Konsep Hubungan Industrial Pancasila (HIP) kembali dipertunjukkan melalui Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 76 Tahun 2024 (Kepmenaker 76/2024). Sekilas, tidak ada yang bermasalah dalam konsep ini. Namun, jika ditelisik melalui kesejarahannya, konsep HIP melatarbelakangi penggunaan Pancasila sebagai alat penundukan kelas pekerja. Akankah “HIP baru” ini menyerupai bentuk asalnya?
Pancasila dan Politik Penyingkiran
“[…] Pancasila dapat kita hindarkan dari penafsiran kita masing-masing, yang mungkin berbeda-beda. Sebab, penafsiran dan penjabaran Pancasila yang berbeda-beda sama saja dengan mengaburkan arti dari Pancasila.”
Sambutan Presiden Soeharto pada Pembukaan Musyawarah Kerja Kwartir Nasional Gerakan Pramuka, 12 April 1976, di Istana Negara, Jakarta.
Tulisan ini mesti diawali dengan pembahasan atas Pancasila itu sendiri, khususnya dalam konteks politik penyingkiran. Pada tahun 2019, sempat ramai beredar sebuah jargon “Aku Pancasila” atau “Saya Pancasila, Saya Indonesia”.
Jargon tersebut, ungkap Rocky Gerung, merupakan suatu politik penyingkiran. Konteksnya adalah penyingkiran bagi mereka yang oposan atau kontra terhadap pemerintah, yang mana dicap tidak Pancasilais.
Politik penyingkiran tersebut kiranya sudah dipelihara sejak era Orde Baru, era ketika Pancasila dijadikan sebagai asas tunggal. Konsepsi asas tunggal Pancasila ini memaksa tiap-tiap warga negara untuk menjadikan Pancasila sebagai landasan filosofis dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam hal berorganisasi.
Permasalahan sesungguhnya bukan terletak pada Pancasila sebagai asas, tapi pada pemahaman tunggal atas Pancasila yang dipromosikan secara otoriter oleh negara. Perbedaan pandangan terhadap pemerintah kemudian dengan mudah dicap sebagai “anti-Pancasila”.
Praktik tersebut mengasumsikan bahwa bangsa Indonesia belum memahami Pancasila, sedangkan pemerintah Orde Baru adalah ahlinya. Hal tersebut terimplementasi dalam program-program penataran Pancasila yang diwajibkan di berbagai sektor pegawai dan mahasiswa. Indoktrinasi Pancasila dalam versi tunggal pemerintah inilah yang membuat Pancasila menjadi momok yang menakutkan—setidaknya dalam bahasa ideologis.
Sejarah Kelam Hubungan Industrial Pancasila
HIP bukanlah barang baru. Konsepsi ini diperkenalkan oleh Jenderal Ali Moertopo pada 1974 dengan istilah Hubungan Perburuhan Pancasila dan dilembagakan melalui Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor Kep.645/M/1985.
Pada pokoknya, konsep HIP menekankan bahwa hubungan antara buruh, pengusaha, serta pemerintah harus terjalin secara harmonis, dinamis, berkeadilan, dan menjamin kelangsungan berusaha. Hal tersebut memaksa hubungan industrial terjalin secara kekeluargaan, membentuk relasi negara dan warga seperti relasi “ayah dan anak”, negara ditempatkan sebagai “ayah yang bijak”.
Penerapan HIP dimulai oleh Menteri Tenaga Kerja Laksamana Sudomo pada awal 1980. Secara praktis, HIP memungkinkan kontrol industri yang ketat dan keterlibatan militer dalam perselisihan perburuhan, berdasarkan pada gagasan ‘keamanan industri’ dan subordinasi pekerja di bawah kebijakan negara.
HIP pun dianggap sebagai suatu upaya kooptasi atas ideologi negara dalam hal menciptakan norma antipemogokan dalam hubungan industrial di Indonesia, yang membawa seluruh beban militer dan pemerintah untuk menanggung perselisihan industrial di tempat kerja mana pun.
Secara lebih spesifik, konsepsi HIP berperan dalam lahirnya berbagai kebijakan yang merugikan buruh. Seperti Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. PER-04/MEN/1986 yang memberikan izin kepada majikan untuk merumahkan buruh sewaktu-waktu tanpa menunggu keputusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (P4).
Selain itu, dengan konsep kekeluargaan, HIP mendoktrin agar mekanisme penyelesaian sengketa perburuhan—baik itu bipartit, tripartit, atau cara lainnya—dalam rangka menegosiasikan kepentingan buruh dan pemodal harus didukung oleh “asas kekeluargaan” dan nilai-nilai “tradisional” yaitu “gotong royong” dan “musyawarah untuk mufakat”.
Hal ini berdampak pada lemahnya posisi tawar buruh dalam memperoleh hak-haknya, mengingat pihak perusahaan memiliki kuasa yang lebih besar sehingga dapat melakukan segala cara untuk menghindar dari kewajibannya.
Serangkaian hal itu membuat gerakan buruh pada masa Orde Baru mengalami kemunduran yang pesat. Pada masa ini, kebijakan terhadap kelas pekerja nampaknya didesain dengan sistematis dan represif dengan dalih kemajuan pembangunan. Bukan hanya upah rendah dan jam kerja yang panjang, kebebasan berserikat kaum buruh juga ditiadakan.
Bahkan, Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) dijadikan sebagai satu-satunya serikat buruh yang resmi dan diakui pemerintah pada waktu itu. Serikat buruh selain SPSI dianggap sebagai ilegal. Kemunduran serta tekanan terhadap gerakan buruh tersebut memperlihatkan bagaimana HIP dijadikan sebagai alat untuk “menertibkan” buruh, yang berkonsekuensi pada timpangnya kuasa pengusaha terhadap buruhnya.
Antitesis Orde Lama
Konsepsi HIP merupakan antitesis dari konsep perburuhan yang dikenal pada era Orde Lama, era ketika gerakan buruh sedang mencapai puncaknya. Dimulai sejak era Demokrasi Parlementer (1949), serikat buruh di Indonesia berkembang pesat.
Hingga pertengahan tahun 1950-an, gerakan serikat buruh semakin besar, dengan perkiraan 2 juta orang bergabung di 13 federasi berbeda, terutama di sektor ketenagakerjaan formal. Gerakan serikat buruh tersebut didominasi oleh Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), organisasi underbouw Partai Komunis Indonesia (PKI).
Kuatnya gerakan buruh di masa ini selaras dengan pesatnya perkembangan PKI. Namun, perkembangan PKI beserta organisasi-organisasi underbouw-nya menimbulkan sentimen tersendiri terhadap gerakan buruh, termasuk pemerintahan Orde Lama secara umum.
Pasca tragedi 1965-1966, gerakan buruh di Indonesia mulai mengalami kemunduran. Hal tersebut diawali dengan peristiwa pembantaian massal secara kejam terhadap anggota PKI dan orang-orang yang dianggap berafiliasi dengannya tanpa melalui proses peradilan oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan kelompok-kelompok yang diorganisirnya. Begitupun gerakan buruh, sebuah gerakan yang distigma sebagai gerakan kiri yang identik dengan komunisme, segala hal yang berkaitan dengannya kemudian dianggap sebagai tindakan subversif dan sah untuk dilarang.
Neo-Hubungan Industrial Pancasila
“Untuk menciptakan Hubungan Industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan di perusahaan diperlukan pedoman pelaksanaan Hubungan Industrial yang berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila.”
Seperti telah disebutkan di awal, pemerintah telah menerbitkan Kepmenaker 76/2024 tentang Pedoman Pelaksanaan Hubungan Industrial Pancasila. Ditetapkan pada 28 Maret 2024, Kepmenaker ini mencabut Kep.645/M/1985, sebuah dasar hukum berlakunya HIP era Orde Baru karena dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan hubungan industrial.
Secara filosofis, penerbitan Kepmenaker 76/2024 ditujukan untuk menciptakan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, berkeadilan dan menjamin kelangsungan berusaha di perusahaan serta mendukung terlaksananya hubungan industrial berdasarkan nilai-nilai Pancasila.
Secara maksud, Keputusan tersebut hendak mewujudkan hubungan kerja yang harmonis antara pengusaha, buruh, dan pemerintah di perusahaan dengan berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Maksud tersebut kemudian dilaksanakan melalui serangkaian prinsip, asas, sarana, hingga tata cara penerapan HIP dalam hubungan kerja yang perinci tertulis dalam Lampiran Kepmenaker 76/2024.
Sekelumit Persoalan Kepmenaker 76/2024
Penulis tidak akan mengomentari segala yang ada dalam Keputusan, yang terlalu detail dan bertele-tele. Komentar penulis menyasar hanya pada beberapa hal fundamental.
Pertama, sentimen terhadap Orde Lama dan pro-Orde Baru. Dalam Bab II Lampiran Kepmenaker 76/2024, narasi atas sejarah hubungan industrial di Indonesia di era Orde Lama tertulis dengan irama yang berbau sentimen. Bagaimana tidak, secara tegas tertulis bahwa:
“Pada masa Orde Lama, Hubungan Industrial di Indonesia diwarnai dengan banyak gejolak khususnya sejak diberlakukannya Dekrit Presiden Republik Indonesia pada tanggal 5 Juli1959 yang menandai berlakunya Demokrasi Terpimpin yang menyebabkan timbulnya Hubungan Industrial yang antagonis dan konfrontatif yang disebabkan oleh makin tegaknya Hubungan Industrial berdasarkan marxisme yang merupakan salah satu faktor runtuhnya Orde Lama pada Tahun 1966.”
Sikap sentimen ini kiranya serupa dengan narasi Orde Baru terhadap gerakan buruh sebagaimana telah penulis uraikan di atas.
Berbanding terbalik, dalam uraian sejarah periode Orde Baru (1966-1998), tertulis serangkaian narasi yang indah seolah-olah pemerintah Soeharto berhasil menciptakan hubungan industrial yang melaksanakan nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dengan murni dan konsekuen.
Uraian berlanjut mengenai keberhasilan Orde Baru merestrukturisasi organ-organ perburuhan serta pengembangan sistem perburuhan yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Terlebih, diuraikan pula bagaimana peran Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) melalui program Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila dalam pengembangan HIP.
Secara keseluruhan, Kepmenaker 76/2024 hanya menarasikan Orde Lama sebagai contoh buruk atas hubungan industrial, sehingga diperbaiki dengan hubungan industrial Pancasila ala Orde Baru. Narasi seperti ini kiranya semakin memperlihatkan bagaimana pemerintah berusaha untuk mengaburkan sejarah.
Dalam uraiannya, tidak tertulis sama sekali bagaimana praktik-praktik otoritarianisme Orde Baru terhadap dunia perburuhan, seperti pembatasan hak untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat. Tidak diceritakan sama sekali bagaimana intervensi militer dalam dunia perburuhan, termasuk pelanggaran HAM yang terjadi di dalamnya.
Kedua, Kepmenaker 76/2024 berpotensi menimbulkan politik penyingkiran. Seperti telah diuraikan di awal, Pancasila kerap dijadikan sebagai alat politik penyingkiran, alat untuk mengkotak-kotakkan.
Dalam konteks HIP, tidak menutup kemungkinan politik penyingkiran yang serupa dapat kembali terjadi. Dengan perincian hal-hal yang merepresentasikan HPI, berpotensi menimbulkan cap “buruh anti-Pancasila” bagi mereka yang tidak melaksanakan ketentuan HIP dalam Kepmenaker 76/2024.
Hal tersebut berbahaya sebab narasi Pancasila dan “anti-Pancasila” berpotensi muncul dan dapat menimbulkan perpecahan secara horizontal, khususnya di kalangan buruh itu sendiri. Narasi semacam ini dapat dengan mudah dimanfaatkan penguasa melemahkan gerakan buruh.
Ketiga, ketimpangan narasi antara buruh dan pengusaha. Sebagaimana telah disebutkan, HIP menekankan hubungan industrial yang ideal, hubungan yang harmonis antara buruh, pengusaha, dan pemerintah. Akan tetapi, narasi “manis” tersebut perlu dibaca secara kritis. Setidaknya dalam Kepmenaker 76/2024, penulis hendak memulainya dari asas-asas yang tercantum.
Keputusan itu diawali dengan asas kesetaraan dan solidaritas, sebuah asas yang menurut pemerintah diperlukan demi mewujudkan kesejahteraan buruh dalam mendukung pembangunan dunia usaha serta menerapkan keadilan dengan hasil yang dicapai dapat dirasakan bersama di perusahaan.
Adapun dalam konteks solidaritas, bentuknya dimaknai sebagai ikut menjaga marwah perusahaan ketika ada pihak lain yang menyudutkan nama perusahaan, dan ikut aktif bersama perusahaan dalam mempromosikan produksi barang dan jasa yang dihasilkan perusahaan.
Sungguh lucu, membicarakan solidaritas kepada buruh tanpa menyinggung betapa pentingnya serikat buruh di dalamnya. Alih-alih demikian, buruh justru diminta untuk menjadi kaki tangan perusahaan.
Selanjutnya, terdapat asas soliditas, sebuah asas yang dimaknai sebagai upaya menjaga keutuhan bersama antara buruh dan pengusaha dalam menghadapi tantangan yang ada, mengedepankan saling pengertian atau saling memahami dan ikut merasakan apa yang sedang dihadapi perusahaan.
Dicontohkan oleh pemerintah, bahwa implementasi dari asas soliditas yakni dengan ikut berempati dan menjaga keutuhan perusahaan ketika dihadapkan pada situasi penjualan yang kurang maksimal, pandemi, bencana alam, dan keadaan kahar/darurat.
Sungguh sebuah narasi yang naif. Menurunnya pendapatan perusahaan kerap menjadi alasan PHK massal dengan pembayaran uang pesangon yang kecil akibat berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja. Bahkan, perusahaan kerap tidak membayarkan sama sekali pesangon maupun hak-hak lainnya.
Merujuk pada penjelasan di atas, kiranya keberadaan neo-HIP melalui Kepmenaker 76/2024 perlu menjadi perhatian bersama. Apakah HIP merupakan upaya penundukan kelas pekerja?
Pelemahan gerakan buruh melalui narasi Pancasila era Orde Baru telah mencederai segala perlindungan, penghormatan, serta pemenuhan hak asasi manusia kaum buruh. Dengan latar belakang yang kelam tersebut, jangan sampai narasi manis HIP ini justru melemahkan gerakan buruh lagi yang sudah mulai memperoleh kembali kekuatannya.
Penulis: Andi Daffa Patiroi
Editor: Anita Lesmana
Andi Daffa Patiroi adalah pekerja bantuan hukum di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung yang berfokus pada kerja-kerja advokasi kasus struktural dan pelanggaran HAM, seperti perburuhan, agraria, dan kasus lainnya yang merugikan hajat hidup orang banyak.
Daftar Pustaka
Sambutan Presiden Soeharto pada Pembukaan Musyawarah Kerja Kwartir Nasional Gerakan Pramuka, 12 April 1976, di Istana Negara, Jakarta.
Rocky Gerung, “Pancasila: Ide Penuntun, Bukan Pengatur”, dalam PRISMA: Membongkar dan Merangkai Pancasila, LP3ES, 2018.
Ariel Heryanto, “Pancasila Sejak Orde Baru”, Kompas.id, 2021.
Surya Tjandra, Labour Law and Development in Indonesia, Tesis Doktoral, Leiden University, 2016, hal. 63.
Colin Fenwick, Tim Lindsey, dan Luke Arnold, Labour Disputes Settlement Reform in Indonesia: A Guide to the Policy and Legal Issues Raised by Industrial Labour Dispute Settlement Bill, International Labour Office, Jakarta, 2002, hal. 18.
Marsinah dan Nasib Buruh di Era Orde Baru – Menolak Lupa, KORAN SULINDO, 2022.