Trimurti.id. Rabu pagi, 16 November 2022, Forum Warga Terdampak Pembangunan Infrastruktur bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Barat, Agraria Resource Center (ARC), dan masyarakat kota Bandung menghelat konferensi pers dan mimbar bebas di pelataran depan kantor pusat PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) di Bandung.
Konferensi pers dan mimbar bebas tersebut, juga disiarkan secara daring (online), diselenggarakan untuk merespon uji coba mega proyek Kereta Api Cepat Jakarta Bandung (KCJB). Sebagaimana banyak diberitakan, pada 16 November 2022 kereta cepat ini menempuh uji coba sejauh 15 Km dari Stasiun Tegalluar menuju Casting Yard 4 di daerah Kopo, Bandung, dan disaksikan secara virtual dari Bali oleh Presiden Joko Widodo dan Xi Jinping.
Sudah barang tentu, uji coba ini sama sekali menyinggung masyarakat yang terdampak oleh proyek. Salah satunya adalah warga Tipar RW 13, Padalarang, yang terdampak pembangunan terowongan di Gunung Bohong (Tunnel 11 KCJB).
Dalam konferensi pers, Ahmad, salah seorang warga menceritakan sewaktu pembangunan terowongan, September 2019, terjadi tak kurang dari delapan kali peledakan (blasting) dalam kurun waktu empat hari. Akibat peledakkan, lantai dan dinding puluhan rumah warga retak.
Ahmad menambahkan, sebenarnya beberapa ahli dari PT LAPI ITB, perusahaan yang bernaung di bawah Institut Teknologi Bandung (ITB), dan unit Geologi di bawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah memperingatkan risiko keretakan pada struktur tanah di Gunung Bohong jika terjadi peledakan. Peringatan itu diabaikan.
“Menurut informasi setelah tahun lalu dilakukan peledakan-peledakan lagi, total ledakan sudah 350 kali. Sampai saat ini belum ada penelitian lanjutan tentang seaman apa kita tinggal disana, sebahaya apakah warga Tipar pasca ledakan-ledakan lanjutan itu” ujar Ahmad dalam konfrensi pers.
Warga Tipar RW 13, yang hadir langsung maupun secara online melalui aplikasi zoom, juga menceritakan bahwa peledakan yang berulang kali mengakibatkan mengeringnya sumber air tanah. Sumur-sumur bor mereka terganggu dan mesin pompa sudah tidak bisa lagi menghisap air.
Sebelum kereta cepat dibangun, hidup mereka amat sangat tenang. Warga menyatakan pula, mereka hanya menginginkan kembali hidup dengan tenang, aman, dan nyaman. Karena itu mereka menuntut jaminan dan tanggung jawab dari pihak pemerintah dan pihak KCJB.
Selain warga Tipar RW 13, hadir pula masyarakat terdampak dari perumahan Margawangi. Martha, salah satu warga Margawangi yang dinding rumahnya retak, mengaku sudah mengadu ke Komnas HAM. Pihak Komnas HAM pun sudah menerbitkan surat rekomendasi, yang sampai kini belum ditanggapi pihak KCJB.
Dalam konferensi pers, warga dari kedua lokasi terdampak ini berbagi keresahan yang sama: siapa yang bisa menjamin keamanan mereka.
Negara dan PT. KCIC Harus bertanggung jawab
Dimintai tanggapan atas persoalan ini, Meiki Paendong, Direktur Walhi Jabar, mengatakan bahwa sampai saat ini tidak ada tanggung jawab dari pihak PT KCIC selaku operator dan pelaksana proyek. Selain itu, pemerintah Indonesia sebagai penggagas proyek sampai saat ini tidak membantu menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi warga.
“Warga sudah mengalami penderitaan, sampai sekarang mengalami tekanan psikologis karena selalu khawatir akan dampak-dampak yang sangat berpotensi terjadi ke depannya, apalagi disaat kereta cepat sudah mulai beroperasi” ujarnya dalam konferensi pers.
Meiki Paendong kemudian mendesak pemerintah Indonesia dan PT KCIC untuk menyelesaikan masalah-masalah lingkungan dan sosial yang timbul, khususnya menanggapi tuntutan warga di Tipar RW 13 dan Perumahan Margawangi, serta semua warga di daerah lain yang juga terdampak namun tak berdaya menyuarakan tuntutannya.
“Salah satunya adalah 13 keluarga di kampung Tegalnangklak, Purwakarta, yang terkena dampak pembangunan terowongan KCJB, dan dijanjikan akan diberikan rumah pengganti. Sampai saat ini janji tidak dipenuhi. Itu satu gambaran bagaimana pemerintah dan PT. KCIC abai dan lari dari tanggung jawab” ujarnya.
KCJB, Proyek Negara Untuk Mengundang Investor
Menurut Riski, perwakilan dari Agrarian Resource Center di Bandung, KCJB dibangun konon untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul di kota-kota besar seperti Bandung dan Jakarta dan sekitarnya, yakni kepadatan penduduk. KCJB dibangun untuk mempercepat pergerakan warga agar tidak terkonsentrasi di satu atau dua tempat saja. Menurutnya KCJB, yang dibangun dengan konsep Transit Oriented Development (TOD), akan menciptakan berbagai permasalan baru.
“KCJB sebagai satu proses memasukan para investor-investor ke daerah-daerah yang sebelumnya belum terjamah oleh mereka. Sehingga proyek ini hanya untuk kepentingan investasi dan perluasan kapital, yang pada akhirnya akan menyingkirkan masyarakat-masyarakat asli di daerah kawasan-kawan KCJB beroperasi” ujarnya.
Selain itu, menurut Riski, proyek KCJB menjadi alat bagi pemerintah untuk mengundang investor-investor asing untuk masuk ke Indonesia. Proyek KCJB sudah menjadi bahan kampanye Joko Widodo pada pertemuan G20 tahun ini di Bali yang baru saja berakhir. Pada ujung konferensi pers Riski menegaskan bahwa proyek raksasa ini akan menimbulkan permasalahan baru di lapangan agraria, pemukiman penduduk, dan lainnya.
Reporter: Thomas Manuputty
Editor: Sentot
Sumber Foto: ANTARA FOTO – Hafidz Mubarak