Tahun 2016, warga kampung Dago Elos dikejutkan oleh gugatan hukum melalui Pengadilan Negeri Bandung. Gugatan itu mempermasalahkan tanah yang sudah dihuni warga Dago Elos selama beberapa generasi.
Dago Elos merupakan area perkampungan padat penduduk di tepian utara Kota Bandung. Dalam dua dekade terakhir, Dago Elos dihantam peningkatan produksi ruang yang gejalanya bisa dilihat dari perubahan infrastruktur dan sosial yang tajam.
Kawasan Dago secara administratif merupakan sebuah kelurahan. Kemudian perkembangan tata ruangnya berubah menjadi suatu lanskap ekonomi, sosial, dan kultur yang malah melampaui wilayah administratif tersebut. 1
Lazimnya, area penghubung wilayah kampung dan kota ditandai dengan keberadaan infrastruktur fisik untuk transaksi ekonomi, mobilitas, dan komunikasi. Hal tersebut dimiliki Dago Elos dalam wujud pasar, terminal angkot, dan kantor pos.
Nama Dago Elos diambil dari kata Elos (Sunda). Berawal dari penyebutan warga kampung untuk menunjuk sebuah lokasi penempatan dan penjualan bahan-bahan bangunan, area penyimpanan ijuk, hingga area yang tertutup alang-alang.
Kawasan ini mulai berkembang menjadi area campuran antara kebun (pisang-singkong) dan hunian warga sekitar tahun 80-an. Fase berikutnya, para pedagang Pasar Simpang Dago dipindahkan ke area ini di tahun 90-an. Terjadi tumpang tindih area terminal angkot Dago dengan penempatan pedagang pasar yang sering juga disebut elos.
Kawasan utara Dago memiliki penamaan khas untuk menunjuk nama gang, nama area, dan nama kampung, seperti Dago Barat, Dago Timur, Dago Pojok, Dago Giri, Dago Bengkok, Dago Tihes termasuk Kawasan kampung Dago Elos ini.
Secara luas, Dago dikenal sebagai kawasan elit, kawasan turisme, dan kawasan kreatif. Hal tersebut membuat Walikota Bandung saat itu, Ridwan Kamil, membentuk sebuah tim kreatif di bawah naungan Bandung Creative City Forum. Tanpa sopan santun, mereka membentuk Kampung Dago Pojok menjadi Kampung Kreatif.
Sayangnya, ide tim kreatif tersebut mentok pada penggunaan dana publik berupa APBD kota. Pemilihan Kampung Dago Pojok menjadi Kampung Kreatif diendus bermasalah dan politis saat merayakan Creative City Branding.
Di seberang lainnya, Kampung Dago Elos yang hanya dipisahkan oleh Jalan Juanda, alias jalan Dago, sedang menghadapi teror penggusuran rumah dan lahan mereka. Tidak ada ide kreatif dari Ridwan Kamil dan timnya untuk melindungi hak warga atas tanah mereka. Malah, secara kreatif – dan tanpa APBD- warga Dago Elos terus berupaya untuk mempertahan ruang hidupnya.
Hari-hari berikutnya, Festival Kampung Kota 1 diselenggarakan di Dago Elos. Lagi-lagi tanpa ide kreatif Ridwan Kamil dan timnya. Festival itu melibatkan banyak unsur solidaritas warga Bandung maupun di luar Bandung. Solidaritas itu hendak menunjukan geliat aktivisme warga sekaligus menghidupkan ruang publik yang terus digempur upaya penyekatan sosial dan perampasan lahan.
Geliat aktivisme warga ini terus terawat hingga tahun 2022. Sebuah film pendek dipertontonkan, kembali di Dago Elos. Film tersebut dibuat oleh sekelompok mahasiswa dari Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung. Dengan durasi 28:51 menit, film dokumenter ini diberi tajuk “Dago Elos Never Lose!”
Praktik kreatif ini bukan bualan sebagaimana gagalnya Kampung Kreatif. Film ini mencoba merangkum deskripsi ruang hidup dan memori kolektif warga Dago Elos secara dialogis, sekaligus sebagai catatan aktivisme visual.
Mahasiswa-mahasiswa ini hanyalah sebagian dari solidaritas yang melanjutkan warisan cerita kehidupan keseharian, lanskap, bersolidaritas, dan bagaimana gerakan sipil bertahan melalui karya visual yang sinematik.
Ide visual tersebut merupakan gambar yang mudah diingat untuk pemulihan trauma, sekaligus memberi penjelasan bagaimana teror penggusuran bisa hadir di tengah warga Dago Elos, tahap demi tahap.
Dalam gugatan hukum tahun 2016 tersebut warga dikalahkan oleh gugatan yang diajukan oleh Keluarga Muller dan PT Dago Inti graha. Mereka menggugat sebidang tanah waris era kolonial seluas 6.9 hektar yang berdasar kepada surat eigendom verponding bernomor 3740, 3741, dan 3742.
Hukum tersebut seharusnya sudah tak berlaku lagi sejak Indonesia merdeka dan lahirnya UU Pokok Agraria 1960 serta Kepres 32/1979. Undang-undang tersebut mengatur tentang tenggat waktu konversi tanah bekas kolonial untuk menjadi hak milik di tahun 1980.
Tanpa rasa malu, keluarga Muller baru melakukannya di tahun 2016 dan secara misterius dimenangkan oleh hakim di pengadilan. Sangat janggal dan tidak patuh hukum negara.
Selain itu, di tahun 1972, ada 3 surat eigendom verponding yang mencatut 44 bidang lahan yang tercatat milik warga. Artinya sudah ada alas hak berupa sertifikat negara yang dikeluarkan BPN sebagai legitimasi hukum kepemilikan oleh warga sipil.
Lalu, bagaimana mungkin pemerintah bisa mendirikan fasilitas publik berupa terminal angkot dan kantor badan pemerintahan-kantor pos di tanah tersebut? Itu artinya pemerintah juga telah mendapatkan alas hak tanah negara bekas kolonial untuk menjadi aset pemerintah.
Selanjutnya, saling balas gugatan terus terjadi sampai ke tingkat Mahkamah Agung. Pada tahap ini warga memenangkan perkaranya di MA. Namun di kemudian hari, terjadi Peninjauan Kembali atas putusan MA di tahun 2022 yang membuat warga kalah.
Sejak munculnya gugatan dan proses-proses hukum yang dihadapi warga Dago Elos, solidaritas makin tak terbendung. Solidaritas itu akhirnya menciptakan frasa bertahan dan perlawanan yang melekat, “Dago melawan, sabubukna!”
Perjalanan ini kemudian terekam secara artistik dalam berbagai bentuk, salah satunya sinema/film.
Produksi dan pertunjukan film rakyat seperti ini seharusnya terbuka untuk mewujudkan bentuk-bentuk perlawanan lain. Meskipun bentuk kolektif dan perlawanan sipil semacam membuat film, mungkin ada batasnya. Namun seringkali hanya itulah yang bisa dilakukan.
Film ini menciptakan ide visual dengan penambahan fungsi lain. Satu sisi, film ini hendak mendokumentasikan, merayakan, dan menyebarkan adanya perubahan radikal tentang ruang hidup. Di sisi lain, film ini menjadi sarana siasat untuk menegakkan tindakan balasan atas klaim yang menyebabkan niat busuk penggusuran ini terjadi – klaim keluarga Muller atas tanah dengan menggunakan surat di era kolonial.
Aktivasi ruang konflik membuat warga “lebih hidup”, “lebih haneuteun”, merasa ditemani dan tidak sendirian menghadapi ini semua.
Solidaritas sipil membuat hubungan sosial dan ruang hidup menjadi cara untuk bertukar ide, gagasan, pengetahuan, pendidikan, termasuk aktivisme di antara warga. Praktik seni menjadi salah satu upaya yang ditampilkan untuk membungkus itu semua.
Seni memang tidak bisa mengubah sesuatu secara administratif maupun hukum positif, namun seni bisa menjadi pemicu utama untuk mengubah itu semua dengan tekanan kultural warga sipil.
Melalui praktik seni, mulai dari Singa Depok, musik-musik tradisional Sunda, hingga pertunjukan musik-musik underground, memperlihatkan sebuah praktik solidaritas lintas batas, lintas kelas, lintas tongkrongan yang kuat di Dago Elos.
Film ini mencoba berargumen untuk menyodorkan sinema sebagai media perlawanan; media yang merekam berdasarkan tapak sejarah. Bahasa yang digunakan pun cukup menjelaskan sebuah dokumen panjang tentang cara bertahan warga selama dihantui teror penggusuran.
Secara keseluruhan, film dokumenter ini ingin menggambarkan warga kampung kota Dago Elos yang di bawah teror perampasan lahan dan ruang hidup. Film ini mendorong jauh ke belakang untuk kembali mempertanyakan dan menjalankan praktik dalam merebut hak sipil, keadilan ruang hidup, hak asasi manusia, demokrasi, dan supremasi sipil. Semoga!
Penulis: Frans Ari Prasetyo
Editor: Dedi Muis