Categories
Kabar Perlawanan

Omnibus Law RUU Cipta Kerja: Lingkungan Semakin Rusak, Buruh Informal Semakin Marak.

Trimurti.id, BandungSenin (23/02/2020). Kritik tajam terus tertuju pada Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja, sebelumnya dinamai RUU Cipta Lapangan Kerja. Kali ini kritik datang dari pemerhati lingkungan hidup dan agraria, yakni Adrianus Eriyan, peneliti dari Indonesia Centre For Enviromental Law (ICEL), Meiki W. Paendong, Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat, dan Dianto Bachriadi, peneliti dari Agrarian Resource Centre (ARC).

Ketiganya tampil sebagai pembicara pada diskusi bertajuk “RUU Cipta Kerja: Iklim Baik Bagi Investasi, Mimpi Buruk Bagi Ekologi, yang diselenggarakan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung pada Jum’at, 21 Februari 2020.

Sebagaimana diketahui, pemerintah ingin DPR segera mengesahkan rancangan Omnibus Law ini, untuk menyederhanakan peraturan guna memperderas arus investasi. Menurut Adrianus, jika RUU Omnibus Law ini diloloskan, kewenangan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota akan banyak terpangkas dan beralih ke pemerintah pusat. Sementara, demi kemudahan berusaha, pengusaha hanya perlu mengurus ijin berusaha dan tidak perlu lagi mengantungi ijin lingkungan.

“(Pasal) ini yang bakal jadi masalah ke depannya, makin banyak lagi pelanggaran izin yang menimbulkan konflik antar pemerintah dan masyarakat. Yang dirugikan, lebih banyak lagi,” ucap Adrianus. Lebih lanjut ia menambahkan, jika diteliti lebih dalam, keseluruhan RUU Omnibuslaw Cipta Kerja ini akan lebih menguntungkan pengusaha maupun investor.

Untuk membendung RUU ini, Adrianus mengusulkan masyarakat untuk menempuh judicial review dan audiensi dengan DPR. Jika suara protes itu tidak digubris, masyarakat perlu melalukan protes lebih besar lagi, agar gaungnya menembus  tembok parlemen. Perubahan akan terjadi “apabila kelompok masyarakat dan mahasiswa yang bergerak,” ujarnya.

Berdasarkan pengalamannya dalam menangani kasus-kasus lingkungan, Meiki W. Paendong mengulas kerunyaman yang bakal terjadi ketika pengusaha tidak lagi disyaratkan untuk melakukan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) untuk mendapatkan ijin lingkungan. Bahkan jauh hari sebelum RUU Omninus Law, sudah banyak protes yang dibungkam. Utamanya protes dari masyarakat yang terkena dampak pembangunan proyek-proyek strategis semisal tambang batubara dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).

“Penyusunan AMDAL, sejak dulu memang masalah. Di beberapa tempat, ada rekayasa, orang-orang dipilih, agar seolah-olah ada partisipasi dari masyarakat,” tutur Meiki. Akan ada ancaman bahaya yang lebih yang lebih besar lagi bilamana ijin AMDAL dikelola secara penuh oleh pemerintah pusat.

Meiki menambahkan, melalui Omnibus Law, pemerintah rupanya ingin menggenjot investasi di sektor industri ekstraktif seperti pertambangan batubara, agar swasta semakin tergiur menjadi kontraktor yang memproduksi listrik untuk dijual ke PLN. Bisnis jual-beli listrik ini pulalah yang ditengarai membuat harga jual listrik setiap tahun semakin mahal.

***

Dampak Penggusuran: Maraknya Informalisasi di Sektor Perburuhan.

Sementara Dianto Bachriadi mewanti-wanti dampak Omnibus Law yang akan menambah banyaknya kasus penggusuran, dan disusul dengan maraknya  informalisasi di sektor perburuhan.

Mengawali uraiannya, Dianto mengupas tentang skema pengadaan tanah yang tertera pada UU No 12 tahun 2012 tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum dan RUU Pertanahan. Skema pengadaan tanah, semula hanya untuk 18 jenis proyek, sekarang diperluas menjadi 23 jenis. Sesudah ditambahkannya lima jenis pengadaan tanah, yakni untuk kawasan ekonomi ekslusif, kawasan industri, kawasan pariwisata dan “kawasan lain.”

Melalui Omnibus Law RUU Cipta Karya, pemerintah menggulirkan rencana untuk membentuk Bank Tanah agar proses pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan bisa berlangsung cepat.  Selain itu, RUU ini menciptakan adanya Hak Pengelolaan, suatu jenis hak atas tanah. Hak tersebut bersifat fleksibel. Dianto mengingatkan, dengan adanya hak ini, instansi pemerintah, BUMN/BUMD, Bank tanah dan instansi lain yang ditetapkan oleh pemerintah akan menjelma menjadi calo dan tuan tanah.

Dianto mengambil contoh dari kasus penggusuran Taman Sari di Bandung. Warga Taman Sari digusur dari lahan yang mereka tempati, sesudah pemerintah kota Bandung berencana membangun rumah deret. Bertahun-tahun sebelum penggusuran, pemerintah kota Bandung menarik uang sewa dari penduduk Taman Sari. Menurut Dianto, penarikan uang sewa tersebut merupakan bukti konkrit bahwa pemerintah kota bertindak sebagai calo dan tuan tanah.

“Penyewaan tanah adalah konsep kolonial, dan dalam UU Agraria (hal itu) tidak diperbolehkan!”tegas Dianto. Ia mengingatkan, seperti terjadi di Taman Sari, ribuan lahan di Bandung bisa diklaim kapan saja oleh oleh pemerintah kota.

Pasal-pasal dalam RUU Ominbuslaw Cipta Kerja akan membuka sebesar-besarnya peluang dan ruang bagi pemilik modal untuk menguasai lahan; dan pemerintah akan semakin diletakkan sebagai penyedia lahan. Dampaknya, semakin banyak masyarakat yang tergusur dari ruang hidupnya, lalu kehilangan tanah dan pekerjaan, dan terlempar ke sektor informal seperti industri jasa. Dengan status kerja yang tidak jelas, diupah rendah, dan tanpa jaminan sosial serta kesehatan.

“Menolak Omnibus Law aja gak cukup.” Karena yang lebih perlu untuk dipersoalkan adalah tindakan pemerintah yang menerapkan undang-undang mirip jaman kolonial.

Diskusi tentang Omnibus Law ini dihadiri sekitar lima puluh orang peserta yang berasal dari serikat buruh, serikat petani, dan mahasiswa. Salah seorang buruh peserta diskusi, menegaskan kembali ancaman penggusuran dan kemerosotan lingkungan, dan menyerukan,  “saat ini, bagi saya, persatuan rakyat dibutuhkan untuk menolak Omnibus Law.”

 

Reporter: Rendra Soejono