Categories
Orasi

Melawan Politik Kenaikan Harga

Seri Mayday 2022

Ada hantu yang yang bergentayangan dalam benak kelas pekerja Indonesia, hantu kenaikan harga. Secara perlahan, harga-harga kebutuhan pokok yang biasa dikonsumsi rakyat pekerja berangsur-angsur naik. Dalam laporan resmi BPS, inflasi di Indonesia pada sampai dengan Maret 2022 mengalami peningkatan sebesar 0,66%. Menurut BPS, peningkatan ini tercatat sebagai peningkatan tertinggi sejak Mei 2019.

Bagi beberapa pengamat ekonomi, kenaikan ini tidak perlu disikapi dengan berlebihan. Kenaikan harga yang terjadi adalah lumrah untuk dimaklumi ditengah situasi ekonomi global sekarang yang penuh dengan ketidakstailan karena pandemik dan perang Rusia-Ukraina. Selain itu jika dilihat secara jangka panjang dinamika ekonomi Indonesia setelah runtuhnya Orde Baru, tingkat kenaikan ini masih dianggap tidak terlalu mengkhawatirkan. Pada tahun 2005, Indonesia sempat mengalami inflasi sampai dengan 17%. Tidak heran jika kemudian Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa tingkat inflasi Indonesia masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara lain.

Akan tetapi bagi pengalaman keseharian rakyat pekerja, tidak ada yang lumrah dari situasi yang ada. Kenaikan harga menjadi pukulan yang serius bagi semakin hancurnya kesejahteraan. Setelah dihajar kesulitan ekonomi karena pandemik,rakyat pekerja kembali harus mengalami kesulitan untuk mengkonsumsi kebutuhan sehari-hari. Hal ini seharusnya  mendorong adanya kebijakan mengendalikan harga secara lebih serius.

Harus diakui bahwa dalam momen inflasi ini, pemerintah mengklaim sudah mengupayakan beberapa paket kebijakan untuk merespon kenaikan harga ini. Misalnya, operasi pasar untuk menyediakan kebutuhan pokok murah banyak digencarkan oleh pemerintah. Pemberian bantuan langsung tunai kepada warga sebagai kompensasi atas kenaikan harga juga banyak dilakukan. Bahkan pemerintah juga memutuskan untuk melarang ekspor minyak sawit mentah keluar untuk memastikan stabilitas harga kebutuhan minyak goreng dalam negeri.

Masalahnya kemudian, apakah kebijakan yang telah dilakukan cukup menjawab masalah perlindungan rakyat pekerja dari kenaikan harga?

Kebijakan Tambal Sulam ala Neoliberal

Jawaban atas pertanyaan tersebut tentu adalah tidak mencukupi. Kebijakan yang ada masih bersifat terbatas untuk mengatasi masalah kenaikan harga. Hal ini mengingat orientasi kebijakan  yang tertarget (targeted) versi pemerintah membuat perlindungan sosial hanya berlaku pada mereka yang dianggap miskin. Bagi mereka yang dianggap tidak miskin dalam kategori pemerintah tentu tidak bisa mendapatkan keringanan imbas dari kenaikan harga. Selain itu bantuan yang diberikan seringkali jauh dari cukup untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Pendek kata, apa yang dilakukan oleh pemerintah adalah kebijakan pengendalian harga yang sifatnya tambal sulam; tidak mampu untuk menyentuh masalah mendasar dari masalah kenaikan harga itu sendiri.

Inisiatif kebijakan tambal sulam untuk mengendalikan ini bukan sesuatu yang muncul dari langit. Kebijakan sosial tertarget adalah buah dari internalisasi ideologi neoliberal dikalangan pembuat kebijakan [1]. Dalam kerangka ideologis ini, kebijakan penyediaaan perlindungan sosial yang komprehensif bagi semua warga, yang dalam hal ini melindungi kebutuhan masyarakat dari kenaikan harga, adalah sesuatu yang salah sekaligus tabu untuk diajukan. Intervensi melalui penyediaan perlindungan sosial yang terlalu besar dianggap dapat mendistorsi mekanisme pasar yang dengannya akan mencederai ekonomi secara keseluruhan. Perlindungan sosial hanya dapat diberikan sejauh hal tersebut dapat membatasi konsekuensi negative dari eksternalitas pasar. Tidak heran jika kemudian penyediaan perlindungan dilakukan secara selektif dimana kelompok miskin harus diberikan bantuan untuk mencegah mereka melakukan eksternalitas pasar seperti perusakan stabilitas pasar.

Padahal kita semua tahu bahwa bias ideologi ini sendiri adalah buah dari manifestasi kepentingan kelas kapitalis yang dominan dalam masyarakat sekarang[2]. Kerangka neoliberal ini membingkai kebijakan sebagai sesuatu yang netral yang mana kepentingan pasar seakan menjadi kepentingan masyarakat yang lebih luas. Menerima begitu saja tawaran kebijakan ala neoliberal ini tentu membiarkan secara tak sadar kepentingan kapitalis untuk tetap mengatur apa pun yang menjadi kepentingan rakyat pekerja untuk sejahtera.

Melawan Politik Kenaikan Harga

Bias ideologi neoliberal ini tentu perlu dilawan. Minimnya intervensi negara untuk mengatasi masalah kenaikan harga sedikit banyak dapat disimpulkan bahwa negara tengah melakukan pembiaran atas kenaikan harga itu sendiri. Dengan kata lain ada keputusan politik dari negara untuk rakyat pekerja yang selalu berkubang dalam ketidak-sejahteraan karena kenaikan harga.

Untuk melakukan perlawanan kita tentu harus memulai dari melihat apa yang mungkin dilakukan dalam mengendalikan harga. Disini, kita perlu membuka wawasan kebijakan yang lebih luas dari sebatas dogma neoliberal. Negara dimungkinkan untuk mengimplementasikan kebijakan pengendalian harga yang lebih sistematis dari yang dilakukan sejauh ini. Sebagai contoh, kita mungkin dapat mengemulasi kebijakan pengendalian harga strategis yang dilakukan oleh negara seperti AS ketika PD II atau Cina pada saat memutuskan mengimplementasikan ekonomi pasar pada tahun 1978. Dalam pengalaman mereka, negara melakukan kendali ketat atas produksi bahan pangan untuk memastikan bahwa harga seluruh kebutuhan pokok berada dalam tingkatan yang terjangkau [3].

Kita perlu melihat bahwa dalam situasi krisis seperti sekarang, investasi publik menjadi suatu keharusan. Negara harus mengupayakan agenda publik untuk menyediakan lapangan pekerjaan yang bukan hanya layak namun juga beragendakan kelestarian lingkungan. Selain itu diperlukan pula investasi infrastruktur yang memenuhi kebutuhan mendasar rakyat seperti kesehatan, pendidikan, perumahan, transportasi, dan juga komunikasi. Mengingat ini adalah agenda publik, tentu investasi tersebut haruslah berada dalam kendali negara. Entitas-entitas yang dibangun atas nama investasi publik itu, yang biasa berbentuk perusahaan, haruslah milik negara yang dimungkinkan kendali demokratis oleh masyarakat luas.

Tentu akan ada pertanyaan tentang dari mana sumberdaya untuk melakukan aktivitas kebijakan publik yang luas ini. Secara fiskal harus diakui Indonesia masih memiliki keterbatasan. Tapi kita perlu mengingat bahwa sumberdaya bisa tersedia jika kita melakukan identifikasi jujur tentang sumbernya itu sendiri. Ketimpangan sosial yang tinggi di masyarakat Indonesia sekarang menunjukan bahwa ada segelintir kelompok sosial kepitalis Indonesia yang menimbun kekayaan ekstrim. Disinilah kita perlu melakukan upaya sistematis untuk memastikan bahwa penimbunan tersebut dapat teratasi. Pemberlakuan pajak tinggi terhadap kelompok ini harus dilakukan. Sembari tentu melakukan banyak tawaran kebijakan yang bersifat membatasi akumulasi kekayaan yang berlebihan dari kelas kapitalis ini.

Inisiatif kebijakan ini mungkin terkesan berlebihan. Namun ekonom arus utama ternama seperti Thomas Piketty misalnya, berpendapat bahwa jalan untuk mengatasi situasi sulit ekonomi sekarang bukanlah memperbanyak inisiatif pertumbuhan namun justru melakukan pelemahan atas hak kepemilikan pribadi, khususnya kepemilikan pribadi kalangan super kaya [4]. Oleh karenanya agenda perlindungan terhadap rakyat pekerja sekarang mensyaratkan pendisiplinan ketat negara terhadap kepentingan kelas kapitalis yang hanya memikirkan kekayaan pribadi semata. Hanya melalui agenda ini kita bisa mengatasi masalah kenaikan harga yang terjadi sekarang.

 

[1] Breznitz et. al, “The Neoliberal Targeted Social Investment State: The Case of Ethnic Minorities”, Journal of Social Policy , Volume 48 , Issue 2 , April 2019 , pp. 207 – 225. https://www.cambridge.org/core/journals/journal-of-social-policy/article/abs/neoliberal-targeted-social-investment-state-the-case-of-ethnic-minorities/1E34DE9746A363EE82A473BA7B97B881

[2] Bjarke Skærlund Risager, Neoliberalism Is a Political Project, jacobinmag.com, https://www.jacobinmag.com/2016/07/david-harvey-neoliberalism-capitalism-labor-crisis-resistance/

[3] Isabella Weber, Could strategic price controls help fight inflation?, theguardian.com, https://www.theguardian.com/business/commentisfree/2021/dec/29/inflation-price-controls-time-we-use-it

[4] Thomas Piketty’s Radical Plan to Redistribute Wealth, nytimes.com, https://www.nytimes.com/2022/04/19/books/review/a-brief-history-of-equality-thomas-piketty.html 

Penulis: Muhammad Ridha

Editor: Hirson Kharisma