Categories
Orasi

Upah Ditunggak, Pesepakbola Dijerat UU Busuk

Beberapa hari lalu linimasa instagram dan X ramai dengan 23 pemain Kalteng Putra yang menggugah keresahan mereka terkait tunggakan pembayaran upah oleh majikan selama dua bulan. Di Indonesia, soal klub menunggak upah adalah persoalan akut yang terjadi sejak lama dan berlangsung hingga hari ini. Ketidakbecusan manajemen dalam mengelola klub seakan dibiarkan oleh PSSI, tidak ada aturan tegas terhadap manajemen klub yang melakukan pelanggaran-pelanggaran hak perburuhan terhadap para pemain..

Bukannya segera memenuhi hak gaji pemain, manajemen Kalteng Putra malah bermanuver, dengan melaporkan 29 pemainnya atas dasar pencemaran nama baik, dan penggiringan opini publik. Bagi kami adalah wajar bila pesepakbola mengungkapkan keresahan mereka dan menuntut hak mereka. Protes, bagaimanapun caranya adalah hak setiap individu, dan dilindungi undang-undang. Layaknya buruh demonstrasi di pabrik, ojol menuntut kesejahteraan di jalanan, dan seterusnya.

Pesepakbola memang termasuk rentan dan dibatasi dalam hal berekspresi. Jika pun bisa, pesepakbola hanya meluapkan keresahannya dalam bentuk unggahan di media sosial atau bertukar keluh kesah dengan sesama pemain. Beruntungnya sejak 2012 dibentuklah APPI (Asosiasi Pesepakbola Profesional Indonesia), kehadirannya seolah menjadi oase bagi pesepakbola untuk setidaknya mengadukan masalah mereka yang mereka alami, meskipun organisasi tersebut belum berjalan maksimal.

Permintaan audiensi, manajemen abai, dan mogok bermain

Para pemain Kalteng Putra telah berulang kali menuntut upah mereka segera dibayarkan oleh pihak klub Kalteng Putra. Namun, manajemen klub malah meminta pemain bersabar untuk menunggu keputusan dari Agustian Sabran, CEO Kalteng Putra.

Sebelum laga melawan Persipura, para pemain Kalteng Putra sudah mengirimkan surat untuk audiensi dan diskusi kepada manajemen klub Kalteng Putra, namun manajemen tidak menggubris keinginan para pemainnya. Manajemen malah meminta pemainnya untuk bertanding dahulu melawan Persipura. Parahnya, setelah pertandingan manajemen meninggalkan lapangan tanpa mengindahkan tuntutan para pemainnya.

Merasa diacuhkan, para pemain akhirnya melaporkan manajemen klub Kalteng Putra ke APPI (Asosiasi Pesepakbola Profesional Indonesia) dan APPI telah melayangkan surat elektronik kepada pihak manajemen klub.

Pada pertandingan melawan PSCS Cilacap, pemain Kalteng Putra mogok bermain karena belum mendapatkan kejelasan soal pembayara upah. Sehingga PSCS dinyatakan menang WO (Walk Out). Menurut kami, dengan mogok bermain pemain Kalteng Putra sudah melakukan tindakan yang benar.

Dalam pertandingan sepakbola profesional, kita harus mengkampanyekan perlawanan menentang eksploitasi terhadap fans dan pesepakbola—dan kami tidak sedang membicarakan tentang pesepakbola kaya yang jumlahnya hanya 0,5% dari seluruh pesepakbola profesional, melainkan juga tentang puluhan ribu pesepakbola yang hidup dalam kondisi sulit, terutama pesepakbola di liga-liga bawah yang tidak tersorot selama ini.

Lalu, peran asosiasi pesepakbola juga harus lebih maksimal, setidaknya untuk memberikan tekanan kepada pihak klub agar tidak sewenang-wenang terhadap pemainnya. Karena pesepakbola adalah elemen penting dalam terciptanya pertandingan, dan harus dipenuhi hak-haknya sebagai pekerja sepakbola. Terpenting, merajut solidaritas antar sesama pesepakbola juga penting agar kejadian serupa tidak terulang terus-menerus di masa depan.

Para pesepakbola, sadarilah kekuatan kalian, bersatulah!

Penulis: Bandung Supporter Alliance

Visual: Bandung Supporter Alliance

Editor:  Aleyah Putri Chanzia