Categories
Orasi

Hari Tani Nasional, Reforma Agraria Sejati dan Pertanian Berkelanjutan

Menjelang HTN (Hari Tani Nasional) tahun 2023 di Indonesia, sektor agraria banyak diwarnai oleh aksi kekerasan aparat baik TNI dan Kepolisian terhadap masyarakat yang mempertahankan hak atas tanahnya.

Yang paling ramai tentu saja kasus di Rempang, dimana aksi kekerasan oleh aparat kepada masyarakat. Wajar saja jika kemudian mereka (baca: masyarakat) membalas perlakuan tersebut dengan kekerasan pula, mereka hanya mempertahankan tanah adat leluhur mereka. Kemudian baru-baru ini di lampung tengah, dimana seorang polisi menginjak kepala seorang warga dalam konflik agraria antar masyarakat dengan pengusaha sawit.

Dua kasus tersebut merupakan sedikit dari ratusan kasus konflik agraria yang terjadi selama rezim sipil otoritarian Jokowi. Kita mungkin masih mengingat bagaimana konflik petani dengan pabrik semen di Kendeng, petani melawan penggusuran untuk pembangunan bandara YIA di Kulonprogo, masyarakat Wadas yang menolak dirampas tanahnya untuk pembangunan bendungan dan masih segudang konflik-konflik serupa yang mungkin tidak cukup untuk kita bahas dalam satu artikel.

Refroma Agraria di Indonesia merupakan sejarah perjuangan panjang yang masih jauh dari kata menang. Di bawah rezim sipil otoritarian jokowi Reforma Agraria bahkan hanya sekedar dimaknai sebagai bagi-bagi sertifikat. Lebih dari pada itu Reforma Agraria merupakan sesuatu yang holistik, kita bicara tentang akses atas tanah, tempat tinggal, ladang, air, udara, lingkungan yang layak hingga rantai produksi dan rantai nilai pertanian.

Mandat Reforma Agraria ini cukup jelas tertuang pada UU Pokok Agraria tahun 1960 yang wajib dijalankan oleh pemerintah. Namun dari rezim ke rezim tidak sekalipun Reforma Agraria sejati ini dijalankan secara serius. Justru yang ada pemerintah–seringkali atas nama nasionalisme dan pembangunan–memicu konflik-konflik agraria baik dengan masyarakat adat, masyarakat perkotaan maupun dengan petani.

Selain permasalahan konflik agraria dan Reforma Agraria yang belum berjalan dengan baik, petani juga dihadapkan pada permasalahan harga komoditas pertanian yang sangat fluktuatif komoditas pertanian. Hasil komoditas pertanian sangat bergantung pada faktor-faktor seperti cuaca, permintaan pasar, hingga perubahan kebijakan perdagangan dan pertanian. Ketika harga komoditas jatuh, petani makin terjerembab dalam jurang kemiskinan dan sulit untuk mencapai ekonomi yang berkelanjutan apalagi hingga kesejahteraan.

Bisa kita katakan bahwa harga komoditas pertanian yang fluktuatif dan cenderung murah ini juga berhubungan dengan rezim upah murah pada sektor perburuhan. Pada sektor perburuhan, reproduksi tenaga kerja dengan biaya murah sangat dibutuhkan. Hal ini tentu saja agar upah buruh menjadi murah. Untuk menekan biaya reproduksi tenaga kerja ini, diperlukan kebijakan dan sistem pasar yang menekan harga pangan, agar biaya kebutuhan buruh menjadi rendah. (Philip McMichael: Rezim Pangan dan Masalah Agraria).

Tantangan lain adalah biaya produksi yang mahal, sementara harga komoditas pertanian sangat murah. Mahalya biaya produksi tersebut setidaknya dapat dilihat dari terus meningkatnya harga input produksi seperti bibit, pupuk, pestisida dan bahan bakar untuk distribusi. 

Kondisi tersebut tentu meyulitkan petani, apalagi petani skala kecil dan buruh tani. Mereka sudah dipastikan mustahil mendapatkan hasil yang menguntungkan.

Ketergantungan terus menerus pada input produksi yang semakin hari semakin mahal, menghambat pertanian yang berkelanjutan.

Ketergantungan pada input produksi ini disebabkan oleh adanya revolusi hijau pada pertengahan abad 20an. Revolusi hijau pada awalnya memang meningkatkan produksi pangan global secara signifikan melalui penggunaan pupuk kimia, pestisida kimia dan bibit Genetica Modification Organism (GMO). Namun, dampak panjang dari revolusi hijau ini justru sangat merugikan. Salah satunya adalah penurunan kualitas tanah dan merusak ekosistem. Jelas ini mengancam pertanian yang berkelanjutan dalam jangka panjang.

Penelitian yang dilakukan oleh Greenpeace, GRAIN dan Institute for Agriculture and Trade Policy (IATP) mencatat bahwa pupuk N sintetis atau pupuk urea menyumbang 2,4% pemanasan global sejak dari produksi, distribusi hingga setelah dilakukan pengaplikasian ke  tanah. Mayoritas emisi dari pupuk N sintetik terjadi setelah pupuk tersebut diaplikasikan ke dalam tanah dan dilepaskan ke atmosfer dalam bentuk dinitrogen oksida (N2O) – gas rumah kaca yang persisten dengan potensi pemanasan global 265 kali lebih besar dibandingkan CO2. 

Hampir 40% dari total tersebut merupakan hasil emisi dari produksi dan distribusi pupuk N sintetis. Sejak tahun 1960an dan dimulainya rezim pangan ke 2 yang berpusat di Amerika untuk meningkatkan pasokan pangan global, produksi pupuk kimia sintetis ini meningkat 800% menurut laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC).

Perubahan iklim juga variabel yang cukup berpengaruh pada hasil komoditas pertanian. Krisis iklim adalah masalah serius yang mengancam pertanian di seluruh dunia. Peningkatan suhu global, pola cuaca yang tidak stabil cenderung tidak bisa diprediksi dan cuaca ekstim semakin mempengaruhi produktivitas pertanian. Petani harus beradaptasi dengan perubahan-perubahan ini, yang seringkali memerlukan tambahan biaya dalam produksi komoditas pertanian.

Dari penjelasan tersebut tentu saja bahwa solidaritas, kerja-kerja advokasi dan pengorganisasian tidak bisa lagi hanya sektoral. Ini tentu saja menjadi perjuangan bersama dalam mewujudkan hak atas pangan yang sehat, upah buruh layak, hak atas tanah dan Reforma Agraria Sejati. Perlu adanya kerja-kerja kerakyatan yang kongkrit dan berkelanjutan multi sektor. Jika pemerintah tidak becus bahkan tidak mau melakukan kerja-kerja tersebut, maka kita perlu mewujudkannya bersama meskipun tanpa pemerintah. 

Selamat Hari Tani Nasional 2023.

 

Penulis: Nikita Sulaiman Akbar

Editor: Ilyas Gautama