Trimurti.id, Bandung–Pada Senin, 13 Juli 2020 kemarin, warga Taman Sari yang menolak penggusuran, bersama Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Jawa Barat, menghelat konferensi pers untuk mengecam langkah yang diambil Pemerintah Kota (pemkot) Bandung, bertempat di reruntuhan pemukiman Taman Sari.
Bagi warga Taman Sari, apalagi di tengah pandemi Covid-19, Pemkot Bandung lebih baik bekerja sebaik-baiknya untuk memenuhi hak kesehatan warga negara, daripada melakukan pengukuran lahan dan menerbitkan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) guna melancarkan proyek rumah deret.
Untuk diketahui, pada Jum’at, 6 Juli 2020, warga Taman Sari kedatangan petugas surveyor yang melakukan pengukuran di lahan warga. Warga tentu saja tidak setuju berkeberatan dengan proses pengukuran itu. Dan di tengah proses pengukuran, orang tidak dikenal berulah melakukan pembakaran. Api membesar tapi untungnya tidak sampai melahap hunian warga. Kemudian diketahui bahwa pengukuran lahan tersebut dilakukan untuk memenuhi syarat pembangunan rumah deret.
Sehari sesudah pengukuran lahan dan insiden pembakaran tersebut, dalam siaran persnya, Kepala Bidang pada Dinas Perumahan Kawasan Permukiman Pertanahan dan Pertamanan (DPKP3) kota Bandung, Nunun Yanuati, menyatakan untuk proyek rumah deret akan dimulai. Tahap pertama adalah pembangunan masjid. Berikutnya, pembangunan fondasi bangunan.
Tindakan Pemkot tersebut membuat berang warga Taman Sari. Terutama karena warga Taman Sari menolak penggusuran; sementara penggusuran yang telah dilakukan membuat warga menderita banyak kerugian material dan imaterial.
Eva Eriyani, warga Tamansari, mempertanyakan komitmen dan tanggungjawab Pemkot Bandung terhadap kerugian yang diderita warga Taman Sari. Pemkot Bandung diketahui mengalokasikan dana sekitar Rp 60 Milliar lebih untuk pembangunan rumah deret. Sekitar Rp 43 Milliar telah disisihkan untuk penanganan Covid 19, dan sekitar Rp 10 Milliar dianggarkan untuk membiayai kontrak rumah warga—yang setuju menerima ganti rugi—plus pembangunan pondasi bangunan rumah deret. Bagi Eva Eriyani, lahan di Tamansari—sesuai dengan amanat UUPA No. 35 Tahun 1965—semestinya dibiarkan dihuni dan dihidupi oleh warga sudah menghuninya sejak lama.
Di tengah pandemi Covid-19 pembangunan rumah deret tetap berlangsung. Padahal, jauh lebih penting bila pemerintah mengurusi soal kesehatan warga. “[perhatian Pemerintah Kota Bandung] soal kesehatan, sampai hari ini pun gak ada sama sekali,” papar Eva. Kemudian, dia menambahkan, di tengah pandemi saat ini, tidak ada bantuan sosial dan jaminan kesehatan semisal tes Covid-19 gratis, pembagian disinfektan, masker wajah, dan bahan makanan bergizi.
Keluhan yang sama meluncur dari mulut Ridwan, warga Taman Sari yang bertahan dari penggusuran. Sejak adanya pandemi, pendapatan Ridwan sebagai pengemudi ojek online turun drastis dan membuat kehidupan keluarganya morat-marit.
“Ya makin susah bangetlah, mana rumah gak ada, rapid test harus bayar Rp 350 ribu ditambah penumpang sepi,” ujarnya.
Di akhir sesi konferensi pers, warga Taman Sari menegaskan, penggusuran yang dilakukan pemerintah membuat warga sungguh-sungguh mempertanyakan peran dan fungsi Pemkot Bandung sebagai pengurus publik di dalam tatanan bernegara.
Reporter : Baskara Hendarto
Fotografer : Oktober Lita