Categories
Kabar Perlawanan

Solidaritas Jurnalis Bandung Galang Penolakan RUU Penyiaran Nirfaedah

Trimurti.id, Bandung – Rancangan Undang-Undang Penyiaran (RUU Penyiaran) yang tengah disusun oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menuai polemik dan penolakan dari kalangan buruh media. Mereka menduga rancangan undang-undang ini dapat mengancam iklim demokrasi dan kebebasan pers.

Perkaranya, sejak penyusunan hingga menjadi butir-butir pasal dalam RUU, DPR selaku pengurus publik mengabaikan partisipasi rakyat. Pasal-pasal yang disusun pun bermasalah. Salah satunya adalah substansi Pasal 50 B ayat (2) huruf c terkait larangan liputan investigasi jurnalistik. 

Larangan peliputan investigasi jurnalistik sangat merugikan buruh media dan masyarakat. Sebab, laporan investigasi menjadi alternatif untuk menguak kasus korupsi pengurus publik dan kasus kejahatan korporasi tukang kemplang upah buruh dan perusak lingkungan.

Selain menghambat kerja-kerja buruh media, RUU penyiaran ini memberikan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) keleluasaan untuk mengontrol dan mengawasi konten penyiaran konvensional (Televisi, Radio, Surat Kabar) hingga penyiaran digital di media sosial dan layanan konten streaming

Tak mau kebebasan pers direnggut RUU penyiaran nirfaedah, Solidaritas Jurnalis Bandung menggeruduk gedung Dewan Perwakilan Provinsi Daerah (DPRD) provinsi Jawa Barat. 

Di depan gerbang DPRD yang dipenuhi kawat berduri, para buruh media yang berasal dari Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Bandung, Pewarta Foto Indonesia (PFI) Bandung, Wartawan Foto Bandung, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia, Forum Diskusi Wartawan Bandung hingga berbagai Lembaga Pers Mahasiswa melakukan orasi, teatrikal dan menyampaikan tuntutan mereka.

Melalui keterangan tertulis dalam siaran pers, mereka menuntut pemerintah segera revisi menyeluruh pasal-pasal bermasalah tersebut dengan melibatkan partisipasi publik dan menolak pemerintah mengontrol kerja-kerja jurnalistik.

Sekitar satu jam aksi berlalu, beberapa perwakilan Solidaritas Jurnalis Bandung dipersilakan ke dalam ruangan Komisi 1 DPRD. Secara kebetulan, reporter Trimurti.id berkesempatan untuk ikut mengabadikan momen temu dengar pendapat di dalam ruangan pengurus publik bekerja.

Namun mudah diduga, ruangan para pengurus publik kosong melompong kala rakyat melakukan kunjungan. Para dewan pengurus publik tak menampakan batang hidungnya, tersisa bunyi pendingin udara yang meluruh saban waktu dan perwakilan Subbag Aspirasi Komisi 1 DPRD Jawa Barat, Iman Maulana yang didampingi aparat kepolisian.

“Sebelumnya mohon maaf, bapak-bapak dewan (baca: pengurus publik) berhalangan hadir di pertemuan ini. Dikarenakan sedang dinas di luar kota. Saya akan catat pertemuan ini dan akan saya sampaikan nanti” tutur Iman.

Tanpa berlama-lama, Ahmad Fauzan, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung menyampaikan penolakannya terhadap RUU penyiaran yang dinilai mempersempit ruang demokrasi dan kebebasan pers.

“Pertama, kami menyoroti beberapa pasal 50 B, dalam pasal ini KPI ingin menjadi super power, mengalihkan sengketa pers dari dewan pers. Ini tentu tumpang tindih dengan hukum, KPI jelas mengambil alih tugas dewan pers.”

“Kedua, Liputan investigasi. Fungsi-fungsi kerja jurnalistik yang dilakukan dihapus juga. Larangan konten investigasi juga mengontrol kerja jurnalistik.

“Ketiga, upaya memasukan UU ITE dalam RUU Penyiaran ini biasa digunakan untuk membungkam para jurnalis. Dapat juga membungkam konten kreator dalam kerja-kerjanya.” 

Ruangan kerja seketika hening. Penerima tamu utusan para pengurus publik itu hanya mencatat saja dan mempersilakan perwakilan jurnalis untuk menyampaikan aspirasinya.

Beberapa perwakilan buruh media lainya menyampaikan kekhawatirannya bila RUU penyiaran disahkan akan membuat independensi media terancam.

Sebelum sesi diakhiri, salah seorang buruh media memberi pesan penting pada Iman Maulana.

“Saya gak akan panjang lebar, kita hanya meminta anggota (dewan) komisi 1 menyampaikan aspirasi kita. Itu aja.”

RUU Penyiaran Gerus Kesejahteraan Buruh

Rancangan Undang-Undang Penyiaran (RUU Penyiaran) tak hanya mempersempit ruang berekspresi bagi buruh media dan buruh kognitif, perempuan dan kelompok rentan ketika nanti disahkan. 

Mengutip siaran pers Sindikasi pada 23 Mei 2024, Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) itu menilai RUU penyiaran akan menggerus sumber pendapatan dan kesejahteraan.

Dalam keterangan tertulisnya, Koordinator Divisi Advokasi Kebijakan SINDIKASI Guruh Riyanto mengatakan menyempitnya ruang berekspresi berarti berkurangnya ruang ekonomi yang kondisi kerja buruh semakin memburuk.

Menurut guruh, di tengah ketidakpastian kerja di industri media yang terdisrupsi platform digital-lah yang menjadi salah satu alternatif. Namun, dengan berbagai pasal karet dalam RUU penyiaran, ruang berekspresi akan semakin tertutup dan ruang ekonomi semakin menyempit.

Sebelum RUU penyiaran ramai dipergunjingkan, pemblokiran terhadap paypal atau Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) imbas diterapkannya Permenkominfo Nomor 5 tahun 2020 tentang PSE Lingkup Privat. Banyak buruh media dan digital yang mengandalkan piranti tersebut untuk keperluan bertransaksi turut surut pendapatannya akibat pemblokiran.

Dampaknya tak main-main, akibat pemblokiran yang dilakukan secara sewenang-wenang,  SINDIKASI mencatat terdapat 44 anggotanya yang terdampak langsung dari pemblokiran dengan kerugian sekitar Rp 136 juta pada 30 Juli 2022.

“Kami khawatir, jika RUU Penyiaran dengan berbagai pasal bermasalahnya tetap disahkan, akan menimbulkan kerugian luar biasa yang harus ditanggung oleh para pekerja. Kerugian ini termasuk potensi PHK besar-besaran akibat semakin menyempitnya ruang ekspresi dan ekonomi pekerja media dan industri kreatif,” kata Guruh

Belum lagi, RUU Penyiaran nirfaedah ini akan membuat buruh sektor film atau buruh lepas di industri kreatif semakin rentan. Karena ketidakpastian pemberian upah dan jaminan sosial.

Kita tahu betul, ketika situasi kritis dan krisis ekonomi majikan akan lebih mudah memecat buruh dan menyelamatkan perutnya sendiri. 

***

Kita tak boleh melupakan bahwa undang-undang cipta kerja disahkan secara sembunyi-bunyi kala pandemi covid 19 mewabah dan pendapat buruh semakin rontok.

Begitu pula RUU penyiaran, yang digodok ketika biaya pendidikan melonjak tajam dan riuh-riuh perpindahan kekuasaan terjadi. 

Kendati RUU penyiaran ditunda. Namun,  kali ini nampaknya kita perlu lebih peka membaca gejala dari jelaga. Karena esok dan nanti, kita tak tahu apa yang lebih buruk dari RUU penyiaran ini.

 

Penulis: Baskara Hendarto

Foto: Fay

Editor: Rokky Rivandy