Categories
Jam Istirahat

Melewati Lebaran dengan Lebih Masuk Akal

Trimurti.id – Karena Lebaran kadung menjadi ritus tahunan, sehingga sesak dengan basa-basi, maka ia datang seperti utang yang harus dibayar—dengan kita tak pernah benar-benar tahu kepada siapa.
Kita saling memaafkan, menyodorkan tangan, menyisihkan senyum, dan menyembunyikan banyak hal di balik punggung: dendam kecil, kecewa yang tak selesai, janji yang tidak ditepati, dan kekacauan yang terlalu akrab untuk disebut sebagai masalah.
Namun kebanyakan kita tetap pulang, ke kampung halaman atau ke mana pun, dengan punggung yang kaku dan mata yang berat. Mereka tak bercerita banyak soal bulan-bulan yang telah lewat, karena semua nyaris sama: bangun pagi, kerja sampai hilang nama sendiri, lalu tidur dengan utang dan tenggat waktu.
Mereka kembali bukan untuk merayakan kemenangan, dan mereka menginjak beranda bukan sebagai pahlawan, tapi untuk memastikan bahwa mereka belum bonyok maksimum. Makanya mereka tetap menyuap ketupat dan sambal goreng ati selepas salat id dalam diam yang hangat—karena inilah satu-satunya hari ketika kekalahan total masih bisa ditunda.
Sedangkan, negara tak pernah tahu cara pulang kepada para pemiliknya—kita semua. Ia sibuk merapikan catatan keuangannya yang bocor, memoles wajah para pembesar dan menyuruh kita sabar, padahal loketnya sudah tutup sejak kemarin.
Mereka juga selalu bilang: negara butuh keamanan. Tapi tak pernah jujur soal siapa yang aman dan siapa yang tidak, dan siapa pula yang terus diawasi agar tak menyusun definisi lain tentang itu semua.
Cukup sudah bicara tentang negara. Ia tidak perlu disebut terlalu sering, karena sudah hadir di mana-mana. Di pelipis yang mengerut saat gaji habis sebelum tanggal tua. Di pundak yang bengkak oleh pentungan sehabis demonstrasi. Di setiap nota belanja walau hanya untuk sekadar membeli jarum untuk menjahit baju koko pembelian lebaran sebelumnya yang sedikit robek.
Dan kita, sesama kita, tetap saling sapa. Saling peluk. Saling mengirim pesan-pesan pendek yang sudah disalin dari tahun-tahun sebelumnya. Tidak apa-apa. Kadang yang basi juga bisa menghibur, seperti lagu lama yang tetap kita putar dengan ringan hati karena kita sudah tahu bagian sedihnya di mana.
Sementara itu juga, kehidupan terus berjalan. Ada ibu yang tetap memasak meski anaknya tak jadi pulang. Ada tukang parkir yang tidak libur karena mobil-mobil tetap datang dan pergi seperti biasa. Ada yang memaafkan hanya supaya bisa tidur lebih cepat malam ini.
Tidak semua orang punya kemewahan untuk menyimpan dendam. Beberapa orang hanya ingin hidup sedikit lebih lama.
Justru itulah alasan kita membutuhkan Lebaran. Bukan karena kita pandai memaafkan, tapi karena dunia ini terlalu sering membuat kita lelah untuk marah melulu. Maka kita menciptakan hari suci. Agar ada jeda. Agar ada ruang bagi bengkak dan lecet untuk kempes atau kering sebentar, agar bisa minum teh manis hangat, dan mengatakan: “Baiklah, kita lanjutkan besok lagi.”
Namun jangan salah. Tidak semua harus dimaafkan. Tidak semua bisa disapu dengan takbir dan air mawar. Ada hal-hal yang harus ditagih, karena diam bukan akhlak. Maka bila ada kawan datang dan meminta maaf, boleh jadi itu bukan tanda bahwa ia lupa. Itu hanya cara untuk mengatakan bahwa ia masih ingat, tapi tak ingin bikin patah hal-hal yang masih tersisa.
Memaafkan bukan perkara mulia. Ia bukan nilai moral, bukan nasihat ustaz. Ia kadang cuma pilihan paling praktis agar hidup bisa jalan terus. Tapi saat dilakukan dengan sungguh-sungguh, ia bisa juga jadi ruang perlawanan: bahwa saya memilih tidak membalas, bahwa saya menolak untuk membuat atau menerima memar baru.
Perkara maaf adalah perkara mengakui bahwa kita juga salah langkah, salah waktu, salah cara. Bahwa tak semua bisa dibetulkan, tapi tetap bisa diperbaiki. Bahwa tak semua orang bisa kembali seperti dulu, tapi bukan berarti tak bisa berjalan berdampingan, meski dalam jarak yang agak berjauhan.
Mungkin di situlah makna lebaran yang paling masuk akal, sekali lagi: masuk akal, bukan yang ideal. Ini bukan tentang menjadi suci, tapi soal jadi cukup waras untuk bilang,
“Saya tahu salah saya, dan saya juga tahu salahmu. Kita tak harus berdamai, tapi setidaknya jangan saling melukai lagi.”
Kita sangat mungkin melakukannya kepada sesama kita, dan tahu musykil melakukannya terhadap kekuasaan.

N.b.: Tulisan ini disusun dengan membayangkan bagaimana istri saya, Galush Pangestri, memandang dan memahami kenyataan.

Penulis: Zen RS

Editor: Abdul Harahap