Buah manggis, buah belimbing
Naik harganya ke langit tinggi
Udah malem orderan masih sepi
Kepaksa harus on-bid lagi
Begitulah ungkapan pengemudi ojol Rahman (bukan nama sebenarnya) di laman facebooknya. Hari itu order sepi, akunnya anyep. Padahal, ia sudah on-bid sejak pukul setengah delapan pagi demi mengejar insentif. Sekitar setengah jam sejak Rahman menghidupkan aplikasi, beberapa order menghampiri akunnya. Sayang, itu ordernya ngeblas. Pengemudi ojol sering memakai istilah ini untuk menyebut order yang jarak penjemputannya jauh, padahal jarak pengantarannya hanya dekat saja. Order ngeblas sering datang di pagi hari, ketika banyak ojol aktif nge-bid.
Meskipun ngeblas, dan perusahaan tidak memperhitungkan jarak penjemputan yang jauh dalam menentukan harga, Rahman tetap mengambil order tersebut. Mau bagaimana lagi. Ia beranggapan bahwa order pertama menentukan penilaian perusahaan terhadap performa pengemudi. Kalau order pertama diabaikan, pada jam-jam berikutnya ia akan sulit mendapat orderan. Order pertama tersebut berhasil ia tuntaskan dalam waktu satu jam. Jerih payahnya menembus kemacetan Jakarta tak sia-sia, penumpang mengganjarnya dengan penilaian lima bintang.
Kemacetan kota bukan satu-satunya keluhan pengemudi ojol. Mereka kerap juga harus melayani penumpang yang ulahnya menyebalkan. Ada saja penumpang nekat yang memaksakan diri membawa barang muatan yang besar dan beratnya minta ampun. Ada kalanya jarak tempuh ternyata jauh. Tidak sesuai pesan sebelumnya. Karena penumpang yang menempatkan titik tujuan seenaknya sendiri. Jika sudah begitu, Rahman tak akan berbuat banyak. Meskipun tingkahnya menjengkelkan, penumpang tetap dilayani dengan baik. Omelan penumpang, telan saja bulat-bulat. Sebab, penumpang punya kuasa untuk menentukan penilaian performanya.
Menurut Aulia D. Nastiti, dalam esai Cerita pengemudi menguak eksploitasi di Gojek, Grab, dan Uber, sebutan mitra bagi pengemudi ojol hanyalah retorika belaka. Sebutan itu mengaburkan fakta adanya suatu hirarki atau jenjang. Perusahaan, yang memiliki kontrol atas teknologi, modal dan akses, berada di puncak hirarki. Sementara, “penumpang bertindak sebagai manajer” karena penilaian (rating) yang mereka berikan menentukan bonus yang diterima pengemudi.
Pengemudi sebagai “mitra” seakan-akan memang memiliki kebebasan untuk mematikan aplikasi kapanpun mereka mau. Kenyataannya tidak sesederhana itu. Sejak aplikasi tertanam di handphone, dan begitu aplikasi difungsikan, perusahaan menentukan kemana pengemudi bergerak untuk menjalankan pesanan apa. Nastiti menambahkan, melalui kontrol atas teknologi digital dan algoritma, perusahaan menempatkan pengemudi ojol dalam suatu permainan. Bekerja disulap menjadi seolah-olah permainan belaka (gamification of work). Pengemudi hanyalah pemain dan aturan permainan sepenuhnya ditentukan oleh perusahaan. “Permainan” memaksa pengemudi bekerja lebih keras dan lebih lama, sembari otaknya tiada henti menghitung poin, bonus, persentase performa dan rating; untuk mendapatkan penghasilan yang cukup dan untuk memastikan mereka tak terlempar dari permainan atau kemitraannya diputus.
Kembali lagi ke cerita Rahman. Sesudah menyambar order pagi tadi, hingga pukul 10.00 pagi tak ada order yang mampir ke handphonenya. Tidak mengherankan, pengantaran tadi pagi melemparkannya ke wilayah yang sepi order. Kondisi seperti ini memang sering terjadi. Tanpa order tanpa penumpang terpaksalah Rahman menggelindingkan motornya. Mengaspal menghampiri wilayah yang diperkirakan ramai order. Pengeluaran bertambah untuk bensin yang terbakar sia-sia. Sementara waktu berlalu, target insentif atau bonus masih jauh dari jangkauan.
Hari itu Rahman berencana menyelesaikan 13 trip/perjalanan agar mendapat pemasukan sekitar Rp. 150 Ribu, dan segera pulang sebelum pukul 20.00 agar sempat bercengkrama dengan istri dan buah hatinya. Sejak skema insentif berubah (bonus bertambah tapi nominalnya berkurang), Rahman semakin sering pulang larut malam demi mengejar pendapatan. Berulang kali ia menyesal pulang ke rumah larut malam dalam keadaan lelah, dan mendapati istri dan anaknya sudah tertidur pulas.
Valuasi Perusahaan Melejit Tapi Pendapatan Ojol Makin Sedikit
Berdasarkan data yang dihimpun oleh Keban dkk dalam buku Menyoal Kerja Layak dan Adil dalam Ekonomi Gig di Indonesia (2020), menunjukkan bagaimana valuasi Gojek naik drastis dalam kurun waktu 2016-2020. ‘
Namun demikian, sumber yang sama mengatakan bahwa dalam kurun waktu yang sama terjadi tren penurunan pendapatan pengemudi ojol dari tahun ke tahun. Penyebabnya bukan hanya order yang rontok dihajar pandemi COVID-19. Saat itu pula, periode “bakar uang” berakhir sehingga insentif dipangkas. Berbagai kebijakan diambil secara sepihak oleh perusahaan platform untuk memangkas insentif, dan merekrut pengemudi baru, menyebabkan penurunan pendapatan bagi pengemudi. Semuanya menjauhkan kondisi kerja layak dan adil bagi pengemudi ojek online.
Sementara itu, Rahman baru saja menempuh perjalanan yang cukup panjang untuk menyelesaikan order kedua. Notifikasi pesan di handphone membuatnya mengurungkan niat untuk beristirahat sejenak. Benaknya berkata, ambil saja order mudah ini.
Ia kembali ngaspal untuk mengumpulkan insentif. Banyak pengemudi lebih menyukai order mengantarkan makanan daripada mengantarkan penumpang. Muatannya ringan tapi bonusnya lebih besar.
Saat mengambil order mengantarkan makanan ke sebuah apartemen, Rahman tak menduga kerepotan yang akan dia hadapi. Ternyata ia harus berjalan kaki cukup jauh dari tempat parkir ke gedung apartemen. Kesialan belum berakhir, karena pemesan tak menyebutkan nomer kamarnya. Dari lobby apartemen Rahman menghubungi pemesan, yang tak kunjung mengangkat panggilan telepon. Sesudah satu jam, barulah si pemesan menampakkan batang hidungnya.
Order ketiga memang terselesaikan. Tapi, karena menunggu yang terlalu lama, Rahman kehilangan banyak waktu dan kesempatan untuk mendapatkan order baru. Menurut aturan, satu akun hanya dapat menyelesaikan satu orderan dalam satu waktu. Itu sebabnya, banyak pengemudi ojol yang memiliki lebih dari satu akun, untuk memperbesar peluang untuk mendapatkan order. Sementara Rahman menunggu order baru, hari sudah semakin sore.
Rahman masih ingat, dahulu ia dapat mengantongi Rp. 300 Ribu dalam sehari tanpa terlalu susah payah. Sekarang, hanya untuk mendapatkan penghasilan yang kira-kira masuk akal, ia harus mulai bekerja sejak pukul delapan pagi. Syarat tambahannya, ia harus rajin menangkap order supaya mendapatkan insentif, yang besaran rupiahnya ditentukan oleh perusahaan.
Katakanlah, untuk bonus atau insentif sebesar Rp. 150 Ribu Rahman harus mengganyang 13 trip (dengan jarak minimal setiap trip empat kilometer), yang akan menghabiskan waktu sejak pukul 05.00 pagi hingga pukul 20.00 malam. Kenyataanya, sering terjadi hingga pukul 20.00 malam Rahman baru berhasil menyelesaikan 10 trip, dengan pendapatan bersih Rp. 100 Ribu. Terpaksalah dia kembali nge-bid , untuk mencari tambahan Rp. 50 Ribu, agar targetnya tercapai. Terpaksalah ia kembali pulang larut malam, lalu tidur hanya beberapa jam untuk kembali bangun keesokan harinya untuk memburu lebih banyak order lagi.
Algoritma diam-diam menuntut pengemudi untuk menunjukkan waktu on-bid yang konsisten. Dengan kata lain, sebetulnya perusahaan mengontrol waktu pengemudi ojol. Kondisi tersebut tergambar dalam studi yang berjudul Menyoal Kerja Layak dan Adil dalam Ekonomi Gig di Indonesia yang ditulis Novianto. Menurut studi ini, para pengemudi kurir GoKilat (layanan antar-barang-sehari-sampai dari Gojek) mengalami kondisi kerja yang tidak layak dan tidak adil. Mereka tidak terlindungi jaminan sosial, bekerja dari 11 jam per hari, dengan pendapatan bersih hanya Rp. 1,6 Juta per bulan (setelah dikonversi ke dalam waktu kerja layak). Bandingkan dengan upah minimum Jakarta yang mencapai adalah Rp. 4,4 Juta per bulan (2021).
Lalu, bagaimanakah kondisi fisik dan mental pengemudi, yang menempuh perjalanan lebih dari 52 km selama lebih dari 12 jam sehari, dengan waktu istirahat satu-dua jam lalu harus bekerja kembali? Bagaimana dengan mereka yang terpaksa memiliki mata pencaharian lain? Atau mereka yang karena tingkat pendapatannya yang rendah lalu terjerat hutang?
Tidak mengherankan jika buku Menyoal Kerja Layak dan Adil dalam Ekonomi Gig di Indonesia, mengungkap pula tentang tingkat risiko kecelakaan yang begitu tinggi. Sebanyak 68,62% responden dalam penelitian tersebut pernah mengalami sakit akibat pekerjaan yang dijalaninya (termasuk karena kecelakaan di jalan saat bekerja), dan 45,52% responden tidak memiliki jaminan kesehatan. Studi lain yang dilakukan oleh Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS) yang berjudul Ojol Adalah Buruh, Bukan Mitra! juga mengungkap bahwa sejak 2015 hingga 2022, ditemukan 15 kasus percobaan bunuh diri yang dilakukan pengemudi transportasi berbasis aplikasi di berbagai kota. Dari jumlah tersebut, 14 korban adalah laki-laki dan 1 korban pengemudi perempuan. Rata-rata korban percobaan bunuh diri berusia 33 tahun. Dari 15 kasus tersebut, 13 kasus diantaranya terjadi dalam tiga tahun terakhir.
Di Komunitas Ojol Berlindung Dari Segala Resiko Kerja di Jalan
“Jalanan adalah tempat berbahaya bagi driver, hanya komunitas dan sesama ojol yang memberikan rasa aman. Bukan negara atau bahkan perusahaan.”
Rahman (bukan nama asli), Desember 2022.
Pada awal kemunculannya, pengemudi ojol rentan sekali berkonflik dengan pengemudi layanan transportasi yang sudah ada sebelumnya yaitu ojek pangkalan (opang) dan angkutan kota (angkot). Aulia D. Nastiti menyebutkan bahwa konflik ini terjadi antara Maret-November 2015 seiring promosi besar-besaran dari Gojek dan Grab.
Pada masa itu Rahman, sudah menjadi pengemudi ojol dan bergabung dengan salah satu komunitas ojol di Jakarta, berusaha terus menghindari ketegangan dengan ojek pangkalan. “Wah kalo dulu gak banyak ngobrol sama ojek yang lain, saya gak bakal banyak tau soal zona merah tuh,” jelasnya. Zona merah adalah sebutan untuk wilayah yang terlarang untuk dimasuki karena dikuasai oleh ojek pangkalan.
Sementara itu, Andre dari komunitas ojol Tangerang, sempat juga bersitegang dengan opang karena yang mendapatinya memasuki wilayah zona merah. “Saya sempat diberhentiin abis nganter penumpang, saat itu hape saya hampir aja diambil. Beruntung temen-temen komunitas dateng,” terangnya. Di luar kesusahan mencari uang dan mencapai target dan bonus, di jalanan pengemudi ojol sewaktu-waktu dapat ditimpa berbagai masalah.
Pengalaman Rahman dan Andre di atas hanya sekelumit dari cerita yang berhamburan pada pertemuan komunitas ojol yang berlangsung di Bogor pada pertengahan Desember 2022. Pada banyak cerita yang terungkap pada obrolan di atas, komunitas rupanya menjadi wadah yang dapat diandalkan untuk mengatasi segala macam kesulitan yang dihadapi di jalanan. Dari mulai ban bocor, bersitegang dengan opang atau angkot, hingga kecelakaan. Terungkap pula cerita bagaimana komunitas bahu membahu menolong pengemudi yang mengalami kecelakaan, mengumpulkan sumbangan dan mengantar jenasah untuk dimakamkan di kampung halaman.
Sejatinya, melihat kenyataan relasi kerja yang terbentuk, berbagai risiko di atas sepatutnya ditanggung oleh perusahaan. Pengemudi bagaimanapun adalah ujung tombak dari berbagai jenis layanan yang dijajakan oleh perusahaan. Pengemudilah yang memungkinkan perusahaan tetap dapat memperdagangkan sahamnya dan mengeruk keuntungan.
Hingga saat ini pekerjaan rumah yang perlu dituntaskan oleh komunitas ojol adalah menuntut perbaikan kondisi kerja yang layak. Menurut mereka yang hadir dalam pertemuan di atas, banyak pengemudi tidak menyadari bahwa relasi antara mereka dan perusahaan adalah relasi buruh dan majikan. Banyak pula pengemudi masih bermimpi bahwa kesejahteraan mereka akan kembali ke kondisi dahulu, tatkala perusahaan berada dalam periode bakar uang. Itu sebabnya pula tuntutan mereka pun masih terbatas pada perbaikan tarif.
Sekilas, tuntutan perbaikan tarif mirip dengan tuntutan upah dari serikat-serikat buruh manufaktur dan sektor jasa lainnya. Dari tahun ke tahun, tuntutan upah selalu dikumandangkan, sementara kondisi kerja buruk jarang dipermasalahkan. Sebenarnya, baik buruh manufaktur maupun pengemudi ojol menghadapi masalah yang mirip. Mereka sama-sama dibelenggu oleh target. Buruh dikenai target produksi, sementara pengemudi dibebani target menjalankan sejumlah trip. Baik pengemudi ojol dan buruh pabrik, segenap waktu luangnya dicuri hanya untuk mencapai target.
Pengemudi juga senantiasa dihantui ketakutan akan dihukum jika terendus mulai mempersoalkan kebijakan perusahaan. Jika buruh pabrik terancam dipecat kalau yang kedapatan menggelar demonstrasi. Pengemudi ojol sama saja. “Kemitraannya” terancam diputus jika mereka ikut demonstrasi atau mengajak pengemudi lain menonaktifkan aplikasi. Dalam TertibJek, aturan yang dikeluarkan oleh Gojek, pengemudi yang berserikat dan menyampaikan pendapat di muka umum dianggap melakukan Pelanggaran Tingkat V dengan sanksi putus mitra (Gojek, 2021).
Memang, beberapa pengemudi ojol yang hadir dalam pertemuan menyadari pula bahwa komunitas tidak selalu dapat dipercaya untuk menyuarakan tuntutan. Contohnya, pada pemogokan pengemudi ojek online pada pertengahan 2021, tuntutan melempem sesudah manajemen perusahaan merangkul 23 komunitas yang terlibat dalam pemogokan, dan memberi mereka berbagai perlakuan khusus, menggelar program amal, dan janji komunikasi dua arah agar tidak terjadi konflik hubungan kemitraan. Komunitas ojek on-line juga punya pengalaman getir pada 2018. Ketika itu, salah satu organisasi pengemudi ojek online mengalami konflik internal dan perpecahan. Beberapa pimpinan organisasi diragukan keberpihakannya, dan dinilai menjadi “cepu” atau kaki tangan perusahaan platform.
Pada akhirnya, baik anggota serikat buruh maupun komunitas ojol sama-sama menghadapi tantangan untuk memperbaiki nasib mereka, di tengah tekanan target dan ancaman perusahaan. Mempersatukan pengemudi khususnya merupakan tantangan berat, mengingat mereka selalu ada di perjalanan, pangkalan berkumpul seringkali berpindah, dan mereka tak memiliki jam kerja yang pasti. Namun, sulit bukan berarti mustahil. Di negara seperti Amerika para pengemudi taksi online Uber berhasil memaksa perusahaan untuk mengakui mereka sebagai buruh. Status demikian memungkinkan para pengemudi taksi online Uber untuk menuntut hak-hak mereka. Termasuk menuntut perusahaan untuk memperbaiki kondisi kerja. Bukan mustahil, sepanjang komunitas bisa berkembang secara sistematis sebagai wadah para pengemudi ojol, kemajuan yang sama akan terwujud di Indonesia.
Penulis: Ilyas Gautama
Editor: Sentot