Trimurti.id, Bandung – Berhadapan dengan perkara hukum dan pengadilan, bukanlah perkara mudah untuk rakyat. Terlebih bila yang dihadapi adalah konflik agraria.
Sejak tahun 2016 silam, terhitung sejak delapan tahun sengketa lahan Dago Elos bergulir. Warga Dago Elos sudah merasakan getirnya palu godam hakim dari pengadilan tingkat pertama dan tingkat peninjauan kembali (PK).
Hakim memutuskan tiga bersaudara Muller dan PT Dago Inti Graha sebagai pemilik sah lahan seluas 6,9 hektar di Dago Elos. Hanya berdasarkan bukti kepemilikan alas hak era kolonial Belanda (Eigendom Verponding) dan dokumen Penetapan Ahli Waris (PAW) yang diterbitkan Pengadilan Agama Cimahi pada 2014.
Penuturan sejarah pendudukan lahan warga selama puluhan tahun diabaikan. Warga dianggap melakukan perbuatan melawan hukum dan dianggap sebagai pengungsi ilegal di tanahnya sendiri.
Kebenaran menjadi banal. Karena hakim tak lebih dari tukang periksa dokumen legal dan tukang jagal.
Tapi seiring berjalannya waktu, keadaan berbalik; warga membuktikan kebenarannya sendiri dan menelusuri setiap jengkal fakta yang disodorkan Tiga Muller bersaudara dan PT Dago Inti Graha di pengadilan.
Pada Selasa, 21 Mei 2024, akhirnya warga Dago Elos membuat pengadilannya sendiri agar kebenaran tak lagi dimonopoli para mafia tanah dan hakim pengadilan.
Lapangan Balai RW 02 Dago Elos dirias dengan tanda biru besar yang memayungi meja hijau, mimbar pelapor, papan kolase foto, patung boneka hakim, dan pengusaha yang tergantung di dinding hingga kursi-kursi yang disusun untuk hadirin persidangan.
Tak lupa Bivitri Susanti, Al-ghifari Aqsa, Siti Rakhma Mary, Yance Arizona, dan Asfinawati hadir sebagai majelis pengadilan rakyat.
Berkat kegigihan warga mencari kebenaran dan mempetisi jalanan Bandung dengan perlawanan. Dago Elos hari itu bergemuruh karena pengadilan rakyat dilangsungkan.
“Dago melawan, tak bisa dikalahkan!”
“Dago bersatu, melawan setan tanah!”
Riuh suara warga menyambut para Majelis Hakim Pengadilan Rakyat, sekaligus tanda persidangan sudah semakin dekat.
Delapan orang pelapor warga Dago Elos mempersiapkan maklumatnya. Mereka bersolek indah karena itulah hari yang dinanti mereka.
Satu per satu pelapor naik ke mimbar dan membawa secarik kertas berisi temuan kejanggalan putusan pengadilan. Dengan percaya diri, mereka membaca temuan itu dengan lantang tanpa sedikit keraguan.
Temuan-temuan janggal seperti klaim kerabat dan utusan dari Ratu Wilhelmina, gugurnya hak barat Eigendom Verponding, hingga indikasi praktik jual beli tanah negara yang tidak dipertimbangkan hakim peradilan sesat. Semuanya tersaji paripurna di persidangan rakyat, tanpa ritus omong kosong beracara yang membuat kepala penat.
Maklumat seluruh pelapor diterima, Majalis Hakim Pengadilan Rakyat mengeluarkan amar putusan atas sengketa lahan Dago Elos.
Tiga Muller bersaudara, PT Dago Inti Graha, dan peradilan sesat divonis bersalah dengan 15 dakwaan. Sontak, putusan tersebut disambut sorak-sorai warga.
Nomor terakhir adalah putusan teristimewa. Majelis Hakim Pengadilan Rakyat memerintahkan para hakim peradilan tingkat pertama dan peninjauan kembali (PK) untuk mengikuti tes kecerdasan otak, karena telah membuat keputusan hukum keliru dan nirempati terhadap warga.
Di penghujung petang, ketuk palu berdentum tanda persidangan usai dan keadilan telah direbut warga Dago Elos. Lalu, para warga membaur bersama Majelis Pengadilan Hakim Rakyat.
“Terima kasih bapak-ibu, kemarin-kemarin saya susah tidur gara-gara (kasus sengketa lahan) ini. Tapi sekarang saya jadi semangat lagi,” ujar seorang warga sambil memeluk salah seorang anggota Majelis Hakim Pengadilan Rakyat.
Petang berganti malam, para warga berhambur menuju rumahnya masing-masing dan bersiap menyongsong esok hari.
Ibu-ibu tampak kembali ke Lapang Balai RW 02. Tak lama sayup-sayup alunan suara musik kendang, piano electone, dan gitar saling bertaut terdengar dari pengeras suara.Para ibu pemberani itu mulai berdendang dan berjoget riang mengikuti irama lagu.
Jika tak salah ingat, hari pengadilan rakyat Dago Elos bertepatan dengan hari lengsernya Soeharto dari tampuk kursi kekuasaan, pada 21 Mei 1998. Rezim junta militer Orde Baru runtuh, Orde Reformasi lalu tumbuh.
Hari itu patut dirayakan oleh warga Dago Elos dan para insan yang gandrung akan demokrasi dan keadilan, karena keduanya adalah kemenangan rakyat. Warga Dago Elos selangkah menumbangkan Tiga Muller Bersaudara dan PT Dago Inti Graha sedangkan gerakan rakyat lainnya menumbangkan rezim Soeharto yang berkuasa 32 tahun lamanya.
***
Teks: Baskara Hendarto
Foto: Adhyasta Widyatama
Editor: Dedi Muis