahnya dihancurkan.
Di sisi lain ada juga band yang seluruh tema musiknya soal galau-galauan. Band seumur jagung bernama Joy Division ini pula yang boleh masigul perihal itu. Tidak terbatas dari karya-karya lirisnya, latar belakang dan sengkarut kehidupan personilnya pun tak kalah miris, khususon almarhum Ian Curtis.
Memang Joy Division tak hendak berbicara fuck-the-world layaknya Sex Pistols, tidak pula galau-generik putus cinta dan sejenisnya. Terdengar subtil? Tidak juga, atau barangkali saya selalu menghindar dari uraian kabur semisal: kegalauan relung manusia paling dalam, kegalauan yang melampaui jamannya, kegalauan yang belum terdefinisikan dan lain-lain.
Tidak bisa ditampik, kepopuleran transgresifitas karya sastra J.G Ballard di Britania Raya mempengaruhi kepenulisan lirik galau Joy Division yang konon subtil itu. Sebuah penggarapan cerdik dari tema rasa takut dan kehampaan yang dibaurkan dengan endapan pengalaman Ian Curtis selama hidupnya.
Pegang tangan Ian Curtis persis yang dianjurkannya dalam lagu “Atrocity Exhibition.” Biarkan ia mendongeng tentang apa yang sudah dan akan terjadi di Manchester. Ingat penggalan lirik sebelumnya
you’ll see the horrors of a faraway place/ Kau akan melihat kengerian dari tempat yang jauh
Meet the architects of law face to face/Temui para pembuat peraturan
See mass murder on scale you’ve never seen/ Lihatlah pembantaian massal yang tak pernah terbayangkan
And all the ones who try hard to succed/ dan mereka yang mati-matian ingin berhasil.
(Yuk teriak semuanya!)
This the way, the step inside/ lewat sini, masuk ke dalam (4X).
Sejak era Buzzcocks, band punk yang dibentuk pada 1976, warna musik Manchester sudah sedemikian punya anomali. Dalam catatan obituari untuk vokalisnya Pete Shelley, jurnalis musik Simon Reynold menjuluki Buzzcock sebagai punk sensitif pertama. “Paling nyeleneh di antara yang nyeleneh,” seloroh Reynold, mengingat Buzzcock menulis lirik personal di saat band punk di kota lain sedang gemar melancarkan kekecewaan sosial.
Legasi itu diteruskan oleh generasi selanjutnya. Morrisey bersama The Smith mempelajari penyampaian lirik Buzzcock kelewat canggih. Peduli setan kompas politik Morrissey yang sediki-demi-sedikit terkuak kecenderungan simpatinya terhadap gerakan anti imigran.
Setidaknya dalam The Smith pengalaman Moz sebagai Mancunian, orang yang dibesarkan di Manchester, hanyut bersama lirik yang getir, bagaimanapun lantunan musik ceria membungkusnya. The Smith barangkali suara Morrisey muda di tengah Manchester yang menyebalkan, sebelum Morrisey menjadi tua dan sama-sama menyebalkan.
Memang betul Morrisey pernah membuat lagu “Margaret in Guillotine”. Hanya saja saat ekonomi Ingris terpuruk, banyak orang mengambil sikap politik yang keliru. Seperti pencarian massal kambing hitam supaya ada sesuatu yang bisa disalahkan. Kebetulan, sasaran empuk untuk dijadikan kambing hitam adalah imigran pendatang dan muslim. Barangkali situasi itulah yang membentuk pribadi Morrisey menjadi demagog proto-fasis pada usia yang seharusnya disikapi lebih dewasa.
Saya tidak berniat mewajarkan Morrissey. Mendengarkan The Smith tidak seperti mendengarkan (beberapa) lagu solonya Morrissey yang eksplisit kanan-nyaris-mentok. Garry Bhusell sebagai pengkhidmat musik dan (wabil-khusus) skena Oi! pernah memaparkan bagaimana partai-partai sayap kanan di daratan Inggris tahun 1980an sering meraih suara 15-20 persen di banyak daerah berpenghasilan rendah, bagian-bagian kota yang dihuni kelas pekerja. Barangkali Morrisey yang lahir dari keluarga kelas pekerja tak terkecuali kena doktrinnya.
Morrissey bersama The Smith dalam “Heaven Know I’m Miserable Now” merenungkan alienasi yang dideritanya, sampai mencap dirinya sendiri miserable. Menggugat aktivitasnya sendiri sebagai pekerja. Lagu ini dirilis tahun 1984 saat dimana Manchester kehilangan pekerjaan 207.000 di sektor manufaktur sehingga meningkatkan angka pengangguran 20% dalam kurun waktu 1972 hingga 1984.
Menyertai lesunya ekonomi di Eropa barat, pemodal di negara-negara maju berbondong-bondong memindahkan lapak ke negara-negara selatan. Mengapa tidak? Di negara-negara seperti Indonesia perizinan mudah didapat dan lebih mendekat ke sumber bahan baku. Pertimbangan lainnya tentu saja, disini harga buruh murah-meriah lagi melimpah.
Sejak itu juga Indonesia beserta banyak negara di Asia Selatan dan Tenggara, sudah dikapling sebagai negara produksi untuk memasok dunia. Perkara kebudayan dan ilmu pengetahuan, itu urusan negara utara alias negara maju, kita mah ngikut mereka aja.
Pada tahun-tahun peralihan itu, pabrik-pabrik meninggalkan Manchester (dan sekarang produksi beralih dan berada di Tangerang, Majalaya, dan pinggiran Semarang). Dalam transisi ini, Manchester lebih mirip reruntuhan yang dijejali gedung-gedung kosong melompong.
Hulme Crescent yang kala dibangun dijuluki sebagai perumahan terbesar di Eropa merupakan salah satu manifestasi mengenai musik dan kotanya. Karena setelah dua tahun diresmikan, Hulme Crescent dinobatkan sebagai perumahan terburuk di Eropa. Alasannya, rancangan jelek dan berbahaya untuk dihuni manusia.
Hulme Crescent kemudian terbengkalai. Mirip-miriplah dengan Pruitt-Igoe di Amerika atau apartemen mangkrak Meikarta di Bekasi. Bedanya dua perumahan sebelumnya sudah dihancurkan, sedangkan Meikarta di Bekasi lagi dibangun tapi belum jadi-jadi.
Berbagai cacat pada perumahan itu membuat pemerintah daerah sejak 1984 berhenti menagih uang sewa dari penyewa yang masih tinggal di sana. Anak-anak muda Manchester lantas memanfaatkan gedung-gedung kosong itu untuk pesta Rave, mereka tidak perlu jauh pergi ke Ibiza hanya untuk menikmati acid house.
Hulme Crescent seperti menjadi daerah otonom bagi seniman, punk, rave, dan lainnya. Penduduk Manchester menemukan pelarian dari kesulitan hidup melalui musik dengan semengat ekstasi dari eskapisme, nyerempet hedon, dan erotis.
Sepuluh tahun kemudian, pada 1994, Hulme Crescent memang dihancurkan. Tapi kreatifitas yang lahir dari anak muda di tempat itu kadung menjalar ke sudut-sudut Manchester.
Factory Record dengan ambisi situasionisnya Tony Wilson muncul. Di bawah nama Tony Wilson pula gudang pabrik di Whitworth Street West beralih fungsi menjadi klub bernama The Haçienda. Kemudian, klub itu jadi cikal bakal munculnya skena Madchester. Dua kisah sukses secara komersil dari kelab ini ada di pundak New Order dan The Stones Rose.
Namun Haçienda juga nasibnya tak jauh berbeda, sejak 2007 tempat itu bukan lagi kelab malam. Semua bangunan sebelumnya diruntuhkan untuk dibangun kembali sebuah apartemen dengan nama yang sama. Tidak ada sisa berangkal bangunan maupun berangkal kultural yang tersisa di apartemen Haçienda. Sekarang Manchester sama seperti negara (maju) utara lainnya.
Begitulah perkenalan saya dengan Manchester. Entah musik yang merekam kelamnya Manchester kala itu atau keadaan Manchester mengondisikan musiknya. Terlepas dari itu, musik sama seperti produk budaya lainnya, terbentuk sebagaimana jaman terancang dan melahirkannya.
Thanks Industrial Revolution, you gave me rock music!
Penulis: Rokky Rivandy
Editor: Cecep Hidayat