Rabu, 27 September 2023, ratusan massa Aliansi Masyarakat Adat Poco Leok kembali berkumpul di Simpang Tiga Lungar dan Lingko Meter, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara TImur (NTT) untuk melakukan penghadangan terhadap kedatangan pihak PT PLN dan Pemerintah Kabupaten Manggarai ke Poco Leok.
Menurut rilis Aliansi Masyarakat Adat Poco Leok yang diterima Trimurti, upaya ukur lahan PLN ini dihadang ratusan warga dari sepuluh komunitas adat di Poco Leok, mulai dari komunitas Masyarakat Adat Gendang Mucu, Mocok, Mori, Nderu, Cako, Ncamar, Rebak, Jong, Tere, dan Lungar.
Sumber yang sama juga menyebutkan penghadangan terjadi menyusul surat pemberitahuan dari pihak PLN yang diterima warga Poco Leok Selasa, 26 September 2023. Dalam surat tersebut disebutkan bahwa PT PLN akan datang bersama tim Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP)/Appraisal untuk melakukan penilaian penggantian wajar hasil identifikasi dan inventarisasi lapangan untuk wellpad D, E, dan F di Poco Leok.
Penghadangan pada hari tersebut merupakan aksi penghadangan ke-19 dari Aliansi Masyarakat Adat Poco Leok yang melibatkan massa dengan jumlah lebih besar.
Aksi penghadangan tersebut dimulai sejak pukul 07.30 WIT. Mulanya, yang berdatangan dari setiap kampung berkumpul di satu titik, yakni di Simpang Tiga ‘Bupati Kaku’. Selang satu jam kemudian, warga sudah memenuhi Simpang Tiga Lungar.
Beberapa warga yang berkumpul di lokasi tersebut berinisiatif untuk pergi ke Lingko Meter dan Lingko Ndajang guna memantau situasi dan bersiap ‘menyambut’ kedatangan rombongan PT PLN dan Pemerintah Kabupaten Manggarai. Sebab, kedua lokasi tersebut merupakan akses masuk menuju Poco Leok.
Sambil menunggu kehadiran rombongan PT PLN dan Pemerintah Kabupaten Manggarai, mereka menabuh gong dan gendang sambil bernyanyi dan meneriakkan yel-yel perjuangan diiringi oleh alat musik adat yang dianggap oleh warga sakral, yakni gong dan gendang.

Rombongan PT PLN dan Pemerintah Kabupaten Manggarai pun akhirnya tiba di Simpang Tiga Lungar pada pukul 10.10 WIT menggunakan dua mobil Lux hitam. Rupanya, kedatangan mereka dikawal oleh 6 aparat kepolisian. Ada 3 aparat kepolisian yang mengenakan baju dinas, 3 lainnya menggunakan baju bebas.
Masih dari sumber yang sama, seorang yang warga yang tidak ingin disebutkan namanya menduga bahwa orang yang duduk di kursi depan adalah Kapolres Manggarai.
Salah seorang anggota kepolisian yang mengawal rombongan tersebut turun dari mobil dan mendebat warga selama 20 menit. Sementara pihak PLN dan beberapa polisi yang lain berada di dalam mobil.
Aksi penghadangan yang dilakukan oleh warga pun berhasil. Rombongan yang dikawal oleh aparat kepolisian bubar jalan dari Simpang Tiga Lungar.
Sementara itu di Lingko Meter, tiga aparat kepolisian datang menggunakan dua sepeda motor. Tiga polisi yang berpakaian biasa tersebut berusaha merangsek masuk ke wilayah Poco Leok melalui jalur tersebut. Sama seperti aparat yang mengawal rombongan di Simpang Tiga Lungar, mereka pun mendebat warga yang tengah menghadang.
Menurut penuturan seorang warga bernama Yudi Ongal kepada Betahita.id, salah satu warga yang menjaga mengatakan alasan penghadangan tersebut kepada ketiga polisi yang memaksa masuk.
“Kami menjaga tanah kami. Selama ini yang datang bersama pihak PLN adalah kepolisian. Kami tau bahwa bapak adalah polisi dan bapak pada hari ini (26/09/2023) datang bersamaan dengan pihak PLN, makanya kami menghadang bapak,” kata Yudi menirukan warga tersebut sebagaimana dikutip Betahita.
Yudi menambahkan, dalam perdebatan tersebut warga lainnya berteriak mengusir mereka. Namun, aparat tersebut tak betul-betul pergi dari Lingko Meter. Rupanya mereka tengah bersiap dengan aparat lainnya dalam jumlah yang cukup banyak untuk menembus barikade warga dalam rangka mengawal rombongan PLN dan Pemerintah Kabupaten Manggarai.
Masih dikutip dari Betahita, menurut penuturan warga lainnya yang bernama A. Sukarno rombongan tersebut akhirnya putar balik puku 16:00 WIT diikuti warga yang juga membubarkan diri dari lokasi penghadangan
Geothermal Poco Leok: Proyek Rakus Lahan yang Didanai Investasi Jerman
Poco Leok merupakan gunung berapi yang berada di bagian barat Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Poco Leok mencakup 13 kampung di tiga desa, di Kecamatan Satar Mese yakni Desa Lungar, Mocok, dan Golo Muntas.
Dalam artikel yang dipublikasikan oleh mongabay.id, pemerintah melalui PT PLN hendak melakukan perluasan Geothermal di Ulumbu, Kabupaten Manggarai. Ada pun lokasi pengembangannya terletak di Poco Leok, dan terdapat sekitar 60 pengeboran.
Proyek Geothermal di Poco Leok ditujukan untuk menaikan kapasitas Geothermal Ulumbu yang saat ini menghasilkan 7,5 MW menjadi 40 MW.
Sebagaimana yang dikabarkan oleh Betahita.id, proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) atau Geothermal Ulumbu unit 5-6 di Poco Leok, Nusa Tenggara Timur (NTT) rupanya didanai oleh Kreditanstalt für Wiederaufbau/KfW (Bank Pembangunan dan Investasi Jerman). Hal tersebut diungkapkan oleh Kepala Divisi Advokasi Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Muhammad Jamil, yang selama ini ikut mendampingi warga Poco Leok.
Jamil mengungkapkan, KfW menandatangani perjanjian hutang langsung tanpa jaminan pemerintah dengan PT PLN untuk pendanaan Geothermal Energy Programme sebesar 150 juta EUR pada Oktober 2018. Dana hutang KfW tersebut ditujukan untuk membiayai pengembangan Unit 5 Geothermal Ulumbu, dan Unit 2 dan 3 Geothermal Mataloko.
Tak heran KfW mau menggelontorkan dana ratusan juta euro. Rupanya, bank pembangunan dan investasi asal Jerman tersebut melihat Flores sebagai pulau yang memiliki potensi panas bumi hampir 1.000 MW dengan cadangan sebesar 402,5 MW.
Jika perusahaan finansial luar menilik pulau di wilayah timur ini sebagai lanskap tak bertuan yang bisa dijarah kekayaannya, maka pemerintah Indonesia dan perusahaan nasional berperan sebagai petugas administrasi dan ‘tukang’ yang menawarkan rencana tersebut.
Gelagat ini sudah tampak sejak pemerintah melalui SK Menteri ESDM No.2268 K/MEM/2017 menetapkan Flores sebagai Pulau Panas Bumi. Tentunya, hal yang terjadi kemudian adalah ancaman kerusakan ekologi dan warga-warga yang akan terusir lahannya.
Dikutip dari penelitian yang berjudul Penentuan struktur sistem panas bumi berdasarkan data geologi dan data gempa mikro daerah Ulumbu, Flores, tampak bahwa proyek ini sangat rakus lahan. Jika ditotal berdasarkan jumlah komplek Geothermal dari Komplek Mandosawu, Ranakah, Poco Leok dan Ulumbu lahan yang terpakai mencapai jumlah 3.800 Ha. Sementara berdasarkan data geoportal.esdm.go.id, luasan lahan wilayah kerja Geothermal Ulumbu mencapai 18.280 Ha. Dapat dibayangkan seberapa banyak penduduk yang akan terusir dari lahannya apabila proyek ini berjalan.

Dalam wawancaranya bersama Mongabay, Warga Poco Leok, Servasius Masyudi, menyatakan menolak proyek geothermal karena bukan kebutuhan prioritas warga saat ini. Persoalan pangan lebih penting.
Poco Leok dikelilingi bukit curam sehingga rawan terjadi longsor dan banjir. “Hujan terjadi sepanjang tahun dan kampung-kampung berdekatan. Kami kuatir terjadi bencana bila ada proyek geothermal,” tuturnya.
Servasius mengatakan, kebutuhan listrik di wilayah lain bukan menjadi alasan untuk mengeksploitasi geothermal di wilayahnya.
“Warga tidak mau dikorbankan hanya untuk kesejahteraan orang lain,” ujarnya.
Untuk itulah, sejak wacana pembangunan Geothermal di Poco Leok mulai beredar, warga telah melakukan berbagai aksi dan audiensi ke berbagai instansi Pemerintah Kabupaten Manggarai dari mulai Bupati, DPRD, ATR/BPN Manggarai, hingga ke Kementerian ESDM dan PT PLN di Jakarta pada 8 Maret 2023 lalu.
Selain itu, warga juga telah dua kali menyurati Bank KfW, yakni pada 5 Juli 2022 dan 2 Agustus 2023 sebagai tanggapan warga atas surat balasan KfW pada 5 Juli 2022. Melalui kedua surat itu, warga Poco Leok mengingatkan KfW untuk menghentikan pendanaan atas proyek geothermal di Poco Leok dan Mataloko, Flores.
Penulis: Ilyas Gautama
Editor: Hendro Kartiko