Categories
Orasi

Kriminalisasi Buruh, Legalisasi Penindasan

Jika mereka melakukan perlawanan sekecil apa pun, hanya dengan mengeluhkan keadaan itu, maka mereka akan ditindas, didenda, difitnah, dilecehkan, diburu, dipukuli, dilucuti, diikat, dicekik, dipenjara, dihukum, dikutuk, ditembak, dideportasi, dikorbankan, dijual, dikhianati; pada puncaknya, mereka diejek, dibodohi, ditertawakan, dimarahi, dan disakiti hatinya. Inilah pemerintahan; inilah bentuk keadilannya; dan beginilah moralitasnya.”

–Pierre Joseph Proudhon: 1923—

 

November 2017, tersiar kabar pelemparan bom molotov terhadap kediaman salah satu pemilik warung makan, di Jakarta Timur. Pelemparan molotov tersebut bukanlah tanpa alasan. Konon, dua orang yang melempar molotov tersebut adalah buruh si bos. Alasan mereka berdua merupakan buah dari tindak kelalaian si bos yang tidak membayar upah. Namun sayang, tak lama usai melakukan pelemparan molotov, keduanya dijebloskan ke jeruji besi. Keduanya menjadi tersangka. Si bos menjadi korban.

 

Tanpa ada diskusi yang baik, juga pemahaman yang komprehensif, tindakan-tindakan tersebut selalu saja menjadi sebuah tindakan yang dinilai kurang ‘etis’. Fenomena ini terus berkembang dengan sangat subur: ketika buruh menuntut hak hidup yang layak, pengacau dan tukang rusuh menjadi istilah yang disematkan kepadanya. Sebaliknya, ketika bos mengeksploitasi keringat para buruh untuk mendatangkan untung besar, tak sedikitpun rasa empati yang dimiliki khalayak banyak untuk menghukum si bos. Logika ini memang dikonstruksi sedemikan rupa dan terus direproduksi agar posisi “bersalah” disematkan kepada buruh.

 

Buruh tak pernah sedikitpun diberi ruang untuk mengekspresikan kegelisahannya terhadap pekerjaan yang ia lakukan atau setidaknya menuntut untuk memiliki upah yang layak. Karena buruh adalah komoditi. Barang dagang yang dapat dijual keringatnya dengan cara seenaknya. Upah murah atau tidak dibayarnya upah buruh adalah salah satu cara, para bos untuk meraup untung sebesar-besarnya. Layaknya Tuhan, seorang bos dapat melakukan apa saja—meskipun ada indikasi perlakuan kriminal terhadap buruhnya. Selama ini, keberpihakan masyarakat, bahkan negara, terhadap buruh yang melakukan penuntutan atas hak dasar hidupnya, memang tak pernah ada.

 

Tidak adanya keberpihakan ini dapat kita lihat dari munculnya sebuah nota kesepahaman antara Polri dan TNI, pada 23 Januari 2018 kemarin, yang isinya menjelaskan, “TNI dapat membantu Polisi untuk mengamankan apa saja yang berkaitan dengan aksi demonstrasi, mogok kerja, kerusuhan massa, konflik sosial, dll”. Nota kesepahaman itu akan berlaku dari hari ini, sampai lima tahun ke depan.

 

Jelas peraturan yang tertuang tersebut, sangatlah tidak masuk akal. Ketika TNI sebagai alat negara, yang fungsinya bertugas sebagai penjaga pertahanan negara, justru masuk pada level keamanan sipil yang tugas dan fungsinya ada pada Kepolisian. Pun dengan kemunculan nota kesepahaman tersebut, makin membuat logika massa berada pada taraf bahwa pemogokan kerja, aksi demonstrasi adalah suatu tindakan kerusuhan yang serius. Suatu tindakan yang, wajib dikawal dengan pengawalan seketat mungkin.

 

Masyarakat tak pernah dibiarkan untuk tetap sadar hubungan kausalitas atas terjadinya tindakan-tindakan buruh. Masyarakat selalu dicekoki paradigma “kriminalitas” ketika buruh melakukan penuntutan terhadap bosnya. Tanpa ada upaya penyadaran bahwa yang mesti dan wajib disalahkan adalah bos yang terlalu keji dalam pembiaran kesejahteraan pekerjanya. Demi untung banyak dan kembalinya modal bos, apapun cara yang ditempuh adalah halal dan tidak beseberangan dengan nilai-nilai moral yang ada. Kita terlalu nyaman dengan hidup, tanpa melihat sisi dunia lain, sehingga apapun upaya buruh dalam menuntut haknya, dengan secara serampangan dinilai kriminal.

 

Seperti apa yang Rudolf Rocker katakan dalam bukunya Anarko Sindakalisme: Filsafat Radikal Kaum Pekerja, “Sebagaimana agama sering bersembunyi di balik jargon ‘Kehendak Tuhan’, demikian juga akan selalu ada kehendak minoritas dengan hak istimewa yang bersembunyi di balik slogan “kehendak bangsa dan negara” untuk menutupi kepentingan pribadi dan kelompoknya serta memaksakannya pada masyarakat.” (Syawahidul Haq)