Trimurti.id, Bandung – Puluhan massa yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Menggugat (ALARM) menyelenggarakan Kopdar Rakyat Menggugat Negara pada Senin, 13 Juli 2020, di Taman Cikapayang, Dago, Kota Bandung. Kopdar alias kopi darat dipilih sebagai medium bagi massa yang terdiri dari berbagai latar belakang untuk mengungkapkan penolakan mereka terhadap Rancangan Omnibus Law atau Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker).
Dalam acara tersebut, buruh, mahasiswa, hingga pelajar, silih berganti menyatakan aspirasi politiknya menggunakan megafon. “Saya rasa tidak ada waktu untuk bersembunyi, tidak ada waktu untuk berdiam diri, kita harus sesegera mungkin untuk melawan kebijakan yang semakin merugikan kita dan terang-terangan dikeluarkan oleh pemerintah,” tegas Iwan, buruh harian lepas yang sehari-hari bekerja lebih dari 12 jam tanpa upah lembur.
Bagi Iwan, nasibnya sebagai buruh akan semakin buruk dari sebelumnya jika Omnibus Law disahkan. Apalagi di saat pandemik seperti sekarang, upahnya yang pas-pasan justru dipotong oleh perusahaan dengan alasan merugi.
Senada dengan Iwan, Windy, pelajar sekolah menengah kejuruan (SMK), melihat nasibnya sebagai calon buruh akan semakin tak menentu. Jika Omnibus Law disahkan, lanjut Windy, ia bisa kapan saja dipecat karena pasal-pasal yang melindungi hak-hak buruh di UU Ketenagakerjaan justru dihilangkan.
“Saya tidak ingin jika setelah lulus saya harus bekerja tanpa upah layak, udah gitu harus jadi buruh kontrak sampai waktu yang saya gak tau sampai kapan,” ungkap Windy.
Dalam rilis yang dibagikan sore itu, ALARM juga mengangkat persoalan pentingnya mempersatukan perjuangan buruh dan pelajar yang selama ini terpisah. “Pemecatan orang tua pelajar yang juga buruh, menjadi variabel lain yang perlu diperhatikan. Sebab para buruh yang dipecat tidak bisa menyekolahkan anaknya.”
Pernyataan ALARM itu, berkaitan dengan PHK sepihak yang baru-baru ini dialami sepuluh buruh pengurus Serikat Buruh Mandiri Federasi Serikat Buruh Militan (SBM-FSEBUMI) di pabrik tekstil CV Sandang Sari, Bandung. Mereka dipecat karena menggelar aksi, menuntut perusahaan membayar tunjangan hari saya sesuai UU Ketenagakerjaan. PHK itu membuat mereka kesulitan mencari biaya pendidikan anak-anaknya.
“Sekarang saya harus berpikir keras, mencari cara untuk bisa membayar sekolah, memenuhi kebutuhan sehari-hari dan membayar biaya kesehatan,” ujar Aminah, salah satu buruh CV Sandang Sari, saat berorasi.
Aminah dipecat karena memprotes pemotongan upah sebesar 65%. Menurut Aminah, upah minimum regional (UMR) yang selama ini diperoleh sudah terbilang pas-pasan. Alih-alih memenuhi hak buruh, perusahaan justru memecat Aminah dan sembilan kawannya.
“Bukannya memihak kepada buruh, pemerintah justru bekerja sama dengan pengusaha untuk memangkas hak buruh demi keuntungan mereka sendiri,” tutur Aminah.
Aminah sangat mengapresiasi acara Kopdar Rakyat Menggugat Negara. Menurutnya, acara ini memungkinkan rakyat saling menggalang kekuatan melawan kerja sama negara dan korporat dalam menindas rakyatnya.
Reporter: Abdul
Editor: Dachlan Bekti