Categories
Kabar Perlawanan

Buruh Migran Perempuan dalam Siklus Kekerasan yang Tak Berkesudahan

Trimurti.id, Bandung—Bagi sebagian orang, bekerja di luar negeri di tengah sulitnya mencari kerja di tanah sendiri, utamanya di Arab Saudi mungkin menjadi impian. Upah yang berkecukupan dan kesempatan untuk menjalankan ibadah umroh/haji merupakan daya pikat tersendiri. Namun, impian itu dihancurkan oleh kenyataan masih banyaknya kasus kekerasan yang menimpa buruh migran asal Indonesia.

Sebagaimana terungkap dari Siaran Pers Solidaritas Perempuan di Jakarta pada, Senin 25 Januari 2021, korban kekerasan kali ini adalah ibu NAM, yang telah bekerja selama 21 tahun di Arab Saudi.

NAM, perempuan 21 tahun kelahiran Sulawesi Selatan, kini tengah berjuang untuk dapat bertemu ibunya, NT.

“Baru empat bulan umur saya, ibu terpaksa meninggalkan saya untuk berangkat bekerja ke Arab Saudi. Saat ini, setelah 21 tahun lamanya, hanya ingin bertemu dan dipeluk ibu, namun ibu dipukul dan dirantai di Arab Saudi.” kata NAM.

NT merupakan perempuan asal Sulawesi Selatan yang terpaksa meninggalkan NAM, anak pertamanya, untuk bekerja sebagai buruh migran di Arab Saudi sejak tahun 2000. Namun selama perjalanannya, NT mengalami penipuan pada saat sebelum keberangkatan, hingga perlakuan buruk majikan sampai akhirnya dia memilih kabur dari majikannya.

Semua itu harus diterima NT dengan harapan akan perbaikan ekonomi serta kehidupan yang lebih layak bagi keluarganya.

Pada 2016, NT menikah dengan RIAA yang diketahui merupakan seorang kepala Madrasah di Mekah. Sayangnya, pernikahan tersebut justru menyebabkan NT terancam kehilangan nyawanya di Arab Saudi. Sepanjang pernikahan NT, NAM kerap menerima kabar dari sang ibu perihal perilaku suaminya.

Larangan bekerja, hingga kekerasan dialami oleh NT semenjak menikah. NT seringkali dipukuli oleh RIAA hingga memar di bagian tangan, kaki dan paha. Lebih buruk lagi, suaminya tersebut juga menuduh NT melakukan praktik sihir kepada dia dan keluarganya.

Untuk diketahui, tuduhan menggunakan ilmu sihir di Arab Saudi merupakan tuduhan yang paling serius. Vice pernah mencatat, dua buruh migran dari Indonesia hampir dihukum mati akibat tuduhan praktik ilmu sihir yang dilaporkan oleh majikannya.

Pada kesempatan lain, NAM bahkan harus menyaksikan ibunya diancam dan dicambuk dengan ikat pinggang melalui video call. Saat NAM ingin merekam pemukulan tersebut, RIAA justru mengambil handphone dan mematikannya. Setelah kejadian itu mereka tidak pernah mengangkat telepon dari NAM.

Pada tanggal 14 Juli 2020, NT menghubungi keluarganya di kampung dan mengatakan, “tolongka, dirantai kakiku di WC dan saya titip anakku.”

Hari itu adalah terakhir kalinya keluarga mendengar kabar dari NT. Sejak saat itu pula, NT tidak dapat dihubungi baik melalui IMO dan Whatsapp.

Keluarga Perempuan Buruh Migran Mendesak Negara Hadir Memberikan Pelindungan

Organisasi non-pemerintah Solidaritas Perempuan, mencatat bahwa sepanjang pandemi Covid 19, berbagai kasus kekerasan dan pelanggaran hak masih terus dialami perempuan buruh migran.

Menurut laporan kasus yang diterima Solidaritas Perempuan, Arab Saudi menempati urutan kedua negara tujuan yang paling banyak dilaporkan. Hal tersebut, menurut Solidaritas Perempuan, sekaligus menunjukkan bahwa kebijakan penghentian penempatan Pekerja Sektor Perseorangan (domestik) ke Timur Tengah bukanlah solusi dari berbagai persoalan buruh migran yang terjadi di negara tersebut.

Menurut Musdalifah Jamal, Ketua Badan Eksekutif Komunitas Solidaritas Perempuan Angin Mammiri, Makassar, kasus kekerasan dan pelanggaran yang dialami NT dan banyak perempuan buruh migran lainnya membuktikan ketidakhadiran negara dalam memberikan pelindungan terhadap Warga Negaranya di Luar Negeri.

Selain itu, selama tiga tahun kehadiran Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI), menurut Musdalifah, pemerintah kerap kali mangkir dalam menjalankan mandat untuk menyelesaikan peraturan turunan sehingga perempuan buruh migran tetap rentan dan tidak mendapatkan pelindungan dari negara.

“Pemerintah tidak berdaya memastikan keselamatan dan pelindungan warga negaranya yang berada di luar negeri meskipun alamat dan nomor HP suami NT sudah diketahui. Padahal, kasus ini menyangkut hidup dan nyawa NT,” ujar Musdalifah Jamal.

Oleh karenanya, Musdalifah mengatakan, negara memiliki kewajiban untuk melindungi hak-hak NT, sebagai buruh migran maupun sebagai warga negara, sebagaimana diatur secara tegas di dalam Konstitusi UUD 1945, UU No.6 Tahun 2012 tentang Ratifikasi Konvensi Migran 90, maupun instrumen HAM lainnya.

“Karenanya negara harus melakukan langkah-langkah pembelaan dan penanganan serius yang berbasis Hak Asasi Manusia sebagai wujud bukti hadirnya negara untuk melindungi warganya, dalam hal ini NT yang merupakan perempuan buruh migran.”

Berbagai upaya untuk menyelamatkan ibunya dilakukan oleh NAM bersama Solidaritas Perempuan Anging Mammiri Sulawesi Selatan. Laporan ke beberapa instansi pemerintah kerap tidak direspon optimal dengan alasan KTP NT yang tidak tercatat di data kependudukan Sidrap, Sulawesi Selatan dan tidak tercatatnya data NT di kantor imigrasi Provinsi Sulawesi Selatan.

Selain itu, upaya NAM untuk melaporkan kasusnya ke Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) juga terkendala karena minimnya data sehingga diarahkan langsung melaporkan ke Direktorat Perlindungan WNI-BHI Kementerian Luar Negeri (Dit PWNI-BHI). NAM bersama Solidaritas Perempuan pun melaporkan kasus yang dialami NT dan melakukan audiensi dengan KJRI Jeddah, BP2MI dan Dit PWNI-BHI pada 3 November 2020.

Dari audiensi tersebut, diketahui lokasi dan kontak RIAA, suami NT. Pelaporan dan audiensi juga dilakukan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Akan tetapi, setelah lebih dari lima bulan kasus NT dilaporkan, sampai saat ini pemerintah belum bisa mengetahui dan memastikan keberadaan serta keselamatan NT.

Sampai pada akhirnya, tak ada lagi sesuatu yang dapat dilakukan NAM untuk dapat bertemu ibunya sesegera mungkin selain terus berharap dan berdo’a agar ibunya tetap selamat di kejauhan sana. “Harapan saya ada kabar dan ibu saya bisa dipulangkan. Itu sudah lebih dari cukup.”

Reporter: Syawahidul Haq

Editor: Agus Saragih