Trimurti.id, Jakarta – Masih dalam momentum Bulan Perempuan Sedunia (International Women’s Month), Aksi Perempuan Asia melakukan aksi “Pedal untuk Rakyat dan Planet” (Women Pedal for People and Planet) di Jakarta, 12 Maret 2023, sebagai bentuk perlawanan terhadap krisis iklim yang berdampak pada kehidupan manusia dan ekologi.
Aksi tersebut diselenggarakan secara serentak di enam negara, yaitu Indonesia, India, Pakistan, Nepal, Vietnam, dan Filipina.
Aksi mengayuh sepeda ini dilakukan untuk menguatkan kesadaran publik terkait perubahan iklim, termasuk hubungannya dengan pangan dan energi, dengan melihat peran perempuan yang selama ini berjuang untuk keadilan iklim.
Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa perempuan di dunia mengalami dampak yang lebih buruk akibat perubahan iklim. Perubahan Iklim memperberat beban perempuan karena peran domestik yang dilekatkan pada perempuan, yang turut menyebabkan perempuan lekat dengan alam, serta memiliki pengetahuan dan pengalaman yang khas.
Terkait dengan Aksi Perempuan Asia ini, Lidy Nacpil, Koordinator Asian Peoples’ Movement on Debt and Development (APMDD) menyampaikan, “Krisis iklim menyebabkan krisis pangan di banyak belahan dunia, khusus di masyarakat pedesaan, sebab perubahan iklim yang semakin sering dan intens mendorong terjadinya kekeringan, gelombang panas, atau banjir, yang merusak tanaman dan mata pencaharian.”
Menurutnya, perempuan menanggung beban dari guncangan iklim ini karena perempuanlah menyediakan makanan bagi keluarga dan banyak perempuan bergantung pada sumber daya alam untuk bertahan hidup.
“Kita perlu segera mendesak penguatan sistem pangan yang dapat memenuhi kebutuhan sosial dan ekonomi perempuan,” pungkas Lidy.
Akan tetapi, menurut Aksi Perempuan Asia, perempuan tidak hanya terdampak oleh krisis iklim tetapi juga oleh berbagai proyek yang mengatasnamakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Indonesia telah menjadi salah satu negara yang kerap memproduksi solusi palsu di berbagai sektor, tidak terkecuali sektor energi.
“Proyek energi yang berjalan saat ini secara terang memberikan dampak negatif yang signifikan. Kami menemukan berbagai masalah di Banten, yang pembangkit listrik bertenaga batu baranya berpotensi menghilangkan pantai tempat para perempuan mencari nafkah sebagai pedagang. Penurunan kualitas udara dan gangguan kesehatan akibat pembangunan dan operasi di sekitar PLTU ini menyebabkan anak-anak yang tinggal di sekitar area (PLTU) menderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), yang sudah tentu memberikan dampak terhadap ibu-ibu penderita,” ujar Maulida Rahma dari Trend Asia.
Alih-alih memperbaiki sistem energi di Indonesia, pemerintah justru memberikan solusi palsu berupa co-firing biomassa yang berdampak pada munculnya hutan tanaman energi (HTE) yang merenggut tempat perempuan Mentawai berkebun dan mencari kayu bakar.
Perbaikan di sistem energi tidak cukup sekadar mengubah sumber energi. Sebut saja Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Poso yang diresmikan pada Februari 2022 lalu. Proyek ini digadang-gadang sebagai proyek energi bersih. Padahal PLTA Poso I dan II telah berdampak masif kepada kehidupan perempuan. Tidak hanya merendam lahan pertanian produktif warga yang menyebabkan gagal panen, pembangunan pembangkit listrik tersebut telah menghilangkan spesies ikan, yang akhirnya juga menghilangkan tradisi menangkap ikan di tepi danau yang disebut monyilo, mayamasapi, mosango. Di sana, perempuanlah yang biasanya melakukan tradisi tersebut. Begitu pun dengan proyek geotermal di Purwokerto yang mengakibatkan air sumber kehidupan warga menjadi keruh.
Dalam kasus di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara, akibat perluasan pertambangan nikel untuk ekosistem kendaraan listrik, limbah pertambangan nikel yang berakhir di pesisir atau laut menyebabkan kerusakan terumbu karang yang terus meluas dan menurunkan pendapatan harian mereka hingga lebih dari 50%.
Hal tersebut menyebabkan beban perempuan nelayan menjadi lebih berat karena harus bekerja lebih lama supaya perekonomian keluarga dapat terus berjalan. Berdasarkan informasi yang dihimpun, setelah kehidupan ekonomi semakin sulit, mereka harus bekerja lebih dari 17 jam per hari. Sebelum adanya tambang, mereka tak lebih dari 10 jam bekerja sebagai perempuan nelayan.
Tidak hanya proyek-proyek tersebut di atas, proyek energi skala besar marak digalakkan oleh pemerintah. Walhi mencatat bahwa pada tahun 2020 saja, terdapat lebih dari 10,000 megawatt pembangkit listrik yang terpasang dan diklaim sebagai energi terbarukan oleh pemerintah. Pada tahun 2025, pemerintah menargetkan pengembangan energi baru dan terbarukan sebesar 39,94 gigawatt (GW) pada 2030.
Transisi energi untuk keluar dari bahan bakar fosil tentu sangat penting sebagai cara untuk mengatasi krisis iklim. Namun, tanpa adanya pertimbangan dan persetujuan warga, termasuk perempuan dan kelompok minoritas lainnya, proyek pengembangan energi baru terbarukan yang dijalankan pemerintah hanya akan menjadi solusi palsu. Bukan solusi iklim, ketika proyek yang dijalankan justru menghilangkan sumber-sumber kehidupan masyarakat.
Transisi energi mensyaratkan perubahan sistem, sehingga tidak sekadar mengubah batu bara menjadi panas bumi, air, dan lain sebagainya, tetapi perlu mentransformasikan pembangunan energi dari yang sebelumnya berorientasi pada pasar menjadi berorientasi pada komunitas, dengan memastikan akses, kontrol, partisipasi, dan manfaat bagi perempuan.
Mengayuh adalah cara untuk menghasilkan energi yang menggerakkan sepeda atau kendaraan kayuh lainnya. Aksi ini menjadi simbol bahwa selama ini perempuan, terutama perempuan akar rumput bersama komunitasnya telah menghasilkan berbagai inisiatif untuk mengatasi krisis iklim dan menjaga keberlanjutan lingkungan. Melalui aksi ini Aksi Perempuan Asia mendesak pemerintah untuk melakukan upaya terbaik dalam mengatasi krisis iklim, tidak dengan solusi palsu, tidak dengan menjadikan krisis iklim sebagai lahan investasi proyek energi, melainkan dengan menghentikan bahan bakar fosil dan mengembangkan inisiatif berbasis masyarakat lokal dan komunitas.
Aksi Perempuan Asia terdiri dari Greenpeace, Solidaritas Perempuan, Trend Asia, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), dan Asian Peoples’ Movement on Debt and Development (APMDD).
Reporter: Lina Sulaiman
Editor: Dachlan Bekti