Categories
Orasi

Awas, Jakarta Kembali Lagi: Resep Neoliberal dalam Omnibus Law

Omnibus Law dan sangkutannya dengan otoritarianisme serta penghancuran demokrasi

Di tengah gelombang pandemi, perampasan, dan perlawanan rakyat yang bergulir di berbagai belahan dunia, beberapa pengurus negara mencuri kesempatan untuk menghantam warganya lewat berbagai produk hukum keamanan nasional. Menyelip di antaranya adalah Indonesia yang tengah menggenjot pengesahan Omnibus Law. Presiden Joko Widodo mengambil kesempatan dalam kesempitan: undang-undang sapu jagat yang akan mengatur berbagai sektor dalam satu payung hukum ini tidak memiliki landasan dalam konstitusi Indonesia, yang menganut sistem civil law. Jokowi pun memanfaatkan kekacauan hasil kegagalan pemerintahan di tengah krisis COVID-19 untuk mengonsolidasikan kekuasaan kembali ke pemerintah pusat, untuk menyegerakan Omnibus Law tanpa partisipasi masyarakat.

Setidaknya ada tiga undang-undang Omnibus Law yang akan dikejar oleh DPR RI di periode 2020: Cipta Kerja, Perpajakan, dan Ibukota Negara—semuanya bertujuan meningkatkan liberalisasi regulasi ekonomi demi menarik investasi asing melalui pelemahan perlindungan  pekerja, sekaligus memperkuat monopoli korporasi atas sumber daya manusia dan alam. Tentu saja, salah satu fungsi utama undang-undang itu adalah untuk mengorbankan kelas pekerja di hadapan program infrastruktur developmentalis Jokowi, alih-alih membantu jutaan warga yang tengah berjuang menghadapi krisis kesehatan dan ekonomi pada pandemi COVID-19.

Strategi sentralisasi kekuasaan untuk menopang reformasi ekonomi liberal ini bukanlah hal baru. Justru, langkah ini mentah-mentah menjiplak pola yang sudah berlangsung sejak lama di Indonesia.

Pada akhir 1960-an, kebijakan ekonomi neoliberal berhasil diterapkan di Indonesia dengan kebangkitan kekuatan Suharto melalui sekelompok ekonom Indonesia lulusan University of California, Berkeley, lewat pendanaan Ford Foundation. Salah satu ekonom dari grup yang disebut sebagai “Mafia Berkeley” ini berbangga diri bahwa mereka memiliki panduan lengkap untuk mengimplementasikan reformasi neoliberal. Metode ini mereka sebut sebagai “buku resep jitu untuk menjawab persoalan perekonomian Indonesia”. Menelan masukan mereka, Suharto pun menerapkan kebijakan-kebijakan neoliberal yang berpusat pada pasar bebas, dan—tentunya—bergantung pada hutang luar negeri, sesuai dengan ajaran Amerika Serikat. Keberhasilan pemberangusan gerakan kiri pun menyentak Indonesia, hingga penerapan kebijakan neoliberal yang nantinya menjelma menjadi rezim sayap kanan menjadi sebuah kelaziman. Kondisi ini membuat resep para mafia ini menjadi metode yang siap digunakan di mana saja. Tak mengherankan bila berselang lima tahun sejak Suharto menjabat sebagai presiden, menjelang kudeta Salvador Allende yang disokong oleh Amerika Serikat terjadi, di Chile muncul sebuah grafiti bertuliskan, “Jakarta akan segera datang!”

Jokowi akhirnya sekali lagi membuka buku resep neoliberal tersebut—Jakarta telah resmi kembali! Pengaruh pemikiran ekonomi neoliberal tidak pernah pudar di Indonesia. Para pengikut Mafia Berkeley terus menduduki posisi berpengaruh dalam pos-pos terpenting di pengurusan ekonomi . Sri Mulyani—mantan Managing Director dan COO Bank Dunia—saat ini menduduki posisi penting sebagai Menteri Keuangan era Jokowi, dan menjadi salah satu agen penting dalam Omnibus Law. Tidaklah mengejutkan bahwa pada periode kedua yang ia sebut tanpa beban, Jokowi teratur menanggalkan topeng pro-demokrasi demi mengejar “pertumbuhan ekonomi”. Pemerintah dan elit pengusaha terus mempromosikan RUU Cilaka sebagai obat mujarab bagi kelesuan ekonomi Indonesia (dan mencapai level terendah dalam tiga tahun terakhir hingga 2019), khususnya dengan melenyapkan “ancaman terhadap investasi”— selubung untuk mengkriminalisasi mereka yang bersuara kritis. Dalam pidato kepresidenannya, Jokowi menyatakan, “Hati-hati, ke depan saya pastikan [penghambat investasi] akan saya kejar, saya kontrol, saya cek, dan saya hajar kalau diperlukan.” Dampaknya sudah terlihat:  keberhasilan ekonomi menurut Jokowi terlaksana lewat hunusan pedang, bukan kotak suara; bukan melalui aspirasi masyarakat, namun melalui militerisasi lex mercatoria—pemerintah pusat memberi komando bagi polisi dan militer untuk melindungi sistem hukum yang dibuat oleh dan untuk kepentingan korporasi semata.

Militerisasi Lex Mercatoria

Undang-undang Cipta (Lapangan) Kerja (atau yang perlu kita sebut RUU Cilaka secara konsisten) adalah salah satu undang-undang dari paket Omnibus Law yang telah memicu banyak perlawanan di Indonesia sejak awal 2020 Jokowi sempat memberikan batas waktu 100 hari pada seluruh lembaga negara terkait untuk membahas 1.028 halaman, 11 klaster, 15 bab, dan 174 pasal di dalamnya. Disusun oleh Satgas yang terdiri dari 127 anggota berisi para industrialis dan perwakilan korporasi serta nihil partisipasi pekerja dan masyarakat.[1] Isinya dari pun hanya berpihak pada kepentingan korporasi: relaksasi pajak bagi perusahaan untuk menarik lebih banyak investasi, deregulasi, dan pemeliharaan rezim pasar tenaga kerja fleksibel[2] dengan menghilangkan biaya tenaga kerja yang dianggap tinggi—semuanya diposisikan sebagai penghambat terbesar dalam kemudahan proses bisnis (“ease of doing business). Menurut matriks Bank Dunia, Indonesia berada di peringkat 73 pada 2019, sementara Jokowi berambisi untuk mencapai posisi 40 besar.

Maka, RUU Cilaka, alih-alih menciptakan lapangan kerja, justru akan menempatkan kelas pekerja dalam kondisi yang jauh lebih rentan. Dilengkapi slogan “easy hiring, easy firing”, RUU Cilaka akan memberikan keleluasaan bagi korporasi untuk memecat pekerja tanpa kompensasi maupun upaya hukum. RUU ini juga akan memungkinkan pekerja seumur hidup berstatus kontrak dengan upah kerja per jam nir-regulasi, serta melegalkan kerja selama 12 jam sehari dan 6 hari dalam seminggu. PHK massal, yang terus meningkat selama pandemi, juga akan menjadi lumrah jika RUU Cilaka disahkan.

Hasrat untuk memenuhi kepentingan elit korporasi lewat deregulasi dengan kecepatan berbahaya ini telah dan akan terus berujung pada kerusakan ekologis besar-besaran. Di RUU Cilaka, kewajiban AMDAL yang selama ini telah bobrok dan korup, tidak akan lagi menjadi kewajiban terutama untuk kategori “bisnis berisiko rendah”—kategori yang pengertiannya sangat sewenang-wenang.

Hal ini akan menghancurkan tanah-tanah adat, hutan, area pesisir, pulau-pulau kecil, dan berbagai area yang dianggap “kaya sumber daya” di sepanjang nusantara melalui bab Minyak dan Gas Bumi, Panas Bumi, Bank Tanah dan berbagai bentuk privatisasi atas sumber daya alam lainnya yang tercantum dalam RUU Cilaka[3].

Indonesia memang telah lama mengorbankan daya tahan ekologis demi keuntungan korporasi. Baru-baru ini, UU Minerba, yang memberikan lebih banyak kuasa dan lebih sedikit kewajiban bagi perusahaan tambang, telah disahkan oleh DPR di tengah pandemi, pada Mei 2020.

Omnibus Law mempertontonkan bahwa Indonesia telah mencapai tahap lex mercatoria termutakhir, yakni dibuatnya produk hukum oleh korporasi untuk melayani diri mereka sendiri. Namun, kebangkitan bencana kembar otoritarianisme dan neoliberalisme terjadi jauh sebelum 2019.

Naiknya Suharto sebagai presiden yang mengawali Orde Baru[4] dengan bantuan Amerika Serikat telah mengantarkan kemenangan bagi para raksasa bisnis: mulai dari kesepakatan pemerintah dengan perusahan tambang asal AS Freeport yang memperluas penjajahan atas Papua Barat sejak 1967 hingga sekarang[5], hingga ditandatanganinya Letter of Intent (LOI) bersejarah dengan International Monetary Fund (IMF) pada 1998, deregulasi neoliberal pun menjadi haluan utama bagi Indonesia selama puluhan tahun.

Terlepas dari euforia demokrasi usai digulingkannya Suharto, lima presiden yang menjabat setelahnya hanya berfungsi untuk menutupi sisa-sisa otoritarianisme yang telah menyebar dari satu tokoh sentral ke sekelompok oligark yang sangat kuat—tidak sedikit dari mereka yang memperoleh kekuasaan dari 32 tahun kediktatoran Suharto.

Tentunya, Omnibus Law akan membawa Indonesia semakin jauh dari  demokrasi. Pasalnya, untuk mengakselerasi penerapan RUU Cilaka, pasal 170 telah memberikan kuasa bagi Pemerintah Pusat untuk mengubah pasal maupun undang-undang lain yang belum diatur oleh Cilaka. Hal ini bukan hanya inkonstitusional,[6] tapi yang lebih parah, mengkhianati agenda demokrasi Indonesia dengan memberangus otonomi Pemerintah Daerah—salah satu hasil perjuangan besar semasa Reformasi. Sepanjang spektrum kapitalisme otoritarian hingga neoliberalisme demokratis ini, lex mercatoria, hukum gerak pasar, juga turut beradaptasi.

The Jokowi Chapter“: Sentralisasi Kuasa dan Kriminalisasi Warga

Tahap terbaru dari lex mercatoria yang tertuang dalam Omnibus Law telah menunjukkan bahwa pengurus negara dan aktor korporasi akan melakukan apapun untuk mengakumulasi kapital melampaui batas-batas administrasinya. Bagi Indonesia, ini berarti menarik modal asing dengan cara apapun. Negara, dalam hal ini, hanya bertindak sebagai administrator penyedia perangkat hukum, sekaligus mempersenjatai milipol untuk memastikan operasi kapital berjalan mulus.

Dengan membidik masuknya modal asing, maka tidak mengejutkan melihat jejak para elit kapitalis global dalam Omnibus Law. Strategi Omnibus Law jelas-jelas mengadaptasi strategi reformasi struktural khas Bank Dunia, yang pada dasarnya membuka kembali resep neoliberal karangan Mafia Berkeley kepada Suharto. Jokowi memang bertemu Bank Dunia sebulan sebelum menyebutkan “omnibus law” untuk pertama kalinya dalam pidato kepresidenannya.

Pengaruh AS tak hanya sampai di situ. Pada 2018, Amcham (American Chamber of Commerce/Kamar Dagang Amerika-) Indonesia dan Kamar Dagang Amerika Serikat berkolaborasi menggarap sebuah laporan yang didesain begitu apik mengenai masa jabatan Jokowi yang pertama dan memberikan subjudul “The Jokowi Chapter”. Sudah menjadi rahasia umum, dan sebagaimana diiklankan dalam laporan tersebut, banyak korporasi multinasional yang merespon positif korporatisme yang dianut Jokowi. Managing Director Chevron Indonesia menyebutkan, “Meskipun jelas masih ada daftar panjang PR yang harus diperbaiki di Indonesia… pemerintahan Joko Widodo bukanlah masalah, melainkan sebuah solusi.”

“Hal-hal yang harus diperbaiki” di Indonesia menurut para perusahaan multinasional ini termasuk persoalan “efisiensi pasar tenaga kerja” dan sistem ekonomi yang dianggap tidak cukup terbuka, hingga menyebabkan berpindahnya banyak perusahaan ke negara tetangga seperti Vietnam. Tidak sulit untuk melihat bahwa laporan ini menjadi landasan Omnibus Law dengan pernyataan, “Kami menantikan kerjasama yang terus berlanjut dengan pemerintahan selanjutnya, yang kami harapkan dapat sesegera mungkin memprioritaskan penyesuaian hukum, memperbaiki koordinasi antar badan pemerintah, dan mengharmonisasi berbagai regulasi—yang kesemuanya dapat mendorong peningkatan kepastian regulasi yang tentunya dibutuhkan oleh investor untuk berkontribusi bagi pertumbuhan Indonesia.”

Jokowi pun berniat memenuhi keinginan korporasi-korporasi tersebut. Sebagaimana para pendahulunya, Jokowi telah bersengkongkol bukan hanya dengan elit ekonomi dan politik tapi juga dengan militer dan polisi. Sementara janji penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu pada masa pemerintahan pertama tetap tidak jelas nasibnya, pelanggaran HAM baru terus menumpuk di bawah spanduk developmentalisme. Warga pun terus mengalami kriminalisasi: aktivis pro-demokrasi, anggota serikat buruh, petani, dan minoritas gender serta agama—semuanya direpresi kekerasan aparat, sementara perlawanan masyarakat adat di daerah kaya sumber daya seperti Papua Barat, misalnya, mengalami perluasan represi militer.

Militer-polisi (milipol) telah lama berkuasa dalam sejarah Indonesia. Sejak 2004, TNI dan POLRI telah bekerjasama, terlepas dari persaingan saudara kandung mereka, untuk menjaga “obyek vital nasional”—sebuah kuasa yang diberikan pada rezim mantan presiden Megawati Soekarnoputri. Pengertian yang samar “obyek vital nasional”[7] telah memberikan kelonggaran bagi milipol di bawah rezim Jokowi untuk menghajar warga yang mereka anggap melawan dan mengancam bisnis-bisnis privat serta program infrastruktur pemerintah.

Pada Januari 2020, Jokowi memerintahkan Kapolri dan Badan Intelijen Negara untuk “mendekati” organisasi yang menolak Omnibus Law. Sebulan kemudian, sekelompok massa tak dikenal mengepung sekretariat Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), salah satu organisasi yang menolak Omnibus Law. Para pelajar juga mengalami intimidasi ketika diskusi penolakan terhadap Omnibus Law mereka dibubarkan oleh polisi.

Pada demonstrasi menolak Omnibus Law yang berlangsung pada Juli lalu, polisi menangkap setidaknya 150 demonstran dari berbagai wilayah di Indonesia. Mereka yang menyatakan penolakannya secara daring juga menjadi target dari UU ITE. UU ini meregulasi percakapan daring di bawah payung “penghinaan, fitnah, dan provokasi”. Potensi tuduhan pencemaran nama baik berdasarkan KUHP dan KUH Perdata juga turut meredam wacana daring. Tak  hanya itu, pada Juli 2020 Jokowi mengeluarkan peraturan yang memindahkan BIN untuk bekerja langsung di bawah Presiden.[8]

Polisi dan militer pun memiliki andil besar dalam berbagai aspek dalam megaproyek Ibukota Negara (IKN), yang diatur dalam Omnibus Law tentang Ibukota Negara. Mereka yang terlibat sudah bisa ditebak—purnawirawan polisi dan militer, serta para politisi dan aktor korporasi pemain properti—yang mengepalai berbagai perusahaan penerima akses atas 162 konsesi lahan untuk pertambangan, hutan, perkebunan sawit, dan PLTU.[9]

Seperti yang sudah bisa diduga, hubungan ekonomi Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok di bawah pemerintahan Jokowi juga semakin mapan. Seperti banyak negara berkembang lain, salah satu sumber investasi asing yang paling dicari oleh rezim pengurus negara Indonesia adalah melalui Belt and Road Inisiative (BRI). Omnibus Law sendiri juga mengadopsi model padat karya dalam reformasi pembangunan RRT. Berbekal enam proyek yang sedang berjalan di bawah BRI, Indonesia menyasar investasi China senilai 91 Milyar Dolar AS yang tersebar lewat 28 proyek di sekujur kepulauan nusantara. Omnibus Law akan memberi keleluasaan bagi proyek-proyek semacam ini.

Peta konsesi lahan oleh berbagai perusahaan di ibukota negara baru di Kalimantan Timur. Data oleh Jaringan Advokasi Tambang/JATAM

Sementara, di Pulau Jawa, kawasan industri milik negara bernama Kawasan Berikat Nusantara (KBN) di Cakung, Jakarta Timur, didominasi oleh para konglomerat Korea Selatan. Wilayah yang dikategorikan sebagai “obyek vital nasional” ini kebal dari protes dan mogok karena berada di bawah lindungan militer.[10]

Rakyat Indonesia Tidak Sendirian

Rakyat Indonesia sudah memahami tahap  “Jokowi Chapter” selanjutnya. Dengan mempromosikan privatisasi dan monopoli korporasi besar-besaran lewat deregulasi untuk menarik investor asing, pemerintah mendaur ulang kebijakan-kebijakan celaka dari Mafia Berkeley di balik narasi “pertumbuhan ekonomi”. Sementara keuntungan dari investasi asing ini hanya akan masuk ke kantung-kantung oligarki, denganskema ekonomi trickle-down Reaganis yang digunakan untuk memikat banyak orang melalui bualan “lebih banyak investasi asing = lebih banyak lapangan pekerjaan.”

Ketika politik neoliberal dan otoritarianisme berjalan beriringan, maka penting bagi kapitalisme global untuk membangun “kondisi darurat” yang seirama untuk mengecoh rakyat dari krisis kapitalisme. Pandemi global yang tengah berlangsung menaungi penyamaran tersebut. Perubahan rezim yang penuh kekerasan dan disokong oleh kekuatan asing demi melayani pasar bebas telah dipelopori di Indonesia—dan akan selalu bisa digunakan kembali di mana pun juga.

Saat ini kita menyaksikan gelombang baru dari “kekuatan darurat” di berbagai wilayah di Asia untuk mengimplementasikan perundangan terkait keamanan nasional. UU Anti-Teror Filipina memiliki banyak kemiripan dengan UU Keamanan Nasional Beijing yang diterapkan di Hong Kong: keduanya mengkriminalisasi warga dengan buas melampaui batas negara. Krisis yang tengah dihadapi Thailand juga berjalan beriringan dengan rezim militer dan pemerintahan otoritarian. Dengan Omnibus Law yang bergerak maju di bawah momok yang dihidupkan kembali oleh Mafia Berkeley serta militerisasi lex mercatoria, Indonesia niscaya akan bergabung dengan kondisi darurat tersebut.

Bersengkongkolnya pemerintahan pusat dan korporasi dalam mendorong Omnibus Law telah membuktikan bahwa ancaman terhadap demokrasi tidak terjadi di ruang hampa. Sementara sejumlah aktivis & organisasi penentang Omnibus Law lebih banyak berfokus pada bagaimana suramnya legislasi dan ketiadaan akuntabilitas adalah preseden buruk bagi lanskap politik Indonesia, penting bagi kita untuk memahami bahwa kapitalisme dan demokrasi akan selalu saling menyokong penindasan satu sama lain. Untuk bisa secara efektif mengatasi masalah yang melanda Indonesia, kita perlu memerangi masalah ideologis ekonomi dan politik bersamaan.

Kelas pekerja Indonesia tidak sendirian dalam perjuangan ini. Negara kapitalis otoritarian secara oportunistik memusatkan kekuasaan untuk mengancam perjuangan dan kemenangan buruh serta aktivis pro-demokrasi melalui cara-cara otoriter. Agar dapat melawan celakanya masa depan Indonesia, yakni ditundukkannya kelas pekerja demi kepentingan perusahaan multinasional raksasa yang didorong oleh Jokowi, kita harus terus membangun front kelas pekerja internasional—sebuah internasionalisme baru yang melampaui batas-batas negara.***

Pertama kali diterbitkan dalam bahasa Inggris dengan judul “Jakarta is returning: The ‘neoliberal cookbook’ that guides Indonesia’s Omnibus Bills”, diterbitkan oleh Lausan.

Ditulis oleh Mariyah L. M. dan JN.

Diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Wening.

[1] Sejumlah konfederasi serikat pekerja sempat diundang dalam “pembahasan” di kemudian hari namun kemudian mereka menarik diri setelah menimbang hal tersebut hanya untuk memenuhi formalitas “partisipasi pemangku kepentingan” semata. Namun, pada akhir Juli 2020, beberapa dari konfederasi tersebut kembali berpartisipasi dalam sesi “guyub rukun” bersama Kementerian Ketenagakerjaan untuk membahas RUU Cilaka.

[2] Pengertian “daya saing ekonomi” telah dipersempit menjadi sekadar perlombaan adu-murah tenaga kerja di antara berbagai negara berkembang di Asia Tenggara. Upah per jam tanpa besaran minimum diincar oleh para korporasi yang terus membandingkan biaya buruh Indonesia dengan Vietnam dan Thailand.

[3] Bahkan tanpa RUU Cilaka, telah terjadi 2.047 konflik agraria di seluruh Indonesia terkait proyek infrastruktur pada 2015-2019 menurut Konsorsium Pembaruan Agraria.

[4] Jenderal Suharto naik ke tampuk kekuasaan setelah kudeta berdarah dan pembantaian massal yang didukung oleh CIA pada 1965-1966 lewat Operasi Jakarta. Operasi Jakarta ini kemudian dicoba di berbagai negara lain, seperti: Chile, El Salvador, Nikaragua, Brazil, dan lainnya.

[5] Kontrak dengan Freeport ini ditandatangani hanya 3 bulan setelah UU Penanaman Modal Asing disahkan pada Januari 1967, namun invasi Indonesia terhadap Irian telah dimulai sejak 1962 di bawah Perjanjian New York.

[6] Menurut UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Peraturan Pemerintah tidak bisa mengubah Undang-Undang.

[7] Pasal 1: Obyek Vital Nasional adalah kawasan/lokasi, bangunan/instalasi dan/atau usaha yang menyangkut hajat hidup orang banyak, kepentingan negara dan/atau sumber pendapatan negara yang bersifat strategis. Pasal 2: Obyek Vital Nasional yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 harus memenuhi salah satu, sebagian atau seluruh ciri-ciri sebagai berikut: a. menghasilkan kebutuhan pokok sehari-hari; b. ancaman dan gangguan terhadapnya mengakibatkan bencana terhadap kemanusiaan dan pembangunan; c. ancaman dan gangguan terhadapnya mengakibatkan kekacauan transportasi dan komunikasi secara nasional; dan/atau d. ancaman dan gangguan terhadapnya mengakibatkan terganggunya penyelenggaraan pemerintahan negara.

[8] Pendekatan otoritarian untuk melindungi lex mercatoria ini mirip dengan yang terjadi selama protes di September 2019 ketika ribuan orang turun ke jalan untuk melawan UU drakonian (revisi KUHP, RUU Minerba, RUU Ketenagakerjaan, Revisi UU KPK, RUU Pertanahan, dan lainnya). Dalam aksi nasional terbesar setelah Mei 1998 tersebut, polisi menggunakan water cannon, gas air mata yang sudah kedaluwarsa, dan peluru karet untuk melumpuh massa aksi. Di seluruh Indonesia, belasan peserta aksi harus dilarikan ke rumah sakit, dan lebih dari 1.000 peserta aksi ditangkap polisi (beberapa diduga mengalami penyiksaan), sementara 5 dari mereka (3 di antaranya masih remaja) dibunuh: Maulana Suryadi (23), Immawan Randi (21), Yusuf Kardawi (19), Akbar Alamsyah (19), Bagus Putra Mahendra (15).

[9] Megaproyek IKN telah banyak dipromosikan untuk menarik investor asing dari Amerika Serikat, China, Jepang, Korea Selatan, dan berbagai negara lainnya—sementara Putra Mahkota Uni Emirat Arab Sheikh Mohamed bin Zayed (MBZ) telah diangkat menjadi Dewan Pengarah bagi IKN, bersama Masayoshi Son dari Softbank dan Tony Blair sebagai anggotanya.

[10] Sementara di Indonesia bagian timur, China memiliki investasi sebesar 10 Milyar Dolar AS lewat proyek nikel PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Teluk Weda, Halmahera, Maluku melalui Tsingshan, Huayou, and Zhenshi yang memicu konflik agraria serta kehancuran ekologis.