Pekerja gig atau pekerja lepas yang terhubung dengan perusahaan jasa berbasis aplikasi online semakin menjamur di Indonesia. Pekerja gig menghadapi kerentanan kerja karena tidak memiliki hubungan kerja yang jelas seperti pada pekerja dan pemberi kerja pada umumnya. Mereka dianggap memiliki hubungan kemitraan dan berada pada posisi yang setara dengan perusahaan platform yang mempertemukan pekerja gig dengan pelanggan/pengguna jasanya. Kondisi ini mengakibatkan sebagian besar pekerja gig tidak memiliki batasan waktu kerja, tidak memiliki jaminan sosial dan menanggung sebagian besar biaya dan risiko selama melakukan pekerjaan, serta tanpa jaminan pendapatan layak dalam jangka panjang. Apalagi bagi mereka upah dikaburkan dengan istilah komisi atau bagi hasil.
Berbagai temuan riset dan survei, termasuk Laporan Fairwork (2023), menyoroti ketimpangan upah pekerja gig. Ditemukan bahwa 10 perusahaan platform tidak memenuhi upah minimum bagi mitranya, dan bahkan ketika upah melebihi standar, pekerja seringkali harus bekerja dalam waktu yang panjang. Temuan Putri dan Heeks (2022) menunjukkan bahwa 20% responden bekerja lebih dari 100 jam per minggu. Hasil survei pada situasi keuangan pekerja gig yang dilakukan oleh Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) 2022, menemukan sebanyak 54,2% responden berpenghasilan di bawah 6 juta rupiah, dan 68,9% mengalami kesulitan keuangan. Lebih lanjut, 74,7% menyatakan bahwa penghasilan mereka hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari.
Pada sejumlah pertemuan dengan pekerja gig, Gajimu Indonesia juga mencatat sejumlah tantangan dalam menentukan tarif jasa yang adil, termasuk kurangnya pengetahuan dan informasi tentang pasar, kesulitan menghitung biaya tersembunyi, lupa memasukkan biaya kebutuhan hidup, tanpa menilai keahlian, serta menghadapi tekanan penentuan harga dari klien atau penentuan tarif murah dari perusahaan.
Merespons permasalahan krusial seputar isu upah yang adil bagi pekerja gig, Gajimu Indonesia, bagian dari WageIndicator Foundation, organisasi independen pendukung pekerja dan serikat pekerja di Indonesia, mengadakan webinar pada tanggal 25 Januari 2024, pukul 14.00 – 15.30 WIB dengan tema “Keadilan Upah dan Hak bagi Pekerja Gig dan Pekerja Lepas.”
Nadia Pralitasari, Gig Project Officer WageIndicator, mengatakan hadirnya alat Cek Tarif Layak ini dilatarbelakangi oleh tantangan pekerja gig dan dalam menentukan tarif jasa atau pekerjaannya. Dengan adanya Cek Tarif Layak, semua biaya yang selama ini kerap tidak disadari dapat dihitung, seperti alat kerja, waktu overhead, pajak, jaminan sosial, hingga jaminan pensiun.
“Apabila pekerja gig sudah tau tarif yang ideal lewat cek tarif layak, maka pekerja gig dapat bernegosasi dengan pemberi kerjanya atau perusahaan platform baik secara individu maupun kolektif. Secara kolektif, salah satu caranya dengan serikat pekerja,” jelasnya.
Ini dipertegas oleh Veronica Latifiane, seorang pembuat konten digital sekaligus penulis buku. Ia mengatakan, pemberi kerja acapkali menetapkan tarif secara sepihak, tanpa mempertimbangkan waktu tunggu.
“Saat saya coba alat Cek Tarif Layak ini pertama kali, banyak sekali turunan komponennya dengan pertimbangan risiko yang berbeda. Risiko antara sutradara dan lighting men misalnya itu berbeda jauh. Sebagai pekerja lepas, alat Cek Tarif Layak ini dapat menjadi acuan sendiri dalam bernegosiasi tarif dengan klien,” pungkas penulis buku berjudul “Crush” tersebut.
Webinar diisi dengan diskusi panel bersama dengan pekerja kreatif, para ahli yakni perwakilan dari Universitas Gadjah Mada, dan perwakilan serikat pekerja kreatif (SINDIKASI). Melalui presentasi dan diskusi panel dengan para ahli, Gajimu berharap webinar ini tidak hanya menjadi pengenalan atas alat “Cek Tarif Layak,” tetapi juga menjadi wadah untuk mendengarkan suara pekerja gig dan pekerja lepas.
Jakarta, 25 Januari 2024
Gajimu.com