Bentrokan terjadi antara polisi dan demonstran di Paris, Selasa (22/05/18). Bentrokan itu dipicu oleh serikat-serikat buruh yang marah akibat kebijakan ekonomi Presiden Emmanuel Macron dan pemotongan anggaran publik selama bertahun-tahun. Mereka mendesak para pegawai negeri untuk berhenti bekerja dan turun ke jalan bergabung dengan gelombang protes skala nasional.
Ini adalah kali ketiga serikat buruh berusaha menunjukkan kekuatannya secara nasional, terhitung sejak Presiden Macron memulai jabatannya pada Mei 2017.
Televisi Reuters menyoroti kebrutalan polisi huru-hara yang memukuli para demonstran dengan pentungan, melempar granat kejut, dan gas air mata. Polisi menyebut 20 demonstran telah ditangkap.
Pihak berwenang pun mengatakan, sekitar 15.000 orang yang berdemonstrasi di ibu kota, lebih sedikit dibanding protes serupa pada Maret 2018 yang berjumlah 49.000 orang.
Gelombang protes dua bulan lalu berhasil menarik 320.000 orang turun ke jalan.
Tidak seperti aksi-aksi buruh yang sukses menakut-nakuti upaya liberalisasi ekonomi sebelum Macron berkuasa, para pengurus serikat mengatakan bahwa gelombang pemogokan kali ini tampak kehilangan semangatnya, ditambah kondisi buruh yang kian ragu bahwa mereka mampu memaksa pemerintah untuk mengubah keputusan.
Seruan demonstrasi turun ke jalan Selasa itu datang dari serikat-serikat buruh besar, ditambah serikat buruh yang lebih kecil dan melibatkan organisasi-organisasi di 140 kota. Mulai dari kota besar hingga desa-desa di seluruh Perancis.
Tukang pos, kontrolir lalu-lintas udara, guru-guru pegawai negeri, serta pekerja administrasi publik, didesak untuk bergabung dengan aksi mengecam kondisi yang disebut serikat buruh sebagai penurunan daya beli dan layanan publik di bawah kebijakan-kebijakan Emmanuel Macron.
Di saat yang sama, Presiden Macron belum menunjukkan tanda menyerah.
Operator jaringan listrik Perancis, RTE, mengatakan bahwa pemogokan itu mengurangi energi pembangkit listrik tenaga nuklir sebesar 2 gigawatt, karena beberapa reaktor nuklir yang dikendalikan negara dan dioperasikan oleh utilitas EDF, dipaksa untuk mengurangi produksi. Seorang juru bicara EDF Prancis mengatakan, sekitar 15,5 persen staf perusahaan berpartisipasi dalam pemogokan.
Salah-satu sebab kemarahan serikat-serikat buruh itu adalah rancangan program yang hendak mengakhiri tunjangan cuti sakit tertentu dan memangkas 120.000 pos administrasi lembaga-lembaga pemerintahan. Termasuk di dalamnya adalah peningkatan kerja kontrak, bukannya perekrutan pekerja tetap yang merupakan standar dalam layanan masyarakat sipil Perancis.
Secara keseluruhan, Perancis memiliki sekitar 5,7 juta karyawan administrasi pemerintahan, lembaga negara, sekolah, dan rumah sakit.
Aksi protes terbaru datang dari satu perusahaan kereta nasional Perancis. Sejak awal April 2018, setiap pekan, layanan perusahaan itu terganggu selama beberapa hari. Protes dimulai dengan pemogokan atas rencana penghentian monopoli perusahaan kereta SNCF, yang dengannya, rekrutmen pekerja kontrak kereta api diatur lebih ketat ketimbang sektor lainnya.
“Kami berdemonstrasi demi mempertahankan pelayanan publik yang ada untuk melayani semua orang, di daerah mana saja mereka mereka tinggal,” ujar Philippe Martinez, ketua serikat CGT, sebagaimana dikutip radio RTL.** (Sophie Louet dan Bate Felix)
Diterjemahkan oleh Rehza dari artikel berjudul “French unions lead more protests against public service shake-up” yang diterbitkan uk.reuters.com, 22 Mei 2018.