Trimurti.id – Sejumlah orang berbaris di depan pos kamling RW 02 Dago Elos, kota Bandung, Sabtu, 12 April 2025. Mereka menunggu panitia Festival Bandung Menggugat (FBM) mempersilakan untuk memasuki area lapangan Balai RW 02, tempat acara berlangsung, sesudah melewati proses pemeriksaan tubuh (body check).
“Temen-temen ditunggu dulu yaa, kita lagi check sound dulu,”ujar seorang panitia perempuan sembari meminta presensi kehadiran kepada pengunjung.
Di halaman Balai RW, berdiri sebuah tenda dan altar panggung dengan riasan ornamen foto aksi protes massa di depan gedung sate, kota Bandung. Beberapa orang sibuk mondar-mandir, gemuruh ketukan snare drum dan gitar bersahutan dengan suara para ibu-ibu warga Dago Elos yang tak kalah sibuk menyiapkan hidangan untuk didagangkan dalam pasar rakyat di sisi luar lapangan Balai RW.
Hajat ini tentu kalah meriah dengan gelaran Pestapora, Coachella maupun Bandung Berisik, yang digelar oleh promotor musik maupun jenama demi meraup untung dan memperluas sebuah citra jenama. FBM yang diinisiasi oleh Bandung Bergerak, Mahasiswa Bersuara, komunitas, dan warga Dago Elos memang digelar untuk ajang berkumpul, bersolidaritas, dan, mendedah persoalan kondisi ekonomi-politik yang hari ini kian pelik.
Setelah check sound selesai, para pengunjung mulai menyebar di berbagai penjuru lapangan Balai RW mencari tempat yang nyaman untuk menikmati setiap sesi acara Festival Bandung Menggugat.
Lalu, tibalah sesi diskusi pertama bertajuk “Selagi Mahasiswa Berani Bersuara, Kampus Belum Akan Mampus”. Diskusi yang menghadirkan Cindy Veronica Rohanauli (Penulis ‘Melawan dengan Gagasan’ dan mahasiswi Unpad), Bivitri Susanti (Dosen STHI Jentera), dan Zen Rs (Esais) menguak kondisi rentan yang dialami mahasiswa di dalam kampus tempat mereka menempuh studi.
Cindy mengungkapkan mahasiswa kini terjebak oleh sistem neoliberalisme yang kian menyulitkan mahasiswa. Melalui amatannya, pendidikan tak lebih dari sekadar barang yang diperdagangkan di pasaran.
Hal ini diperkuat oleh hadirnya Undang-Undang Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (UU PTN BH) yang membuat kampus negeri harus mencari penghasilan sendiri. Baik dengan menaikan biaya kuliah maupun menjadi juru riset perusahaan. Jelas, kenaikan biaya kuliah membuat pusing tujuh keliling keluarga buruh yang ingin menguliahkan anak maupun saudaranya.
Ia lanjut menambahkan bahwa meredupnya nalar kritis mahasiswa terhadap situasi ekonomi politik disebabkan oleh sistem pendidikan yang memaksa mahasiswa cepat lulus dan bekerja. Kampus tak ingin dibuat malu karena mahasiswanya telat lulus, yang nantinya akan berpengaruh pada akreditasi kampus tersebut.
Bisa dibilang sistem, akreditasi merupakan penilaian lembaga terhadap kinerja kampus dalam hal mendidik, membangun infrastruktur, dan meluluskan mahasiswanya. Entah itu swasta atau negeri, kampus tak ubahnya lembaga kursus mengemudi yang khusyuk mencari pundi dan mempertahankan akreditasi.
“Jadinya, kampus itu menjadi lembaga yang mencetak tenaga kerja,”ujar Cindy.
Senada dengan Cindy, Bivitri menilai sistem dan teknis pembelajaran di kampus tidak menghendaki mahasiswa berpikir kritis bahkan mempertanyakan kondisi ekonomi politik hari ini. Menurutnya, kampus malah cenderung berlomba menerapkan sistem belajar cepat: cepat lulus dan cepat bekerja.
Ia menyaksikan sendiri di tempatnya mengajar, beberapa dosen mewajibkan mahasiswa mengucapkan ‘izin’ sebelum bertanya. “Ini jadi komando dalam sistem pembelajaran, seperti militer,” sambung perempuan yang akrab disapa Bibip tersebut.
Tentunya bukan hanya sistem pendidikan yang amburadul. Bagi Zen Rs, pasca 65 pemerintah orde baru menjauhkan rakyat dari akar persoalan harian yang dialami rakyat. Strategi depolitisasi ini membuat rakyat ogah menyentuh urusan politik semisal jalan rusak, kesehatan, pendidikan, dan lain sebagainya.
Di masa-masa sulit seperti saat ini, karena telah lama dijauhkan dari akar persoalan, keberanian untuk mengkritisi tidak datang dengan sendirinya. Keberanian datang dengan berlatih untuk berhimpun dan mempolitisasi waktu luang apapun bentuknya. Hal ini dapat dimulai dari nongkrong dan bertukar cerita tentang kehidupan sehari-hari.
“Karena saat ini kita dibuat untuk memikirkan nasib kita masing-masing,” tambah Zen sebelum sesi diskusi pertama usai.
***
Sesi diskusi selesai, penampilan musik pun dimulai. Terlihat dari panggung lima pemuda sedang sibuk mengotak-atik sound amplifier. Berharap menemukan tune gitar yang diinginkan. Penampilannya sedikit urakan layaknya musisi punk sungguhan.
“Ini dia, kita sambut Unacceptable!” sorak kedua pemandu acara dadakan tersebut yang diikuti keriuhan pengunjung.
Dengan agak malu-malu, sang vokalis mulai berinteraksi dengan pengunjung yang tak sabar ingin berdendang. Tak lama kemudian, tabuhan suara drum yang penuh energi dan petikan gitar kasar menyambar cepat. Ia seperti merapal sebuah sajak, dan setelah itu mulai bernyanyi dengan lantang: “Anjing kapital penjaga modal!”
Pengunjung mulai satu per satu berdatangan. Tanpa saya sadari saya pun ikut terhanyut dalam alunan musik dari quintet hardcore punk antah-berantah tersebut. Entah berapa lama saya berjoget ria mengikuti pergantian lagu di tengah moshpit, tak terasa hujan mengguyur Dago Elos, sekujur tubuh saya basah kuyup.
Karena tak ingin masuk angin saya pun berteduh di sisi luar lapangan Balai RW 02 Dago Elos. Namun, ada pula beberapa pengunjung yang kebal masuk angin kembali menyambut penampil berikutnya, Accident. Bahkan hingga berguling-guling. Saya hanya berharap ibu mereka tak memarahi mereka karena baju mereka tercecer noda tanah dan bau keringat saat pulang ke rumah.
Singkat cerita, hujan mereda. Penampilan yang ditunggu pun tiba. Duo bertopeng electro punk, Sukatani lantas memainkan musiknya. Para pengunjung semakin merangsek ke arah panggung seolah membentuk lautan manusia. Mereka berdendang ke segala arah hingga menjelang petang. Ada yang bilang kepada saya, total pengunjung Festival Bandung Menggugat ditaksir mencapai 1000 orang lebih.
***
Bulan malam itu bulan sempurna, cahayanya berpendar terang. Cuaca semakin dingin, namun pengunjung kian bertambah. Ada yang mengikuti diskusi berikutnya soal “Menggugat Demokrasi di Bawah Rezim Baru”, ada yang sekedar berbincang dengan sesama teman, hingga ada pula yang tak sabar menanti Herry “Ucok” Sutresna membacakan orasi.
“Ieu ucok iraha tampil (kapan ucok tampil),” tanya seorang pengunjung pada kawannya.
“Teu apal euy (gak tahu euy),” balas kawannya.
Lantaran tak kuat menahan dingin akibat baju basah kuyup, dan khawatir terserang gejala flu dan masuk angin, saya memutuskan untuk pulang ke rumah, dan meninggalkan lokasi serta melewatkan rangkaian acara berikutnya.
Saat tiba di rumah, saya menyeduh teh hangat dan mandi seperti pesan yang sering ibu sampaikan jikalau saya basah kuyup kehujanan. Sambil membaca majalah Rolling Stone yang saya beli dari seorang kawan di sana. Saya teringat ucapan seorang kawan di selatan Bandung tentang kondisi pelik hari ini.
“Kemarin demo di kawasan sempet dijaga sama tentara,”bebernya kepada saya dan teman saya beberapa waktu lalu.
Ingatan saya lalu meringkus sesuatu yang lama pernah saya lihat di Youtube. Samar-samar tergambar dalam kepala, mungkin dalam dokumentasi tahun 80an, kala itu Almarhum Deddy Stanzah manggung di sebuah acara musik namun di sisi kanan dan kirinya terdapat polisi militer yang berjaga.
Namun, saat saya mencoba melihatnya kembali, video itu raib. Nampaknya sang penggugah yang menghapusnya sendiri
Teks: Baskara Hendarto
Foto: Baskara Hendarto dan Dachlan Bekti
Editor: Rokky Rivandy