Bismilillahirrahmanirrahim…
Dengan menyebut nama mereka yang mendahului kami…
Tidak ada keadilan di Indonesia. Genap satu tahun sudah, seratus tiga puluh lima anak-anak rakyat yang mencintai sepak bola Indonesia, dibunuh di rumah kami sendiri, Stadion Kanjuruhan. Kematian 135 korban jiwa akibat tembakan Gas Air Mata aparat kepolisian dalam pertandingan sepak bola antara Arema FC vs Persebaya Surabaya pada malam 1 Oktober 2022, hingga saat ini, belumlah diungkap dengan sebenar-benarnya dan diproses dengan seadil-adilnya.
Pengusutan Tragedi Kanjuruhan yang telah dilakukan oleh Negara beserta aparat penegak hukumnya, masih belum cukup dan jauh dari kata adil. Proses penetapan tersangka dan penggunaan pasal kelalaian oleh Kapolri adalah proses hukum yang tebang pilih, begitu juga dengan proses peradilan enam tersangka tersebut, yang justru mempermainkan hukum dan menghapus rasa percaya banyak orang terhadap dunia peradilan di Indonesia. Apabila peradilan di Indonesia disejajarkan dengan dukun, maka kami yakin, Rakyat Indonesia akan lebih memilih percaya kepada dukun ketimbang pengadilan.
Dibebaskannya Direktur Utama PT. LIB, Ahmad Hadian Lukita dengan alasan bahwa berkasnya belum cukup, adalah suatu perbuatan yang bukannya menegakkan hukum, tetapi justru memperlemah hukum itu sendiri. Sudah nampak jelas bahwa proses hukum Tragedi Kanjuruhan sarat akan keinginan mengamankan kepentingan para petinggi yang bersalah dan memang dirancang untuk gagal mengungkap kebenaran (intended to fail).
Hukuman yang dijatuhkan Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Surabaya kepada lima terdakwa Tragedi Kanjuruhan, yang membebaskan dua perwira polisi, adalah hukuman yang sama sekali tidak setimpal ketimbang perbuatannya yang menewaskan anak-anak bangsa. 135 jumlah korban meninggal dunia, akibat kejahatan dua aparat kepolisian tersebut, bukanlah sejumlah jari manusia. Jadi, apabila jumlah korban dihitung potongan jari pelaku, maka mustahil para pelaku akan mampu membayar perbuatannya!
Vonis Mahkamah Agung terhadap dua polisi yang dibebaskan, juga bukan vonis yang memuaskan rasa keadilan keluarga korban. Dua tahun pemenjaraan, dan ditambah banding, adalah hukuman yang hanya meredam situasi, tapi bukan hukuman yang memperbaiki situasi. Polisi yang dihukum itu, nantinya masih dapat menjabat sebagai anggota aktif, dan suatu hari dapat mengulangi perbuatannya untuk menghilangkan nyawa manusia–menjadi monster haus darah.
Dengan menyebut nama mereka yang telah mendahului kami di Pintu 13…
Pada 7 September 2023 yang lalu, Laporan Model B kami yang tersendat-sendat di Polres Malang, resmi ditanggapi dengan penghentian penyelidikan, atau yang artinya diberhentikan prosesnya. Ini sangat menyakiti hati dan rasa keadilan kami sebagai keluarga korban yang ditinggalkan. Kami membayangkan, begitulah perjuangan anakanak kami untuk hidup, yang nafasnya sudah tersendat-sendat, dan pada akhirnya harus berhenti. Mungkin, rasanya lebih menyakitkan ketimbang yang kami rasakan hari ini.
Padahal dalam laporan model B tersebut setidaknya disanalah keadilan yang kami harapkan benar-benar kami gantungkan. Para pelaku pembunuhan keluarga kami, mulai pelaku penembak lapangan, pelaku pengendali penembak, pelaku aktor intelektual hingga penyelenggara dan juga penanggungjawab keamanan dengan laporan tersebut harus mempertanggungjawabkan apa yang telah mereka perbuat. Namun dengan dihentikannya penyelidikan atas laporan model B tersebut, menyeret mereka semua ke meja hijau sebagai pintu terakhir pemutus keadilan seakan sirna dan sekali lagi para penjahat mendapat jaminan impunitas dari negara.
Badai seakan tak pernah berhenti menerjang perjuangan kami. Seakan semua dilakukan secara rapi dan saling berkaitan, selang beberapa hari setelahnya renovasi Stadion Kanjuruhan ahirnya benar-benar dilaksanakan paska penghentian penyelidikan. Rekonstruksi kejadian yang seharusnya menjadi gambaran utuh atas apa yang sebenarnya terjadi di TKP tidak pernah dilaksanakan ditempat kejadian perkara. Pada proses penangan laporan model-A tragedi tersebut alih-alih rekonstruksi digelar di Stadion Kanjuruhan, rekonstruksi kejadian malah dilaksanakan di lapangan Mapolda Jatim tertanggal 19 Oktober 2022. Tentu lapangan Mapolda Jatim tidak cukup mewakili gambaran situasi pada saat tragedi tersebut berlangsung dikarenakan kondisi yang benar-benar berbeda seperti tidak adanya tribun, pintu keluar, dan lainya. Karena itu, kami merasa sangat terpukul ketika mendengar bahwa pemerintah berencana melakukan renovasi Stadion Kanjuruhan yang berpotensi merusak dan mengubah TKP yang menjadi akhir sejarah hidup anak-anak kami.
Dengan menyebut nama mereka yang mendahului kami di Pintu 13 akibat sesak nafas dan berdesakan…
Kebrutalan polisi dalam mengamankan pertandingan sepak bola yang menewaskan korban jiwa bukanlah yang pertama kalinya terjadi. Dari peristiwa Arogansi Aparat Tiga Juni (Arapagani) di Surabaya yang menewaskan Purwo Adi Utomo pada tahun 2012, hingga pengeroyokan Fahreza pada 2016 hingga tewas oleh polisi di Jakarta, memperlihatkan bahwa peristiwa yang sama terus berulang.
Campur tangan polisi secara berlebihan dan kuat ini tidak lepas dari peran yang dimainkan PSSI sebagai induk sepak bola nasional yang mengatur regulasi dan segala macam ketetapan. Lewat Perjanjian Kerjasama (PKS) PSSI dengan Polri, tugas pengamanan pertandingan yang semula dimainkan oleh Steward dan diatur dalam peraturan FIFA & PSSI, sepenuhnya dialihkan kepada pihak polisi. Liga yang bergulir, dengan siapapun sebagai operatornya, tunduk kepada regulasi yang diciptakan PSSI, dan apabila regulasi tersebut bukanlah peraturan yang baik, maka hasil dari berlangsungnya sepak bola akan sama buruknya.
Sementara itu, Perkapolri tahun 2019, menyatakan bahwa penggunaan Gas Air Mata dalam penanganan massa dibenarkan. Sedangkan sepak bola, adalah olahraga massa. Olahraga yang dihadiri puluhan bahkan ratusan ribu orang dalam stadion. Sehingga, adalah benar bagi polisi untuk menggunakan Gas Air Mata dalam mengendalikan ribuan orang yang berada di dalam stadion. Dengan porsi pengamanan yang sudah diberikan oleh PSSI melalui PKS. Jika ada sesuatu yang lebih terhormat dari fair play, maka itu adalah kedudukan polisi dalam sepak bola.
Apabila tidak ada usaha penuntasan berupa peradilan yang adil, perbaikan institusi dan tata kelola, serta perubahan secara menyeluruh, Tragedi Kanjuruhan hanya akan menjadi catatan masa lalu dalam daftar panjang kasus kebrutalan polisi pada masyarakat sipil yang menewaskan korban jiwa. Kita tidak akan pernah tahu, kapan ia akan terulang kembali, dimana, dan berapa banyak lagi yang harus menjadi korban kebiadaban polisi di stadion. Jelas, harusnya Negara paham, tidak ada keluarga manapun yang rela anaknya mati dalam pertandingan sepak bola.
Dengan menyebut nama mereka yang mendahului kami di Pintu 13 karena sesak nafas dan berdesakan akibat pintu yang terkunci…
Genap satu tahun sudah, perbuatan tidak adil dan beradab yang menginjak-injak nilai kemanusiaan dalam Pancasila berlalu. Ironis! Bahwa perbuatan aparat kepolisian di Hari Kesaktian Pancasila menjadi perbuatan Negara yang paling keji dan berdarah dalam sejarah sepak bola yang disaksikan dan menimbulkan ketakutan bagi ribuan Rakyat Indonesia. Kemanusiaan yang adil dan beradab, sudah bukan lagi nilai luhur yang dimiliki Negara dalam memperlakukan rakyatnya sendiri.
Buktinya, anak-anak kami, yang jenazahnya tergelimpang dan tercecer di tempat ini dengan mulut berbusa dan wajah membiru setahun yang lalu, adalah korban kebrutalan, dan ketidakberadaban aparat. Bukanlah akibat dari kasih sayang dan humanisme yang selama ini dikampanyekan para polwan di akun instagram Polres atau lewat siaran TV.
Kebrutalan aparat kepolisian dan Brimob dalam pertandingan 1 Oktober 2022 di Stadion Kanjuruhan adalah kiamat yang harus kami tanggung dengan biaya yang tak mampu kami bayar. Kehilangan seorang anak, dan anggota keluarga dalam pertandingan sepak bola, adalah perpisahan yang sangat menyedihkan yang tak pernah kami bayangkan sebelumnya. Pertandingan sepak bola di Stadion Kanjuruhan adalah pertandingan biasa yang tak pernah diimajinasikan menimbulkan petaka paling mengerikan buat bangsa Indonesia, dan kami, keluarganya yang menanti di rumah. Biasanya, teh hangat, atau makan malam, selalu kami hidangkan saat anak anak pulang. Kini, makan malam itu tak pernah lagi serupa, tak pernah lagi ada. Sepak bola, telah berubah wajah setelah peristiwa Tragedi Kanjuruhan. Bukannya sepak bola semakin menyenangkan dan humanis buat semua orang, tetapi semakin mengkhawatirkan dan mengancam keselamatan anak-anak bangsa!
Dengan menyebut nama mereka yang mendahului kami di Pintu 13 karena sesak nafas dan berdesakan akibat pintu yang terkunci sehingga kalian menjebol ventilasi…
Dalam ikhtiar kami sepanjang tahun, keluarga korban Tragedi Kanjuruhan untuk mengungkap kebenaran dan mencari keadilan, selalu ada cara yang dilakukan polisi dan pemerintah untuk menghalang-halangi, menjegal, dan menghentikan langkah keluarga korban. Kalau kita ingat, pada bulan Oktober 2022, polisi mengintimidasi keluarga korban yang mengajukan otopsi jenazah anaknya dengan datang beramai-ramai dan membawa sejumlah uang sebagai bahan tukar guling. Mereka pikir, anak-anak kami ini adalah kambing etawa atau sapi limosin yang kematiannya bisa dibayar dengan uang!
Otopsi jenazah dua anak kami yang menjadi korban, diumumkan dengan hasil bahwa mereka terinjak-injak, bukan sesak nafas. Padahal bukti-bukti dan kesaksian telah mengatakan bahwa kondisi jenazahnya tidak wajar dengan indikasi asfiksia. Yang
terinjak-injak, bukanlah anak-anak kami, tetapi keadilan dan hak asasi manusia.
Polisi, sampai hari ini, masih mendatangi rumah-rumah kami, terus menerus tanpa henti. Kami dirayu dengan uang, rumah, dan kekayaan, bahkan ada yang menawarkan kami pernikahan dengan anggota polisi! Anak-anak dan keluarga kami yang tersisa, dirayu untuk menjadi polisi dengan jalur pintas. Mereka menjanjikan kami banyak hal, tapi tak satupun yang mampu menggantikan kehadiran anak-anak kami. Mereka juga merayu kami lewat agamawan yang tersebar di Kabupaten Malang. Kami yang menuntut keadilan akan diruqyah. Kami dianggap kerasukan setan. Padahal, setan sebenarnya sedang bersembunyi dibalik jubah kekuasaan, dibalik jabatan.
Pihak Arema FC, mencoba menghentikan kami lewat antek-anteknya yang tersebar di hampir setiap wilayah. Kami dirayu, dibujuk, hingga diancam, oleh para preman dan orang bayaran yang terkait dengan manajemen Arema FC. Kami diiming-imingi uang, dijanjikan hadiah, tetapi, kami yakin, bahwa anak-anak kami yang mati dalam pertandingannya, TIDAK MENGINGINKAN KEMENANGAN APAPUN KECUALI KEMENANGAN KEADILAN.
Dengan menyebut nama mereka, keluargamu, juga keluargaku; Agus Riyansah, Arnol, Bregi, Eka, Jovan, Jefri, Natasya, Nawi, Putri, Sifwa, Wildan, dan semua yang berulang tahun tanpa keadilan…
Dan untuk mengakhiri pidato panjang ini, dan sebagai bentuk komitmen terhadap perjuangan keadilan untuk para korban Tragedi Kanjuruhan, maka kami, Jaringan Solidaritas Keadilan Korban Kanjuruhan (JSKK), beserta seluruh massa aksi yang hadir dalam peringatan 1 Tahun Tragedi Kanjuruhan, menyatakan sikap sebagai berikut:
- Menuntut proses hukum yang adil dan tuntas, serta transparan terhadap seluruh pihak yang terkait dan bertanggung jawab dalam Tragedi Kanjuruhan 1 Oktober 2022;
- Menuntut Presiden RI, Joko Widodo sebagai kepala pemimpin tertinggi eksekutif yang mana kepolisian dan kejaksaan berada dibawanya untuk menghentikan impunitas kepada para pelaku Tragedi Kanjuruhan;
- Mendesak Presiden RI, Joko Widodo sebagai pemimpin tertinggi dengan otoritas yang telah rakyat amanatkan untuk memaksa pihak kepolisian dan pihak lain yang terkait untuk menjalankan rekomendasi tim yang dibentuk atas Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2022 (TGIPF) atas Tragedi kanjuruhan;
- Menuntut Presiden RI, Joko Widodo bersama dengan Kementerian PUPR untuk menghentikan proyek renovasi Stadion Kanjuruhan sebelum rekonstruksi sebagai gambaran utuh kejadian benar-benar dilaksanakan di tempat kejadian perkara;
- Mendesak Presiden RI, Joko Widodo bersama dengan DPR-RI untuk segera melakukan evaluasi serius terhadap penggunaan Gas Air Mata dalam pengendalian massa;
- Menuntut Kapolri untuk segera menerbitkan Peraturan Kapolri terkait moratorium Gas Air Mata yang ditujukan ke warga sipil;
- Menuntut Kapolri untuk segera menindak tegas kejanggalan terhadap penghentian penyelidikan Laporan Model B di Polres Kabupaten Malang dan mengambil alih penanganan proses hukum ke Bareskrim Mabes polri;
- Mendesak Komnas HAM agar menetapkan Tragedi Kanjuruhan sebagai peristiwa Pelanggaran HAM Berat;
- Mendesak KPAI, Komnas Perempuan, Ombudsman dan lembaga lain yang dibentuk atas perintah undang-undang untuk terus memonitoring, mengawal serta membersamai keluarga korban serta semua pihak yang terlibat dalam perjuangan untuk keadilan korban Tragedi kanjuruhan;
- Menuntut PSSI selaku induk organisasi sepak bola nasional untuk melakukan perbaikan dan perubahan secara menyeluruh terutama terkait aspek keselamatan dan keamanan dalam pertandingan sepak bola; menetapkan tanggal 1 Oktober sebagai hari duka sepak bola nasional dengan ditiadakannya jadwal pertandingan sepak bola pada tanggal tersebut, baik di liga profesional hingga amatir, untuk mengingat, mengenang, dan menghargai para korban Tragedi Kanjuruhan; menghimpun diri ke dalam satu barisan dalam rangka merebut keadilan bagi para korban;
- Menuntut PSSI selaku induk organisasi sepak bola nasional untuk melakukan
- Menyerukan kepada seluruh keluarga korban Tragedi Kanjuruhan untuk kajian ulang terhadap Perjanjian Kerja Sama (PKS) PSSI Polri serta dampak yang ditimbulkan atasnya;
- Menuntut PSSI selaku induk organisasi sepak bola nasional untuk solidaritas dari gerakan mahasiswa, pelajar, buruh, perempuan, dan lain-lain untuk bersama-sama kami, keluarga korban kanjuruhan, menuntut diadakannya perubahan pada sektor keamanan;
- Menyerukan kepada seluruh Arek-arek Malang serta simpul-simpul
- Menyerukan kepada seluruh Arek-arek Malang serta simpul-simpul solidaritas dari gerakan mahasiswa, pelajar, buruh, perempuan, dan lain-lain untuk bersama-sama kami, keluarga korban kanjuruhan, menuntut diadakannya perubahan pada sektor keamanan; solidaritas dari gerakan mahasiswa, pelajar, buruh, perempuan, dan lain-lain untuk bersama-sama kami, keluarga korban kanjuruhan, menggalang solidaritas antar warga terdampak kekerasan polisi;
- Bersolidaritas kepada warga Tamansari, Dago Elos, Pakel, Rempang-Galang, Bara-baraya, Poco Leok, Halmahera Timur, Wawoni dan titik-titik api lain yang sampai hari ini masih berjuang seperti kami untuk mendapatkan secercah harapan akan keadilan;
Sekian petikan perjuangan dalam rangka peringatan satu tahun tragedi berdarah ini, terimakasih kami ucapkan dan hormat kami berikan kepada arek-arek malang termasuk saudara-saudara kami 8 tahanan arek malang yang hari ini harus meringkuk dibalik dinginya tembok penjara serta seluruh kawan-kawan yang sampai detik ini masih setia dibarisan juang.
Ditengah situasi yang semakin tidak berpihak pada korban ini besar harapan kami bahwa momen ini benar-benar menjadi refleksi, intropeksi, sekaligus momen untuk saling menyatukan dan saling menguatkan gerakan perjuangan ini
Hidup Korban! Jangan Diam! Lawan!
Hormat Kami,
Jaringan Solidaritas Keluarga Korban (JSKK)
Turut Bersolidaritas:
– Arek Malang
– Tim Advokasi Tragedi Kemanusiaan (TATAK) Kanjuruhan
– Tim Hukum Gabungan Aremania
– YLBHI-LBH Pos Malang
– LPBH-NU Kota Malang
– Aliansi Suara Rakyat (ASURO)
– Komite Aksi Kamisan Malang
– Komite Pergerakan Arema Kampus (Kompak)
– Arema Negeri Singa (ANS) UM
– Arema Kampus Biru Brawijaya (AKBB) UB
– Makassar Suporter Collective
– Bandung Supporter Alliance
– Aliansi Suporter Surakarta
– Surakarta Melawan
– Pandalungan
– Leftyouth Gresik
– Aliansi Supporter Surakarta
– Clown Crew
– Hooligans 1932
– Perpus O2 Bekasi Timur
– District Pontianak
– Aliansi perpustakaan jalanan pasuruan
– Tepi baca x tulung baca
– Paguyuban literasi malang
– Perpusjal Rebo Cibubur
– Pasar gratis serang
– Pustaka jalanan surabaya
– Ruang bebas uang pringsewu
-Progo Party Poopers