Hari Tani Nasional adalah Mercusuar Pengingat Masalah Agraria di Indonesia
Pembangunan agraria nasional di Indonesia dimulai dengan diterbitkannya satu produk hukum yang sangat progresif, yaitu Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Dengan UU tersebut, pemerintah waktu itu hendak menciptakan suatu tatanan masyarakat yang ideal, yaitu “masyarakat yang adil-makmur berdasarkan Pancasila” atau “sosialisme Indonesia” melalui pembangunan agraria nasional, secara khusus pembaruan agraria (agrarian reform).
Semangat UUPA yang mempelopori pembangunan agraria di Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan semangat kaum revolusioner yang hendak melepaskan cengkeraman kolonialisme dari tanah Indonesia. Bersamaan dengan semangat yang dimaksud, pada 24 September 1963, pemerintah menetapkan tanggal disahkannya UUPA sebagai Hari Tani Nasional (HTN) dengan tujuan menjaga semangat pembangunan agraria Indonesia supaya selalu dalam garisnya, sosialisme Indonesia.[1]
Ironisnya, keluhuran cita-cita tidak selalu selaras dengan upaya dan realisasinya. Dalam konteks hari ini, pembangunan agraria nasional telah dikooptasi oleh rezim politik yang menyongsong pembangunan ekonomi liberal. Akibatnya, pembangunan agraria di Indonesia telah sangat menjauh dari cita-cita luhurnya. Kondisi ini dapat dipahami melalui sejumlah permasalahan yang muncul dewasa ini, yaitu semakin membesarnya ketimpangan penguasaan lahan di Indonesia dan menguatnya penetrasi kapitalisme di pedesaan.
Tentang ketimpangan penguasaan lahan di Indonesia, sensus pertanian pada tahun 2018 menunjukkan bahwa rata-rata penguasaan tanah oleh rumah tangga petani hanya mencapai 0.78 ha per rumah tangga. Persentase rumah tangga petani gurem dan tak bertanah (absolute-landless) secara beruntun telah mencapai 59% dan 36% dari total seluruh rumah tangga petani yang ada (sekitar 37 juta).[2] Berangkat dari struktur penguasaan tanah yang demikian, rasio gini ketimpangan penguasaan tanah di kalangan rumah tangga petani sangat tinggi–tidak pernah berada di bawah 0,5 sejak enam dekade ke belakang, bahkan pada 2018 mencapai angka 0,7. Fenomena ini merupakan representasi dari kegagalan negara dalam merombak struktur penguasaan tanah serta telah menjauhnya pembangunan agraria Indonesia dari cita-cita awalnya, sosialisme Indonesia.
Semakin tinggi angka ketimpangan penguasaan tanah di kalangan rumah tangga petani menunjukkan bahwa penetrasi kapital di pedesaan turut serta menguat. Hal ini terlihat dari membesarnya konsentrasi penguasaan tanah oleh kelas tuan tanah yang berlangsung secara terus-menerus. Petani gurem, buruh tani, dan petani tak bertanah (landless), jumlahnya semakin meningkat. Ketersediaan lahan di pedesaan untuk kegiatan pertanian semakin menyempit sehingga rumah tangga petani semakin kehilangan akses untuk menggarap lahan dan melakukan reproduksi.
Selain itu, 40% (75 juta ha) dari total luas daratan Indonesia telah dikuasai oleh industri ekstraktif berskala besar. Sekitar 120 juta ha telah ditetapkan sebagai Kawasan Hutan yang terlarang untuk kegiatan pertanian. Pada tahun 2018, hanya tersisa 21 juta ha untuk lahan pertanian yang tidak pernah sebanding dengan populasi rumah tangga petani yang jumlahnya semakin bertambah.[3]
Fakta tentang ketimpangan penguasaan tanah yang kemudian berimplikasi pada semakin mengecilnya lahan pertanian, khususnya di pedesaan, berjalan beriringan dengan munculnya kebijakan pemerintah yang justru semakin memperkeruh masalah, seperti pembentukan Badan Bank Tanah dan Reforma Agraria ala Joko Widodo.[4] Dua kebijakan ini dapat dipahami sebagai upaya pemerintah dalam membentuk pasar tanah murah di Indonesia. Tujuan akhir dari pembentukan pasar tanah murah adalah pemberian konsesi tanah seluas-luasnya kepada pengusaha, pengembang atau investor, yang akan diikuti oleh pembentukan pasar tenaga kerja murah di Indonesia.
Kompleksitas masalah agraria pada konteks hari ini telah membuat cita-cita pembangunan agraria nasional menurut UUPA semakin jauh. Karenanya, momen HTN yang awalnya diperingati sebagai semangat pembangunan agraria menuju masyarakat yang adil-makmur berdasarkan Pancasila, kini harus pula dipahami sebagai mercusuar pengingat bahwa pembangunan agraria Indonesia mengandung masalah yang kronis, mendasar, dan kompleks, bahkan cenderung telah mengkhianati cita-cita yang digariskan UUPA.
Saatnya Menggalakkan Inisiatif dari Bawah
Pembangunan agraria nasional hari ini telah keluar jalur. Program-program terkait pertanahan di Indonesia ada untuk kepentingan ekonomi liberal semata, yang membuat kaum tani semakin tereksploitasi dan terpinggirkan. Gerakan rakyat di seluruh Indonesia tidak perlu lagi untuk menunggu inisiatif negara menjalankan pembangunan agraria yang sesuai dengan konstitusi dan UUPA 1960. Justru, kelompok gerakan berkewajiban untuk membangun kekuatan ‘dari bawah’ dalam rangka melaksanakan amanat UUPA 1960, yaitu Pembaruan Agraria (Agrarian Reform) yang bertujuan mewujudkan suatu tatanan masyarakat baru, sosialisme Indonesia.
Penulis : Rizki M. Hakim, Peneliti Agrarian Resource Center (ARC)
Editor: Dachlan Bekti
[1] Lihat: Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia No. 169 Tahun 1963 Tentang Hari Tani.
[2] Lihat Dianto Bachriadi (2020), 24.2: Manifesto Penataan Ulang Penguasaan Tanah ‘Kawasan Hutan’, Bandung: ARC Books, hal. 68-70.
[3] Ibid, hal. 13-17.
[4] Dianto Bachriadi (2019), “Panas Tidak Sampai Petang: Reforma Agraria Dipandu Hutang”, Working Paper ARC.;Rizki Maulana Hakim (2023), “Bank Tanah dan Pembentukan Pasar Tanah”, arc.or.id.