Categories
Orasi

Melihat Bandung dari Ketinggian

Februari 1815, Letnan Gubernur Jenderal Inggris Raffles berpetualang mendaki Gunung Gede. Menginjakkan kaki di puncaknya, di hadapan matanya terbentang pemandangan yang amat luas,  “…a most extensive prospect from the summit,” katanya. Dari puncak gunung itu, ia mengenali ruas jalan di Batavia dan kapal-kapal barang yang mondar-mandir di perairannya. 

Menengok ke selatan, dilihatnya Wine Coops Bay (Pelabuhan Ratu). Sementara di kejauhan sana, tampak ujung selatan Sumatera, Indramayu, dan perbukitan Cirebon. Seperti dimabuk ganja, hati Raffles luar biasa girang menyaksikan bentang alam seluas itu. Bentang alam dari Jawa, tanah taklukan Inggris.

Lebih dua ratus tahun kemudian, Juni 2016, sebuah perhelatan berlangsung di perbukitan Dago, di Bandung utara. Undangan berdatangan, disuguhi nasi tumpeng, dihibur musik dan tarian Sunda. Dilanjutkan dengan beberapa sambutan saling puji saling terima kasih. Lalu tibalah puncak acara: pijit tombol, sirene meraung, disambut tepuk tangan, selesai. 

Itu adalah semacam syukuran menjelang tuntasnya sebuah proyek pembangunan gedung pencakar langit. Seusai pengerjaan lantai teratas dan atap gedung, proyek dianggap tunai, dan pantas untuk dirayakan. 

Hadirin yang berbahagia antara lain: mereka yang mengongkosi proyek; perusahaan konstruksi milik negara (kurang lebih berperan mengerahkan buruh bangunan dan mengatur belanja bahan bangunan); korporasi yang ditunjuk mengelola gedung, dan tokoh-tokoh masyarakat (yang menyambut baik proyek ini). Di kalangan usahawan properti, acara kumpul-kumpul ini diberi nama topping off ceremony–dan diselenggarakan di ketinggian atap gedung.

Biarpun tersusun dari benda mati (batu, logam, kaca, dsb), layaknya kucing rumahan, bangunan setinggi  85 meter itu kemudian diberi nama panggilan. Jadilah The MAJ Collection Hotel & Residences. Ada alasan mengapa nama diperlukan. Barang jualan harus dinamai, agar ada mereknya, punya brand, agar dapat dipasarkan. Sebagaimana upaya menamai ulang kotanya sebagai “juara” sekaligus smart city, merangkap kota industri kreatif.

Selepas berakhirnya kerja konstruksi, maka tibalah waktu berniaga. Dengan segala hormat regu buruh bangunan dibubarkan dan digantikan oleh juru pemasaran. Selanjutnya, papan iklan hotel The MAJ terpancang di pinggir ruas Tol Pasteur menuju Bandung. Ada kabar, berkat kerja keras para pemasar, seluruh apartemen The MAJ sudah habis terjual. 

Bisa jadi benar begitu. Sejak jauh hari sebelumnya, tanpa menunggu kerja konstruksi selesai, banyak tangan lincah mengiklankan apartemen ini di berbagai situs internet jual-beli properti. 

Tampaknya, pemasang iklan adalah pengikut sekte kewirausahaan yang militan. Mungkin juga mereka demikian terinspirasi oleh video motivasi (yang bertebaran di YouTube), sehingga sanggup untuk duduk seharian, menantikan lembaran uang berterbangan memenuhi layar smartphone.

Bagaimana mungkin semua apartemen habis terjual begitu cepat? Agaknya berkat ramuan beberapa kata kunci berikut: desain (artistik), hunian (eksklusif, elegan, eksotis, romantis, prestisius), akses mudah dan lokasi strategis, bertaraf internasional, gaya hidup sehat (untuk kolam renang, lintasan lari); kuliner dan chef, “menghargai bernilainya waktu Anda” (untuk landasan helikopter), dan “pengalaman liburan akhir pekan.” 

Kalau sempat membuat video pemasarannya, sisipkanlah musik mendayu dan adegan slow motion. Guna memudahkan calon pembeli membayangkan (dan mengkhayalkan) keluarga-kecil-dua-anaknya, dalam keadaan cukup gizi dan berpakaian kasual pantas; menari dan berlarian di taman rumput yang dikelilingi pepohonan sambil tersenyum bahagia. Satu hal lagi, tidak semua calon pembeli sungguh-sungguh  berminat untuk tinggal di gedung tinggi. Maka jangan lupa, pasarkanlah properti sebagai pilihan investasi terbaik.

Dibangun di perbukitan Bandung utara, The MAJ menjanjikan panorama pegunungan sekitar Tangkuban Perahu di sebelah utara, dan gemerlap cahaya Kota Bandung di arah selatan. Jualan terpenting dari hotel-apartemen bangunan tinggi di Bandung adalah kemewahan untuk “menghampiri langit, menyapa awan,” menyapu pandangan ke segala penjuru dari suatu ketinggian. Untuk menikmati pemandangan (yang sebaiknya indah).

Tapi begitulah. Jarang ada “surga” sempurna. Bagaimana mungkin menjual pemandangan indah dari ketinggian, jika di bawah jendela apartemen teronggok sebuah bak sampah besar berbau busuk yang dikelola pemda? Juga sebuah stasiun angkutan kota yang bising dan penuh asap knalpot itu? 

Darinya diperlukan suatu “penyesuaian spasial” untuk memindahkan tempat pembuangan sampah (TPA) dan Terminal Dago entah ke mana. Selain itu, benda lain yang perlu digeser jauh-jauh adalah sebuah kantor pos. Memindahkan kantor pos barangkali urusan yang jauh lebih mudah. Tak seorang pun sedemikian berhasrat mengirimkan kartu pos untuk nenek di kampung.

Satu hal lagi, yang tidak sedap dipandang mata dan sama sekali tak mewakili kehidupan majestic penuh keagungan, adalah kampung Dago Elos. Kampung yang turun temurun dihuni pemukimnya. Selanjutnya, terdengarlah berita tentang sebuah korporasi, yang berbeda dari korporasi pemilik dan pengembang The MAJ, yang mendaku kepemilikan lahan Dago Elos.

Korporasi bernama PT Dago Inti Graha itu mengaku membelinya dari seseorang, yang mengaku sebagai keturunan dari seseorang, dari abad lalu, yang mengklaim kepemilikan lahan berdasarkan dokumen eigendom verponding dari masa Hindia Belanda. Sulit dipahami, bukan? Begitulah, cerita dan dalih untuk penggusuran selalu terdengar rumit. 

Orang Dago Elos menolak digusur, tak mau terusir dari kampung mereka. Mereka membentangkan spanduk penolakan. Sungguh bukan pemandangan yang cocok untuk bisnis wisata dan properti.

**

Perlombaan mendirikan bangunan tinggi, kemewahan memandang dari suatu ketinggian, bukanlah cerita baru. Juru bicara bisnis properti di sini selalu ingin menyandingkan barang jualannya dengan Menara Kembar Petronas di Kuala Lumpur, bahkan Burj Khalifa di Dubai. Tak usah dibahas lagi, kedua menara dibangun oleh kuasa dan uang, dan kerakusan itu berbuah banyak masalah sosial-ekologis. 

Tak ada yang tahu pasti, berapa banyak kuli bangunan asal Flores yang mati karena terjatuh dari ketinggian untuk membangun menara Petronas. Burj Khalifa sama saja, rakus listrik dan rakus air. Sebagaimana Dadan Ramdan dari WALHI Jawa Barat berulang-ulang mengaitkan pembangunan gedung tinggi dengan pemusatan penyedotan air tanah skala gila-gilaan, yang akan membawa masalah di kemudian hari.

Memandang dari ketinggian adalah mainan yang mahal sekaligus berbahaya. Orang tetap saja melakukannya, mungkin karena membahagiakan dan meneguhkan hasrat berkuasa. Di puncak Gede sana, Raffles kegirangan sendiri mengangkangi koloninya. Imperialisme Inggris dengan senang hati memproduksi poster Cecil Rhodes berdiri mengangkangi Afrika; tuan Cecil Rhodes penambang berlian De Beers, yang bahkan mampu mensponsori pendirian negara Rhodesia. 

Versi lokal dari hasrat berkuasa ini adalah Taman Mini Indonesia Indah, dengan kolam besar yang dihiasi pulau-pulau Nusantara. Dari atas kereta kabel, pembangun taman (dan yang mewarisi pikirannya) ingin merasakan pengalaman melayang dan menjangkau seluruh kepulauan Indonesia yang utuh damai-indah-permai. Untuk diketahui, dari atas sana tak tercium bau asap kebakaran hutan.

**

Desember 2017, seorang anak muda menaiki tangga panggung, menghampiri tiang mikrofon dan menyalami penonton seperlunya. Dari atas panggung dia berteriak mengutuk ketidakadilan, lalu membawakan beberapa lagu yang akrab di telinga semua penonton (kecuali saya). 

Sore itu Ginan dan Jeruji tampil bergantian bersama lebih dari dua lusin grup musik di Festival Kampung Kota (Dago Elos, Bandung, 26 November-24 Desember 2017). Sepanjang festival, orang berkumpul dan mendiskusikan ancaman penggusuran, hak atas ruang-hidup, dan soal-soal penting lainnya. 

Sebagian mereka datang dari berbagai lokasi penggusuran, antara lain Tamansari dan Stasiun Barat. Ginan sudah pergi sejak Juni 2018. Tapi, solidaritasnya untuk mereka yang tergusur, tetap tinggal dalam ingatan.

Juli 2018, dari lantai atas Balubur Town Square (dulu: Pasar Balubur) keramaian terlihat di bawah sana.

Sedang berlangsung peringatan Satu Tahun Tamansari Melawan. Sudah satu tahun lebih warga RW 11  Tamansari, Bandung, melawan penggusuran. Mula-mula mereka dituduh sebagai penghuni liar yang tanpa hak menghuni lahan milik pemerintah daerah.  

Pihak pemerintah menginginkan lahan itu untuk dijadikan rumah deret, dengan dalih membasmi pemukiman kumuh. Alat berat sudah dikerahkan untuk merobohkan sebagian bangunan. Tak mengherankan bila tempat peringatan itu terlihat lebih mirip puing-puing perang. 

Mereka yang berkumpul adalah orang-orang biasa saja yang menentang perampasan ruang hidup, yang tergerak untuk menunjukkan solidaritas, berbarengan dengan warga yang masih bertahan. Namun, selama tiga hari peringatan tersebut, sekurang-kurangnya semua makan cukup enak, minum kopi yang lumayan enak. Ada diskusi, pemutaran film, dan banyak musik (memang tidak semuanya enak didengar).

Meskipun berlangsung di tengah reruntuhan, suasananya tidaklah memilukan. Banyak relawan dengan senang hati menaruh grafiti dan melukis di dinding-dinding yang masih berdiri tegak. Sebagian warga punya cita rasa seni visual yang agak ganjil; menghias dinding-dinding menggunakan fotokopi salinan surat-menyurat dengan berbagai dinas dan lembaga pemerintah, termasuk Komnas HAM. 

Sebagian menganggap alat berat (excavator) yang teronggok di sana sebagai benda seni instalasi (ada juga yang menggolongkannya sebagai senjata tajam). Malam harinya, di bawah cahaya neon billboard iklan perkakas rumah (hardware) dan properti, lukisan dan kata-kata protes di dinding terlihat lebih bertenaga; sureal. Apapun itu, Tamansari masih melawan penggusuran.

**

Melihat Bandung dari ketinggian, tidak sulit untuk memahami apa yang keluar dan apa yang masuk. Yang ditelan masuk adalah investasi untuk spekulasi lahan dan belanja aneka rupa properti. Yang dimuntahkan keluar adalah orang-orang miskin. 

Orang-orang yang terancam digusur sejatinya adalah para pekerja kota. Merekalah pengantar tabung gas dan air minum isi ulang ke rumah-rumah, ke kantor-kantor. Adalah pedagang kecil, pelayan toko, tukang cukur, tukang masak, dan seterusnya. Merekalah yang menggerakkan kota agar tetap berfungsi. 

Untuk bisa kembali diterima masuk kota, mungkin diperlukan macam-macam surat sertifikat keterampilan (yang tidak murah), agar bisa bekerja sebagai supir, tenaga keamanan atau pengasuh bayi. Untuk para majikannya di kota.

Pengusiran terhadap orang miskin sedang terjadi di berbagai kota besar dunia. Bandung, Kairo, London, Manila, Moskow, semua sama saja. Pembangunan gila-gilaan di San Fransisco mengusir banyak orang miskin, membuat orang kehilangan rumah tinggal. 

Orang miskin diusir dari taman kota, pusat perbelanjaan, dan jalanan. Tak ada rumah, tak ada akses terhadap fasilitas sanitasi. Itulah yang menjelaskan mengapa banyak homeless yang melakukan hal ini di jalanan: berak. Baik Raffles maupun penghuni ketinggian The MAJ tak sanggup mencium aroma yang satu itu.

 

 

*) untuk mengenang Deradjat Ginanjar Koesmayadi (1980-2018).

Penulis: Edwin Dawud Maulana

Editor: Dachlan Bekti

 

Dipublikasikan ulang dari (RIP) metaruang.com