Categories
Jam Istirahat

Cerita Penaklukan dan Perlawanan dari Grobogan

 

Judu buku:  Penaklukan dan Perlawanan (Laporan Investigatif ‘Penaklukan dan Perlawanan; Laporan Investigatif tentang Kontrak Kerja, Kekerasan Berbasis Gender, Pencurian Upah dan Kebebasan Berserikat di PT Sai Apparel Industries Grobogan’)

Penulis: Fadhia Isniana, Lukman Ainul Hakim, Riefqi Zulfikar, Rizky Putra Edry, Syaukani Ichsan, dan Syarif Arifin

Penerbit: Penerbit Tanah Air Beta

Tahun: 2023

Trimurti.id, Bandung – Sejak maraknya pabrik kabur dari wilayah Jawa Barat ke Jawa Tengah, laporan tentang kondisi kerja buruh-buruhnya mulai digagas. Laporan itu dikumpulkan dalam sebuah buku yang berjudul “Penaklukan dan Perlawanan”, yang menuturkan satu dari sekian cerita yang dicatat dari sebuah pojok di Jawa Tengah bernama Kabupaten Grobogan.

PT Sai Apparel Industries bukan pemain baru di bisnis ini. Sebelumnya PT Sai Apparel Industries telah membuka wilayah produksinya di Kawasan Berikat Nasional (KBN) Tanjung Priok, Jakarta lantas melakukan perluasan ke Semarang dan Grobogan, Jawa tengah. Di Kabupaten Grobogan, pabrik garment itu mempekerjakan buruh-buruhnya untuk memproduksi pakaian dari jenama H&M dan AEO sejak tahun 2022. 

Para ekonom atau pengurus publik sesumbar jika suatu pabrik bercokol di sebuah wilayah. Niscaya kemajuan ekonomi akan menghampiri. Namun, anggapan itu tak sepenuhnya benar. Buku ini menuturkan dengan seksama bagaimana sesungguhnya rezim pabrik bekerja dan berkuasa di atas kepala buruhnya.  

Pada bagian pertama, buku ini melaporkan tentang permulaan kasus yang viral di media sosial tentang upah lembur yang tak dibayar. Kasus itu dianggap selesai setelah permintaan maaf dan kesediaan membayar lembur dari pihak perusahaan. Padahal penulis menemukan tindak pidana yang dilakukan PT Sai Apparel Industries Grobogan yang justru tak digubris pejabat berwenang. 

Temuan lain penulis yang cukup mengejutkan adalah tentang afiliasi PT Sai Apparel dengan beberapa pabrik/PT berawalan ‘SAI’ lainnya, seperti PT Sai Bhakti Busana Bekasi, PT Sai Rama Industrial, PT Sainath Industries, PT Sainath Realindo, dan PT Sainath Overseas.

Profil PT Sai Apparel dikuliti, dari penetapan target produksi hingga luas area penempatan lahan produksi. Dari cerita pendirian pabrik di Semarang hingga ketidaksanggupan Disnaker setempat untuk “menegur” pabrik yang enggan mengangkat buruh harian lepas menjadi buruh tetap. 

“Cerita sukses” pabrik di Semarang itulah yang mendorong berdirinya pabrik baru di Grobogan pada Desember 2021. Sementara cerita Human Resource and Development yang intimidatif juga turut mengotori pabrik yang mempekerjakan buruhnya dari jam 8 pagi hingga jam 12 siang dengan upah Rp 30 ribu/hari.

Agaknya, bagian pertama itu tak lengkap tanpa laporan dua penulis lain di bagian kedua. Bagian ini berfokus pada pembongkaran perjanjian kerja (klausula baku) antara PT Sai Apparel Industries dengan buruhnya. 

Penulis menemukan banyak pasal yang menguntungkan perusahaan, seperti mekanisme keberatan ketika buruh dipecat. Sementara ketentuan tentang larangan pemecatan terhadap buruh yang sedang hamil, sedang menikah, atau sakit, tidak dijelaskan dalam dokumen perjanjian itu. 

Entah berapa Konvensi ILO yang dilanggar dalam dokumen perjanjian itu. Tak ada jaminan hak normatif yang melindungi buruh di tempat kerja. Lebih parah lagi, para buruh tidak mendapat salinan dokumen perjanjian kerja tanpa alasan yang jelas. 

Buntut dari salinan dokumen perjanjian kerja yang tidak diberikan, perusahaan malah justru mengeluarkan memo-memo yang dilakukan secara sepihak, serta mendadak. Dampaknya, buruh yang lupa hak-haknya pada perjanjian kerja, malah dibebani memo instruksional perusahaan. 

Memo yang muncul salah satunya tentang pembayaran premi kehadiran senilai Rp50 ribu bagi buruh yang bersedia kerja 7 jam + 1 jam, selama 30 hari tanpa libur. Memo yang seolah ‘baik’ ini justru merupakan penyelundupan tingginya target produksi dan perampasan hak-hak buruh. 

Di bagian kedua ini juga, ada temuan tentang memo yang melarang telepon genggam masuk di area produksi. Larangan yang tidak jelas landasan hukumnya ini cukup menakutkan buruh karena perusahaan akan memberi sanksi yang berat.

Tidak cukup sampai di situ, kasus kekerasan dan pelecehan berbasis gender juga terjadi di PT Sai Apparel Industries. Kali ini, penulis melakukan wawancara dan menebar survei pada 16 buruh perempuan. Dia menemukan terdapat 14 responden kekerasan verbal yang dialami buruh perempuan, 10 responden kekerasan psikologis, 7 responden pelecehan fisik, serta 4 responden yang mengalami kekerasan fisik dan pelecehan verbal. Semuanya terjadi di dalam pabrik pada jam kerja. 

Kasus-kasus tersebut terjadi karena tidak adanya peraturan yang mencegah kekerasan dan pelecehan di dalam pabrik. Hal itu menjadi lebih buruh karena tidak ada satu kasus pun yang mendapat sanksi/hukuman dari PT Sai Apparel Industries. 

Bagian ketiga dari buku ini juga melaporkan ada dua buruh yang diancam dengan kalimat, “Aku pendel (gorok) kepalamu!”, “Aku gantung lehermu!”, hingga “Aku bunuh kamu!”. Kalimat-kalimat ancaman itu keluar dari seorang kepala line (feeder). 

Praktik-praktik kekerasan berupa ancaman itu dilakukan sebagai kontrol terhadap buruh. Dampak dari ancaman itu, dua orang buruh (ZY dan LY) yang mengalami ancaman tersebut dijauhi kawan buruh lainnya karena rasa takut. 

Ancaman-kekerasan itu juga mendapat respons yang berbeda dari setiap buruh. Ada yang membela diri/menolak, ada juga yang diam dan patuh. Di bagian ketiga ini juga dilaporkan penyakit-penyakit yang muncul akibat kekerasan-ancaman yang dialami buruh. Mulai dari pingsan, asam lambung yang naik, stres, dan shock.

Ancaman dipecat/putus kontrak juga dilaporkan di bagian ini. Seorang pengurus Serikat Buruh SPRING, diancam putus kontrak karena dinilai tidak berperilaku baik. Beberapa kawan di serikat menganggap itu tak lain alasan yang dibuat-buat oleh pabrik. 

Seorang buruh perempuan melaporkan bahwa ia pernah mengalami pelecehan seksual ketika bekerja. Seorang manajer produksi menyentuh bagian pundak dengan posisi hampir memeluk dengan membisikkan kalimat, “Good morning”. Seketika respons tubuh buruh perempuan itu diam membeku. Pelaku juga sering menatap korban dengan tatapan genit ketika bekerja. 

Begitu mengalami pelecehan yang dilakukan oleh seorang manajer produksi dengan menyentuh tangan dengan dalih hendak mengajarkan. Pada kasus-kasus pelecehan ini, buruh-buruh korban memilih diam. Tak jarang, sang manajer pun sering mengajak kencan kepada buruh-buruh perempuan lainnya. 

Selain kekerasan dan pelecehan, di bagian ini juga penulis melaporkan adanya perampasan hak maternitas dan kesehatan reproduksi. Misal, kasus yang terjadi saat seorang buruh perempuan mengalami nyeri haid saat bekerja, sementara supervisor hanya memperbolehkan minum obat dan kembali melanjutkan kerja. 

Lain cerita juga dilaporkan tentang seorang buruh hamil yang dipaksa terus bekerja dengan jam molor tanpa upah. Malahan, seorang helper mengalami keguguran saat bekerja shift malam. Beberapa buruh yang hamil juga dipaksa untuk resign atau pemotongan masa kerja. 

Mari bergeser lagi pada bagian keempat buku ini. Penulis melaporkan terdapat empat model pencurian upah yang dilakukan oleh PT Sai Apparel Industries. Teknik verifikasi dilakukan dengan mengumpulkan slip gaji dan wawancara langsung, dengan temuan sebagai berikut:

Model pertama, pemotongan upah buruh saat hari libur nasional dengan mengalfakan para buruh di line sewing; Model kedua, jam molor dengan upah yang tidak dibayar; Model ketiga, penghitungan upah lembur yang tidak sesuai dengan Undang-Undangan Ketenagakerjaan Indonesia; Model keempat, paksaan check roll (presensi pulang) namun dipaksa kerja kembali.

Pencurian upah PT Sai Apparel Industries ini juga sampai pada Pengawas Ketenagakerjaan (Satwasker) Provinsi Jawa Tengah setelah ramai di TikTok. Buntutnya, 3 Februari 2023, Satwasker Jateng menyelidiki ke PT Sai Apparel Industries. 

Setelah mediasi dilakukan, ditemukan sejumlah bukti yang menunjukan jam molor yang tidak dibayarkan berlangsung sejak September 2022 hingga Januari 2023. Hasil mediasi itu mendapat sorotan dari media lokal yang memuat beritanya pada 15 Februari 2023 (Radar Kudus). Temuan ini berujung pada tuntutan buruh terhadap perusahaan untuk membayarkan upah lembur mereka. 

Di bagian kelima, penulis juga membongkar model pemberangusan serikat buruh oleh PT Sai Apparel Industries. Penulis juga menjelaskan bahwa rangkaian pemberangusan serikat buruh sangat erat dengan kekerasan berbasis gender yang terstruktur. 

Dilaporkan bahwa seorang pengurus SP SPRING dipalsukan tanda tangannya dalam sebuah perjanjian hasil perundingan bipartit. Setelah gagal dalam perundingan, pihak perusahaan pun tetap memaksa pengurus tersebut SP SPRING untuk menandatangani perjanjian. Kali ini, pemaksaan disertai dengan ancaman. 

Tak berhenti di situ, pihak PT Sai Apparel Industries juga melarang SP SPRING untuk melakukan aksi di dalam pabrik dan tidak mengizinkan pengurus serikat untuk mengikuti seminar organisasi sipil. 

Sementara perusahaan terus merangsek dengan mengeluarkan pernyataan, “SP SPRING adalah serikat palsu, SP SPRING merupakan organisasi ilegal, dan serikat buruh yang diizinkan perusahaan adalah KSPS”.

Tidak hanya pabrik yang mengintimidasi SP SPRING, pihak Disnaker Grobogan juga ikut dalam pemberangusan serikat. Caranya, Disnaker Grobogan mempersulit proses administrasi yang dilakukan selama 6 bulan lamanya. Padahal menurut Keputusan Menteri Nomor 16 tahun 2001, proses pencatatan dilakukan paling lama 21 hari. 

Demikian, Buku ini sangat penting untuk dibaca agar kita memahami apa yang dialami buruh-buruh di PT Sai Apparel, dan menjadi penghubung solidaritas antar kelas buruh. 

Lima bagian dalam buku “Penaklukan dan Perlawanan” ini bisa menjadi pembelajaran bagi buruh-buruh di pabrik lain dan para calon buruh. Karena model-model pencurian upah, kekerasan dan pelecehan, pemberangusan serikat, hingga perampasan hak-hak buruh bisa terjadi di tempat mana saja. 

“Perluasan” pabrik tak hanya bisa dipahami dengan fenomena bisnis belaka. Dalam sudut pandang lain, kita patut menduga bahwa “perluasan” pabrik sebagai siasat hanya akal-akalan para majikan untuk memperbesar keuntungannya. Sementara para pengurus wilayah sibuk menjajakan lahan, buruh murah dan regulasi yang mempermudah kegiatan bisnis sang majikan.

 

Penulis: Dedi Muis

Editor: Aleyah Putri Chanzia