Categories
Orasi

Aa Pasti Pulang

Anda tak akan pernah tahu arti ‘pulang’ sebelum betul-betul mencecap kehidupan yang jauh dari keluarga atau orang-orang terdekat. Mereka semua, keluarga-teman-sahabat, adalah sosok yang membuat hidup ini tak terasa asing untuk dijalani. Rasa asing yang acap didapat di tanah perantauan, di tempat yang berada amat jauh dari mereka. 

Bagi buruh migran keterasingan itu lebih sering menjebak. Mereka meninggalkan tanah kelahiran. Meninggalkan sosok-sosok yang mendampingi perjalanan hidup mereka. Menyelami bahasa dan kebiasaan yang serba baru di tanah seberang. Demi menyambung hidup. Memperbaiki ekonomi atau membangun karir.

Seperti dua bulan yang lalu. VOA Indonesia merilis sebuah video yang salah satunya menampilkan beberapa orang sedang duduk bersila. Yang laki-laki bertelanjang dada, sementara yang perempuan menggunakan kaos oblong. Dari raut wajah yang terekam kamera, mereka semua tampak kelelahan.

VOA Indonesia menerangkan bahwa mereka semua adalah korban kerja paksa asal Indonesia yang terjebak di Myawady, Myanmar. Beberapa foto yang disisipkan dalam video menunjukkan bekas luka di bagian tubuh akibat dipukul atau disetrum. Kata salah seorang penyintas dalam video tersebut, majikan menyiksa mereka karena gagal memenuhi target dan dipaksa bekerja 18-20 jam sehari.

Saya bertemu Yuli di Taman Cikapayang, Dago, Bandung. Di sela aksi kemah solidaritas untuk Palestina ia bercerita. Wildan, kakaknya, rupanya menjadi salah satu dari lima korban asal Indonesia yang masih disekap di Myanmar dan tak kunjung bisa pulang.

Melalui kontak dengan salah satu korban yang satu kamar dengan Wildan, Yuli mengetahui bahwa tubuh kakaknya itu semakin kurus. Kabar itu bisa berarti dua hal. Pertama, kerja paksa pasti membuat tubuh Wildan itu makin tergerus. Kedua, masih ada kesempatan memulangkan kakaknya dalam keadaan hidup.

Pulang bagi para korban kerja paksa berarti kesempatan untuk merengkuh apa-apa yang telah direnggut dari mereka: kebebasan, rasa aman, serta martabat sebagai manusia seutuhnya. Sedang bagi keluarga, kepulangan para korban artinya bersatu kembali dengan orang yang mereka cintai, mengobati luka-luka batin, dan memulai proses penyembuhan bersama.

Hari ketika saya bertemu dengannya adalah upaya kesekian kali dari Yuli untuk memulangkan Wildan dengan cara mengajak orang-orang bersolidaritas kepada para korban kerja paksa di Myanmar.

“Karena perdagangan orang di Indonesia ini bukan dianggap sebagai suatu tindak kriminal yang cukup serius untuk segera dituntaskan gitu. Sedangkan tindak perdagangan orang ini semakin banyak korbannya,” terang Yuli.

Yuli dan keluarga lain saya kira paham betul bahwa upaya pemulangan para korban hanya bisa dilakukan oleh entitas yang memiliki sumberdaya dan kewenangan untuk itu. Dan sebagai negara, Indonesia memiliki amanat untuk mengerahkan seluruh daya dan kapasitasnya guna menjadikan kasus ini sebagai prioritas.

Sebagai bangsa yang dikoloni selama lebih dari 300 tahun. Keinginan untuk melindungi segenap tumpah darah dan mencipta kehidupan yang merdeka, dicantumkan oleh para pendiri negara dalam amanat UUD 1945 yang pembukaannya dirapalkan oleh para pejabat di setiap Senin pagi sambil berdiri menghadap bendera.

Tapi sebagaimana kepalsuan lain yang lazim diperagakan oleh para pejabat di negeri ini, setelahnya para pejabat itu kembali duduk, berbincang dalam bahasa beradab, namun diam-diam berkhianat terhadap amanat undang-undang.

Semua tindak-tanduk dan laku tersebut, belakangan bisa dengan mudah kita jumpai di media sosial. Maka, jangan heran jika orang-orang kini menjadikan media sosial sebagai tempat mereka mengadu. Ketimbang mempercayai komitmen para pejabat, konten viral di media sosial jauh lebih bisa diandalkan

Sebelum Yuli bertemu dengan keluarga korban kerja paksa lainnya di Solidaritas Jerat Kerja Paksa, ia pernah seorang diri mengurus berbagai dokumen, mengumpulkan berbagai bukti untuk melaporkannya ke sejumlah instansi. 

Ada beberapa kantor lembaga yang ia datangi pada pelaporan yang dilakukan pada akhir 2022 itu. Lembaga tersebut di antaranya Disnaker Bandung Barat, Balai Pelayanan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) Jawa Barat, Bareskrim Polda Jabar, Perlindungan Warga Negara Indonesia (PWNI), Kementerian Luar Negeri sampai Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Yuli memang tidak menceritakan bagaimana detail proses yang ia tempuh di sejumlah instansi tersebut. Ia tak ingat. Tapi, saat Yuli menyampaikan proses tersebut, bayangan tentang persyaratan yang berbelit, sikap ketus pegawai instansi pemerintah serta perasaan jengkel ketika menunggu, mengusik benak saya. Saya kira, istilah “no viral, no justice,” sebagaimana yang dicuitkan para netizen di media sosial benar adanya. 

Rupanya, kecurigaan saya cukup valid. Yuli bilang, tak ada satu pun jawaban dari lembaga tersebut yang membuat keluarga korban tenang.

Respon yang cukup gesit justru muncul pasca video ancaman kepada para korban kerja paksa di Myanmar beredar di media sosial. Tak kurang dari 46 jam, pihak Badan Perlindungan Pekerja Migran (BP2MI) lantas menghubungi Yuli dan mengajak ia, serta korban lainnya untuk bertemu di kantor pusat mereka di Pancoran, Jakarta Selatan pada awal 2023.

“Kami datang dengan harapan bahwa pemerintah Indonesia dapat memberikan bantuan dan perlindungan bagi anggota keluarga kami yang menjadi korban kerja paksa di Myanmar,” terang Yuli saat menjelaskan momen ia dan keluarga lainnya mendatangi BP2MI pusat.

Sama seperti kebanyakan lembaga-lembaga lain. Saya kira, harapan itu, keberhasilannya bergantung 100 persen pada seberapa besar tekanan yang diberikan pada lembaga tersebut. Serupa itik-itik yang pulang saat petang menuju kandang. Lembaga-lembaga negara itu perlu dikawal, guna memastikan mereka berjalan ke arah yang semestinya. Harapan minimum itu saja sudah membikin kita, kaum yang tak memiliki apa-apa ini merasa setengah frustasi untuk menuntut apa yang menjadi hak kita.. 

Apa yang dilakukan Yuli dan keluarga korban lainnya tak perlu lagi kita sangsikan kebenaran dan urgensinya. Tanpa memastikan laporan-laporan mereka terima, kasus kerja paksa ini saya kira akan dianggap serupa keluhan lain. Seperti listrik, air dan jalan yang tak pernah dianggap serius dan berakhir tanpa pernah diurus. Tapi, respon yang muncul dari instansi tempat mereka mengadu nyatanya jauh lebih buruk. 

Menurut pengakuan Yuli, setiba mereka di kantor ‘perlindungan pekerja migran’, tak ada sama sekali perlindungan yang ditawarkan. Laporan yang sebelumnya telah disiapkan teronggok begitu saja tanpa pernah disentuh oleh staf BP2MI pusat.

“Udah begitu dia (staf BP2MI) datang dengan bertolak pinggang dan langsung menceramahi kita semua. Kata dia, para pekerja migran itu banyak kok yang sukses, tapi diem-diem aja. Baru ketika ada masalah mereka datang ke kita (BP2MI),” jelas Yuli.

Merasa direndahkan, Yuli meninggalkan ruangan sambil membawa amarah yang rupanya masih ia rasakan hingga saat kami berbincang di malam Solidaritas Palestina.

“Harus gimana lagi kami? Harus ke mana lagi kami?”

Perasaan nyaris frustasi, dan keengganan untuk berharap lebih adalah respon yang cukup lumrah jika menyangkut pelayanan publik di negara ini. Menurut Survey dari Populi Center yang dipublikasikan oleh databoks.katadata.co.id pada tahun 2021, mengungkapkan bahwa pelayanan publik di Indonesia masih banyak dikeluhkan oleh masyarakat. Dari 1.200 orang yang menjadi responden dalam survey tersebut 3,6% di antaranya mengatakan bahwa pelayanan yang diberikan oleh lembaga negara tidaklah responsif. Sedang 2,7% di antaranya menyatakan bahwa pelayanan yang diberikan oleh para pengurus publik tidak ramah.

Memang, persoalan pelayanan publik di negara ini ibarat sebuah gunung es. Itu hanyalah permukaan dari sejumlah masalah laten lain yang dipicu oleh kebijakan negara yang tidak berpihak kepada rakyat. Ambil contoh saja kebijakan yang baru-baru ini diwacanakan pemerintah seperti TAPERA. Jika Anda adalah bagian dari banyaknya pekerja dengan upah lebih sedikit, atau bahkan kurang dari Upah Minimum, tentu tak sulit untuk mengutuk kebijakan ini sebagai beban lain yang membuat kita meringis ketika mengingat fakta bahwa kita dilahirkan di negara ini.

Apa jadinya jika Anda adalah seorang yang dilahirkan dari keluarga yang kondisi ekonominya biasa-biasa saja. Tinggal di kota pinggiran dengan akses pendidikan dan layanan publik lain yang seadanya. Untuk dapat hidup, bekerja mungkin satu-satunya cara yang lumrah untuk hidup dengan harapan memperbaiki ekonomi keluarga. Itulah kenapa memiliki pekerjaan dengan upah sedikit lebih besar dan kondisi yang lebih layak adalah sebuah impian–yang saya kira–dicita-citakan oleh semua orang. Tidak muluk-muluk, bukan juga perbuatan yang takabur. Dan selayaknya penduduk dari sebuah negara, itu adalah hak yang seharusnya dipenuhi oleh mereka yang mengurus pemerintahan.

Dari penuturan Yuli, pasca Wildan lulus kuliah, kakaknya itu langsung melamar ke salah satu Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) di Sukabumi. Wildan tertarik pada iklan penyaluran tenaga kerja ke perusahaan perakitan elektronik di Korea Selatan. Harapan untuk bisa memperbaiki ekonomi keluarga jadi alasan pemuda ini akhirnya mendaftar di tahun 2017.

Di tempat tersebut Wildan dibekali berbagai keterampilan sebagai pekerja. Salah satunya adalah kemampuan berbahasa Korea. Selayaknya bisnis penyaluran tenaga kerja, setiap peserta akan dikenai pungutan biaya. Yuli tidak ingat berapa nominal yang saat itu mesti disetorkan untuk biaya pelatihan. Namun, jika ditotal dengan biaya pembuatan paspor, visa dan urusan administrasi keberangkatan lain, jumlahnya mencapai Rp30 juta. Terpaksalah Wildan meminta bantuan adik dan orang tuanya untuk menyediakan dana.

Tapi dengan jumlah uang yang ia setorkan, Wildan tidak serta merta cepat berangkat ke Korea Selatan. Lama ia dan keluarganya menunggu panggilan keberangkatan. Tahun 2018, 2019, 2020 dilewati Wildan dengan sesekali menanyakan kepastian kapan ia berangkat. Di medio 2021, pihak LPK akhirnya menghubungi Wildan. Menanyakan, apakah ia tetap akan berangkat ke Korea Selatan. Dengan proses yang telah ia tempuh, kesempatan ini tentu tak akan disia-siakan. Kakak dari dua orang adik ini lantas menyanggupi tawaran LPK yang rupanya memberangkatkan Wildan ke Thailand terlebih dahulu.

“Katanya perusahaan perakitan elektronik di Korea itu kuotanya masih penuh. Jadi kakak ditempatin di cabangnya di Thailand selama tiga bulan,” terang Yuli. 

November 2022, Wildan akhirnya berangkat ke Thailand. Dengan bayangan bahwa negeri gajah putih itu akan jadi batu loncatannya menuju Korea Selatan.

Saya coba membayangkan momen-momen yang dilalui Wildan ketika proses keberangkatannya menuju Thailand. Dalam penantiannya di bandara, barangkali Wildan merasa gugup bercampur semangat. Meski Thailand bukanlah destinasi yang direncanakan bertahun-tahun yang lalu, tapi tetap saja pekerjaan yang dijanjikan di negara tersebut jauh lebih baik ketimbang di tempat asalnya.

Jika menggunakan hitung-hitungan Upah Minimum dan Biaya Rata-rata di negara tersebut, Thailand adalah negara dengan upah minimum yang jauh lebih tinggi dari Indonesia. Rata-rata upah minimum di Thailand setara dengan Rp8,9 juta perbulan. Sementara rata-rata biaya hidup minimal di Bangkok hanya berjumlah Rp4,3 juta perbulan. Maka dapat untuk diartikan, bahwa setengah dari upah minimum di sana sudah memenuhi standar minimal kehidupan layak.

Sementara di Sukabumi jumlahnya berbanding terbalik. Hitung-hitungan dari buruh-buruh berbagai sektor industri di beberapa kota yang berhimpun dalam Komite Hidup Layak pada September-Oktober 2023 menunjukan jumlah yang jomplang antara pengeluaran dan upah. Untuk Kota Sukabumi, Total Rata-Rata Pengeluaran Makanan Ditambah Non-Makanan Selama 1 Bulan bisa mencapai Rp9.326.467,59. Sementara upah minimum kota tersebut pada 2023 hanya sebesar Rp 2.747.774.

Perbandingan kasar itu saya kira akan membuat banyak tenaga kerja Indonesia tergiur. Barangkali, dengan mengetahui jumlah upah itu pulalah Wildan sesekali tersenyum. Membayangkan bahwa rencana-rencananya akan membuahkan hasil dan perlahan memperbaiki ekonomi keluarga. 

Di ketinggian, di balik kaca kabin pesawat, kota kelahirannya itu perlahan mengecil dan menjauh. Meninggalkan kenangan, dan harapan keluarga yang kini ia pikul menuju Thailand, tempat persinggahannya selama tiga bulan sebelum menuju Korea Selatan.

Menurut Ricky Setianwar dalam cerpennya yang berjudul Ode Kota Penawar Harapan, harapan, katanya hanyalah semangkuk wadah untuk menabur butir-butir mimpi atas segala yang didamba, bukan sebentuk kepastian.

Meski ada sebentuk kepastian akan peningkatan taraf kehidupan yang ditawarkan di negeri seberang, hari-hari depan yang dihadapi oleh para rombongan migran di perantauan toh tetap samar-samar juga. Negara dengan orang-orang, bahasa dan kebiasaan yang asing itu, adalah wadah untuk menabur butir-butir mimpi atas segala yang didamba para rombongan migran dari tempat asal mereka. Tak satupun dari rombongan yang tahu apa saja yang akan menanti mereka selepas mendarat di Thailand. 

Dari apa yang diceritakan Wildan kepada Yuli, diketahui bahwa selepas rombongan pekerja migran tiba di Thailand, mereka dibawa ke sebuah hotel. Di sana mereka lantas dijemput paksa oleh sejumlah orang yang menentang senapan laras panjang.

Mengetahui itu, Yuli meminta kakaknya untuk segera mengirimkan koordinat lokasi. Dari situlah keduanya lantas mengetahui bahwa Wildan rupanya sudah berada di Myawady, Myanmar. 

Di sana, Wildan dan rombongannya dipaksa bekerja untuk memeras orang-orang Eropa dan Amerika agar mau mengirimkan sejumlah uang dengan dalih berinvestasi di sebuah perusahaan yang juga tak jelas juntrungannya

Selama berada di neraka kamp kerja paksa itu, Wildan mengaku kepada Yuli bahwa ia  dipaksa bekerja memenuhi target untuk menelpon 100 orang setiap harinya selama 19 jam dengan hanya diberi waktu 30 menit untuk beristirahat.  .

“Kalau kakak ga bisa memenuhi target, dihukum, dipukul, bahkan disetrum,”

Yuli masih ingat, dulu ketika kakaknya itu menanti keberangkatan ke Korea Selatan, Wildan justru lebih memilih jadi guru honorer dan menolak tawaran bekerja di bank. Padahal, kakaknya saat itu hanya diupah 600-700 ribu per bulan.  Alasannya karena tak mau menerima uang Riba.

“Kebayangkan kan penolakannya sekarang gimana,”

Semua orang tentu punya prinsip di hidupnya. Melalui prinsip yang ia pegang, mereka menavigasikan hidupnya, menentukan langkah apa yang akan dan tidak mereka ambil untuk hari depan. Tapi, kita tahu bahwa hidup ini dipenuhi oleh segala macam keruwetan. Kadang-kadang jalan yang kita lalui lempang-lempang saja, seakan tujuan itu hanya tinggal kita raih tanpa perlu menanggalkan apa-apa yang penting di hidup kita, termasuk prinsip. Tapi, jalan yang mulus itu juga mahal harganya, bagi saya dan banyak orang lain yang lahir tanpa privileges. Dan bagi mereka yang punya kelapangan hati untuk tidak melulu berkeras pada ideal-ideal di hidupnya, saya sangat menaruh hormat sedalam-dalamnya. Sebab hidup di bawah sistem ekonomi-politik macam ini adalah juga artinya kita mesti punya segala macam siasat untuk bertahan dalam kompetisi yang entah untuk apa. Hanya untuk sekedar menambal kebutuhan atau bertahan hidup hari ke harinya.

Apa boleh buat. Saat ini Wildan mau tak mau harus melakukan pekerjaan yang sama sekali tak diinginkannya. Menurut Yuli, satu kali teman sekamar Wildan membangkang. Lelah karena harus terus menerus memenuhi target dan jam kerja yang tak masuk akal. Tapi kala itu yang menderanya bukan lagi pukulan atau sengatan listrik. Melainkan todongan senjata.

Itulah mengapa, saat ini yang dilakukan Wildan adalah terus bekerja untuk terus bertahan hidup. Meskipun artinya sesekali ia akan kena pukulan, atau kena sengatan listrik. Dan saat-saat hal itu terjadi, Wildan hanya bisa menyimpan ceritanya rapat-rapat. Ia tak mau keluarga di kampung halaman dibebani dengan cerita-cerita mengerikan yang ia alami.

“Dia tuh orangnya ga mau ngebebanin keluarga. Jadi dia cuma jelasin, urang geus teu kuat didieu. Dipaksa ngagawean naon nu teu dipikahayang ku urang. Tapi urang kudu hirup didieu. (Aku sudah tidak kuat di sini. Dipaksa mengerjakan apa yang tidak aku inginkan. Tapi aku harus terus hidup),”

Sambil berderai air mata, Yuli bercerita bahwa ketika Wildan ditanyai hukuman apa saja yang sudah didapatnya, kakaknya itu tampak berusaha menutup-nutupi dan justru berusaha menenangkan Yuli yang juga menangis saat itu.

“Teu kudu dipikiran, urang disetrum make baju lapis da. Jadi pas ditsetrum teu karasa. (Gausah dipikirin, aku disetrum pakai baju lapis. Jadi ketika disetrum tidak terasa),” terang Yuli saat mengulang apa yang diucapkan kakaknya itu.

Menanti Wildan Pulang

Kondisi buruh migran Indonesia memang tak kurang mengenaskannya. Penyumbang devisa negara ini acapkali berakhir tragis di perantauan. Untuk kasus yang menimpa buruh migran perempuan saja jumlahnya bisa mencapai 321 kasus pada tahun 2023. Data tersebut diperoleh berdasarkan laporan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Dari jumlah tersebut, mayoritas atau 43% kasus merupakan kasus kekerasan ekonomi, seperti gaji tidak dibayar, upah rendah, hingga kerja paksa.

Jangan tanyakan bagaimana perasaan para keluarga buruh migran itu. Mereka, sudah pasti sama remuk redamnya seperti Bapa dan Ibu Wildan. Perlahan fisik mereka digerus oleh bayangan-bayangan yang mengerikan yang mungkin saja terjadi pada anaknya itu. Pada minggu ke sekian sejak kabar mengerikan itu datang, keduanya jatuh sakit.

“Aku udah hampir ga liat senyum lepas dari mamah sama bapa,”

Satu setengah tahun terakhir ini, hanya tangis yang acapkali terlihat dari keduanya. Siapa yang tak kehilangan. Sudah dua kali lebaran, tak ada sosok Wildan yang biasanya meramaikan momen-momen berkumpulnya keluarga. Kini, selagi Yuli dan suaminya mengurus kepulangan Wildan, keduanya juga secara bergantian merawat kedua orang tua Yuli. 

“Aku selalu kasih harapan sama bapa, sama mamah di rumah. Sekarang aku bilang, banyak temen-temen lain yang ngebantu. Aku kirimin tuh kaya kemarin aksi-aksi kita, aku kirimin ke orang tua biar mereka lebih semangat lagi bahwa mereka masih ada harapan untuk kakak aku pulang,”

Apa yang diterangkan oleh Yuli kepada kedua orang tuanya adalah upaya yang ditempuh olehnya dan juga keluarga korban lain selama setengah tahun ini. Sejak kabar mengenai penyiksaan yang dialami oleh para buruh migran merebak, para keluarga korban kemudian berhimpun dalam Solidaritas Jerat Kerja Paksa. 

Satu hal yang membuat ia dan keluarga lain akhirnya memutuskan untuk berhimpun. Adalah sengkarut persoalan yang mendera keluarga mereka di perantauan, yang rupanya tak bisa lagi mereka serahkan begitu saja kepada para pengurus publik.

Hingga saat ini, keluarga korban bukannya tak pernah mengadukan persoalan yang mereka hadapi ke berbagai instansi pemerintah. Menurut penuturan Yuli, dirinya dan keluarga korban juga telah melakukan pelaporan ke Kepolisian, Kementerian Luar Negeri dan Pemerintah Daerah. Sejak terakhir kali saya berjumpa dengan Yuli, laporan-laporan tersebut belum kunjung diproses. 

Itulah kenapa ia dan keluarga lainnya juga menggalang dukungan dan solidaritas di berbagai momen seperti Aksi Kamisan Bandung, Aksi Hari Buruh Internasional serta Aksi Solidaritas Palestina. 

“Karena kalau bukan keluarga kita yang mengupayakan, keluarga kita (di Myanmar) ga bisa ngapa-ngapain. Mereka terisolasi dari pihak luar untuk memberikan informasi, untuk mereka berkomunikasi mereka harus sembunyi-sembunyi,”

Mendengar ini, saya jadi teringat momen-momen yang dilalui Dimas Suryo dalam Novel Pulang Leila S. Chudori. Barangkali pula, Wildan sama halnya seperti Dimas,  yang berada dalam kamar gelap yang tak memiliki jendela. Sekalipun menyelinap keluar dan lari, ia harus menggunakan pintu, dan secepat apapun langkahnya, mereka–yang mempekerjakan Wildan sambil menenteng senapan–tetap akan mengepungnya, memberondongnya dengan peluru.

“Di dalam kamar gelap ini aku tak mengenal matahari, bulan atau arloji. Tetapi kegelapan yang mengepung ruangan ini penuh dengan aroma bahan kimia dan rasa cemas.” 

Dimas Suryo

Leila S. Chudori-Pulang, halaman 1

Dimas Suryo, tokoh yang mesti eskil ke Perancis karena peristiwa 65 itu, boleh jadi ia bernasib lebih baik. Di pelarian ia bisa hidup cukup dan beranak pinak di sana. Tapi itu semua dibayar mahal dengan menghabiskan sisa hidupnya tanpa pernah bersua lagi dengan orang tua dan orang-orang yang ia cintai. Kau tahu, rezim Soeharto tak menghendaki siapapun yang dianggap terlibat dalam kudeta untuk mencecap kebebasan. Apapun bisa terjadi, sekalinya ia menginjakkan kaki di tanah air, termasuk mendekam dibalik terali besi. Tak ada pilihan lain bagi Dimas selain melanjutkan hidup di Perancis, dan merelakan semuanya berlalu tanpa pernah kembali: merelakan kekasihnya kawin dengan orang lain, merelakan kedua orang tuanya pergi ke pangkuan ilahi. Dimas berakhir dan kembali ke tanah air yang ia rindukan dalam keadaan tak bernyawa.

Saya kira, Wildan juga sama rindunya seperti Dimas yang merindukan tanah karet. Tempat yang paham bau, bangun tubuh serta jiwanya. Merindukan keluarga. Merindukan hari-hari di mana tak ada pukulan, sengat listrik atau todongan senjata. Hari-hari di mana ia bertemu bocah-bocah dengan senyum yang membuat semangatnya membuncah. Mengajari bocah-bocah itu mengeja huruf arab sampai fasih mengaji. Dan melihat lagi sumringah dari kedua orang tuanya, memeluk mereka erat dengan penuh rasa terima kasih. Hingga menghabiskan malam-malam hangat bersama adik-adiknya, yang betapapun mereka telah menjadi dewasa kini, mereka hanyalah anak kecil yang rapuh di mata Wildan. 

Situasi di Indonesia mungkin jauh lebih baik ketimbang pasca 65 sebagaimana yang dipotret oleh Leila S. Chudori dalam novelnya. Dan oleh karena itu, saya, juga mungkin banyak orang lain masih optimis bahwa Wildan dapat pulang menemui keluarga dan orang-orang yang ia cintai dalam keadaan selamat.

Untuk itu, meski ini agak sedikit naif, entah karena satu dan lain hal keajaiban yang datang kepadanya saat ini, atau mungkin saat ia bebas nanti. Saya ingin Wildan tahu melalui tulisan ini bahwa Yuli–adik mungil yang dalam benaknya itu–begitu merindukannya dan berdoa setiap waktunya agar kakaknya itu senantiasa diberikan perlindungan dan keselamatan.

Untuk Wildan, semoga Anda senantiasa selalu diberikan seribu satu cara untuk menyiasati ancaman dan kekerasan yang menimpa Anda saat ini. Bertahanlah sedikit lebih lama.  Yuli, juga keluarga korban lainnya akan berupaya semaksimal mungkin untuk membuat Anda bebas dan kembali ke sini. Ke tempat yang Anda rindukan. Tanpa berpanjang lebar lagi, berikut adalah pesan yang ingin disampaikan Yuli untuk Anda:

“Aa pasti pulang. Ya kita udah kangen banget sama aa. Tiap hari ga berhenti doa, shalat, tahajud, minta sama Allah biar aa di sana yang lindungin tuh Allah. Terus aa bisa pulang, kumpul lagi sama ade-ade. Sama orang tua, sama mamah, sama bapa. Aa bisa ngajarin agama lagi ke ade-ade. Ngomongin masalah yang shalat jangan tinggal shalat, yang gitu-gitu. Karena kalau sharing sama aa tuh, sharing agama. Jangan pernah tinggal shalat ke ade-ade. Jadi mudah-mudahan Allah masih ngasih umur buat kita kumpul lagi. Yakin sama allah. Walaupun kaka aku sering dipukul, di sana tapi dia masih bisa hidup di sana sampai sekarang. Nah itu kan karena perlindungan Allah yah. Jadi cuma bisa bilang sama Aa, aa yang kuat, aa semangat,”  Yuli, 10 Mei 2024.

 

Penulis: Ilyas Gautama

Editor: Rokky Rivandy