Categories
Orasi

Narasi yang Diabaikan dalam Dokumenter Barang Panas

Trimurti.id – Citra buruk panas bumi makin hari makin terbongkar. Warga yang tinggal di daerah-daerah industri panas bumi beroperasi sudah merasakan dampak kerusakannya. Sementara masyarakat yang tinggal wilayah rencana eksplorasi, sedang dan terus berjuang melawan. Mereka saling bertukar cerita, menghasilkan gelombang penolakan di mana-mana.

Di tengah situasi tersebut, rumah produksi Ekspedisi Indonesia Baru merilis film Barang Panas yang merekam dampak kerusakan dan gerakan penolakan atas proyek panas bumi di beberapa tempat di Indonesia. Berbeda dengan film-film sebelumnya, yang disambut meriah oleh khalayak dan diputar di mana-mana, Barang Panas justru mendapat respons yang cenderung sebaliknya. 

Kalangan aktivis, bahkan warga penolak geothermal sendiri merasa tidak puas dengan isi film tersebut. Mereka tidak sepakat dengan tujuh menit terakhir dari isi film tersebut, ketika Dandhy Dwi Laksono selaku sutradara membuat kesimpulan yang kontroversial. 

Pernyataan sutradara yang paling mendapat sorotan adalah ketika dirinya menyatakan setuju dengan eksplorasi panas bumi dengan syarat masih dalam skala kecil dan dengan melibatkan partisipasi warga sekitar tapak eksplorasi. Hal itu menjadi kontroversi karena di sepanjang film warga yang muncul di dalam film dengan tegas menyatakan menolak eksplorasi panas bumi, tanpa syarat skala kecil atau apapun. Meminjam istilah Wahyu Eka, Direktur Eksekutif WALHI Jawa Timur, ada narasi yang inkonsisten dalam Barang Panas

Dokumenter Barang Panas sebenarnya telah menambah daftar film yang menampilkan dampak eksplorasi panas bumi. Sebelumnya, program “Indonesiaku” Trans7 meliput dampak panas bumi di Mataloko, Nusa Tenggara Timur. Tahun 2010, film Gasland yang disutradarai Josh Fox dirilis tapi sempat dilarang beredar sebab membongkar dampak kerusakan eksplorasi panas bumi di Amerika Serikat

Namun, kritik tetap harus diungkapkan. Selain ditujukan untuk film itu sendiri, juga untuk menambah khazanah publik seputar isu panas bumi dan energi nasional secara umum. Karenanya, tulisan ini hendak menyampaikan satu lagi daftar kritik atas Barang Panas, serta membincangkan isu energi dan kelistrikan secara umum. 

Promosikan Energi Skala Kecil, Tapi Abaikan Kritik Kapital

Jika Wahyu Eka melihat inkonsistensi narasi dalam Barang Panas, sebagai penikmat, saya justru melihat sisi yang konsisten dari narasi sutradara Ekspedisi Indonesia Baru dalam mengelaborasi masalah energi di Indonesia. Dalam rangkaian film-filmnya yang bertema energi, sutradara dengan konsisten mempromosikan energi terbarukan skala kecil, mulai dari micro hydro, panel surya atap, dan panas bumi skala kecil. Sialnya, saat ini isu panas bumi benar-benar sedang panas dan filmnya memicu kemarahan. 

Dapat dipahami, ide tentang energi pembangkit skala kecil itu didasarkan pada asumsi bahwa apapun bentuk energinya, jika dilakukan dalam skala besar, pada akhirnya akan menimbulkan kerusakan yang juga besar. Namun yang luput disampaikan, siapa yang paling mungkin bermain dalam bisnis energi skala kecil itu, seandainya proposal sutradara diwujudkan?

Pertama, kita tahu bahwa industri energi adalah industri berat yang berbiaya sangat mahal. Melihat kondisi saat ini, rakyat mungkin belum mampu membangun ekonomi tanding semacam itu. Kecuali jika rakyat bangkit, mengokupasi pabrik-pabrik dan mengubahnya menjadi koperasi. Jika tidak, jelas korporasi besar yang akan lebih banyak ambil bagian. 

Akan, tetapi poinnya, sebagaimana film-film sebelumnya, Barang Panas juga mengidap masalah yang sama, yaitu mengabaikan kritik terhadap kapital. Meskipun Sexy Killers mengungkap kepemilikan industri batubara, di sana tidak ada satu kata pun yang mempromosikan moda produksi tandingan dari moda produksi kapitalis. Film itu malah mempromosikan skema kredit agar harga panel surya menjadi lebih terjangkau. 

Di film Kesetrum Listrik Negara (KLN), Watchdoc mengkritik monopoli jual beli listrik oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN). Pada saat yang sama, mereka mempromosikan agar warga (dan swasta) dapat memproduksi pembangkit listrik skala kecil, sekaligus melakukan jual beli tanpa melalui PLN. Itu sama artinya dengan melemparkan industri listrik, barang yang menyangkut hajat hidup orang banyak, ke dalam pasar bebas. 

Sutradara juga lupa bahwa take or pay, yang diulas dalam KLN sebagai kegagalan tata kelola PLN, sebenarnya merupakan bagian dari skema yang memuluskan reorganisasi kapital. Melalui produk hukum yang disebut public private partnership (PPP), negara didorong untuk menjamin untung bisnis infrastruktur kapital. Skema PPP, dalam istilah Dian Yanuardi, disebut perampokan yang berlisensi

Promosi industri energi “terbarukan” skala kecil itu kemudian muncul lagi dalam Barang Panas. Lagi-lagi, kritik kapital tetap diabaikan. Film ini cenderung menampilkan geothermal sebagai isu energi semata, tanpa mendudukkannya sebagai bagian dari reorganisasi kapital yang lebih besar. Padahal posisi industri listrik dan energi secara umum dalam sejarah pembangunan nasional sebagai infrastruktur kapital. 

Di era kolonial, industri listrik hadir untuk melayani perkebunan swasta. Di era Orde Baru, listrik diperlukan untuk menopang Revolusi Hijau, serta booming industri manufaktur dan pembangunan kota-kota besar. Sedangkan sekarang, target 35 GW produksi listrik nasional ada untuk melayani mega proyek koridorisasi ekonomi nasional, bahkan global. 

Megaproyek koridorisasi ekonomi itu sederhananya adalah solusi atas krisis kapitalisme global, dengan membuka ruang-ruang akumulasi baru, berupa kota-kota dan kawasan industri baru. Pemerintah didorong untuk membangun Jabodetabek-Jabodetabek baru di seluruh Indonesia. Cetak birunya dibuat oleh sebuah konsultan pembangunan ekonomi internasional, Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA), di Indonesia diterjemahkan melalui Peraturan Presiden No. 32/2011 tentang Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 (MP3EI), dan sekarang diwujudkan dalam sederet Proyek Strategis Nasional (PSN). 

Berimbas Mereduksi Kemungkinan Solidaritas yang Lebih Besar

Saya yakin, sutradara cukup paham dengan konteks besar persoalan energi tersebut. Beberapa filmnya ditujukan untuk mengungkap dampak-dampak negatif PSN. Namun, entah mengapa framing film-filmnya kerap dilepaskan dari kritik atas kapital. Seperti Barang Panas, yang menampilkan banyak dampak industri panas bumi dan perjuangan penolakan warga di banyak tempat, tapi melepaskan industri panas bumi sebagai penopang reorganisasi dan akumulasi kapital yang lebih besar.

Absennya kritik kapital berimbas pada argumen dan kesimpulan yang coba ditampilkan. Barang Panas cenderung mereduksi potensi dampak kerusakan dan korban. Ada kesan bahwa korban bisnis panas bumi itu warga yang hidup di tapak-tapak eksplorasi panas bumi saja. Artinya, itu senada dengan narasi pemerintah yang menyatakan bahwa ruang hidup orang-orang di tapak panas bumi memang dikorbankan untuk memenuhi kebutuhan listrik orang-orang yang hidup di kota atau di wilayah lain yang tercukupi kebutuhan listriknya. 

Padahal, jika saja gambaran besarnya dimunculkan, orang-orang kota yang diterangi listrik itu juga kebanyakan adalah korban. Keduanya sama-sana korban cetak biru reorganisasi kapital dan proyek strategis nasional. Ketika orang-orang di tapak panas bumi dirampas tanah dan ruang hidupnya, kelas buruh di kota-kota dicuri jerih keringatnya. Kelas buruh mungkin tidak dirampas tanahnya, karena memang tidak punya tanah lagi, tapi yang dicuri dari mereka sekarang adalah satu-satunya sumber penghidupan mereka, yakni tenaga kerja. 

Tepat di sinilah pekerjaan rumah kita bersama ketika membincangkan energi dan lingkungan secara umum, dan Barang Panas juga terjebak pada fragmentasi-fragmentasi semacam itu. 

Lebih jauh Barang Panas bahkan lebih banyak membingkai penolakan eksplorasi panas bumi sebatas persoalan perampasan tanah dan ekonomi pertanian. Narasi film tidak mencoba menjangkau potensi korban dan kerugian yang lebih luas lagi. Misalnya, ketika menampilkan krisis air di Mataloko, sutradara tidak tertarik mengelaborasi lebih jauh ancaman krisis pasokan air yang lebih besar, yang mungkin dihadapi bahkan oleh orang-orang di kota yang diterangi listrik itu. 

Berbanding terbalik ketika di awal film sutradara menunjukkan energi batubara sebagai energi kotor. Kotornya energi listrik batubara ditarik dari penambangannya, pengangkutannya, sampai pembakarannya. Bahkan batubara ditegaskan sebagai salah satu kontributor terbesar polusi di kota-kota besar macam Jakarta. 

Barang Panas juga melupakan satu dampak eksplorasi yang potensi kerusakan dan korbannya paling mengerikan, yaitu gempa picuan. Sehingga, film ini seakan telah mereduksi kemungkinan gelombang perlawanan dan solidaritas yang lebih besar. Potensi korbannya bukan saja warga di tapak eksplorasi, melainkan orang yang bahkan tinggal jauh dari situ. Sudah ada kajian yang menjelaskan itu. Pengalaman kebencanaannya pun sudah banyak terjadi. Apakah dampak ini dilupakan karena sutradara memang percaya pada pernyataan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bahwa industri panas bumi tidak menyebabkan gempa? 

 

Penulis: Ahmad Syifa, penikmat film dokumenter dan anggota Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) Cirebon

Editor: Dachlan Bekti