Categories
Orasi

Kenaikan Upah Sulit, Beban Buruh Kian Berat

Trimurti.id – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 168/PUU/21/2023 sempat membawa kabar baik bagi para buruh terkait jaminan upah layak. Putusan ini menjelaskan bahwa indeks dalam Pasal 88D ayat (2) dan Lampiran Pasal 81 angka 28 lampiran UU No. 6/2023 (UU Cipta Kerja) digunakan untuk menghitung upah minimum, yang mencerminkan kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi di masing-masing provinsi atau kabupaten/kota. Penetapan ini mempertimbangkan kepentingan perusahaan dan pekerja/buruh, serta prinsip proporsionalitas guna memastikan pemenuhan kebutuhan hidup layak (KHL). 

Selanjutnya, Putusan MK 168/PUU/21/2023 yang terkait dengan Pasal 88C dan Lampiran Pasal 81 angka 28 UU No. 6/2023 (UU Cipta Kerja) mewajibkan gubernur untuk menetapkan Upah Minimum Sektoral (UMS) di wilayah provinsi, dan UMS juga dapat diterapkan di kabupaten/kota. Hal ini berarti bahwa UMS, yang sebelumnya dihilangkan oleh UU Cipta Kerja, kini dapat kembali diterapkan.

Namun, harapan akan kenaikan upah yang signifikan pada 2025 terkubur dengan keputusan pemerintah yang menetapkan kenaikan upah minimum hanya sebesar 6,5%, sesuai dengan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 16 Tahun 2024. Sementara itu, kenaikan Upah Minimum Sektoral (UMS) hanya 7%, dan itu pun terbatas pada sektor tertentu. Dengan kenaikan yang minim ini, buruh khawatir daya beli yang sudah lemah, terutama pasca-pandemi, akan semakin tergerus.

Besarnya harapan buruh akan kenaikan upah yang layak, dihantam kenyataan bahwa selama satu dekade terakhir, rata-rata kenaikan upah hanya sebesar 5,79% pada periode 2015-2024. Bahkan, antara tahun 2020 sampai 2024, rata-rata kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) hanya mencapai 4,2% saja.

Tabel Kenaikan UMP di Indonesia*

*diolah dari berbagai sumber

Perlu diingat bahwa setiap bulan, upah buruh dipotong sebesar 4%, terdiri dari 1% untuk BPJS Kesehatan, 2% untuk jaminan hari tua, dan 1% untuk jaminan pensiun. Di sisi lain, masih banyak buruh yang belum terdaftar dalam BPJS. 

Kenaikan upah yang hanya sebesar 6,5% akan terasa sia-sia, terlebih dengan adanya kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% yang rencananya akan diterapkan pada Januari 2025. Menurut Center of Economics and Law Studies (Celios), diperkirakan pengeluaran kelompok miskin akan naik sebesar Rp 101.800, sementara kelas menengah akan mengalami kenaikan pengeluaran sebesar Rp 354.293 per bulan akibat kenaikan PPN tersebut. 

Kenaikan upah yang hanya sebesar 6,5% pada 2025 dan kenaikan PPN menjadi 12% dikhawatirkan akan berdampak serius pada kesehatan para buruh. Menurut editorial di May Journal of Occupational and Environmental Medicine, publikasi resmi American College of Occupational and Environmental Medicine (ACOEM), upah rendah harus dianggap sebagai ancaman bagi kesehatan kerja. J. Paul Leigh, PhD, dan Roberto De Vogli, PhD, MPH, dari Fakultas Kedokteran Universitas California Davis, yang juga merupakan penulis editorial tersebut, menyatakan, “pekerja dengan upah rendah mungkin memiliki risiko lebih besar terkena penyakit dan cedera dibandingkan pekerja dengan upah tinggi.”

Lebih jauh lagi, upah yang rendah juga dapat menimbulkan dampak kesehatan tidak langsung, seperti ketika harus memilih antara kebutuhan dasar seperti sewa rumah atau makanan sehat.  Akibatnya, buruh terpaksa mengambil jam kerja panjang, bahkan lembur atau mencari pekerjaan tambahan di tempat lain untuk mencukupi kebutuhan mereka dan keluarganya. Hal ini tentunya semakin menambah risiko kesehatan kerja, sebagaimana hasil sebuah studi yang dilakukan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), yang menyatakan bahwa jam kerja yang panjang menyebabkan ratusan ribu kematian per tahun. Bekerja lebih dari 55 jam per minggu pada pekerjaan berbayar mengakibatkan 745 ribu kematian pada tahun 2016, dan jumlah ini meningkat 29% sejak tahun 2000.

Belum cukup juga alasan untuk menambah kegelisahan di awal tahun baru ini, kabar buruk lainnya ialah pemerintah berencana menaikkan iuran peserta program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), yang akan diputuskan paling lambat 1 Juli 2025. Isu ini perlu mendapat perhatian serius, karena pada pertengahan November lalu, BPJS Kesehatan menyatakan adanya potensi defisit sekitar 20 triliun rupiah akibat meningkatnya jumlah layanan kesehatan dari sekitar 252 ribu per hari menjadi 1,7 juta per hari. Kondisi ini memperburuk defisit BPJS Kesehatan, yang disebabkan oleh daya beli masyarakat yang semakin menurun akibat rendahnya upah dan adanya kenaikan pajak.

Ibarat pepatah, “Roda nasib terus berputar,” namun tampaknya nasib para buruh terus-menerus berada di bawah, digilas beratnya beban hidup akibat kebijakan pemerintah yang tidak bijak, bahkan perlahan membunuh mereka. Lalu, apakah kita akan tetap diam?

 

 

Penulis : Saefulloh (Pemerhati Kesehatan dan Keselamatan Kerja)

Editor: Nana Miranda

 

Daftar Pustaka

 Leigh JP, De Vogli R. Low wages as occupational health hazards [Editorial]. J Occup Environ Med. 2016;58(5): 444–7.

https://www.who.int/news/item/17-05-2021-long-working-hours-increasing-deaths-from-heart-disease-and-stroke-who-ilo