Trimurti.id, Semarang–Di tengah robohnya pelayanan kesehatan masyarakat sejak Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat, Koalisi Rakyat Bantu Rakyat (KOBAR) Jawa Tengah mencatat beberapa hal penting. Dalam siaran pers mereka, Selasa (20/07/21), disebut bahwa dalam konteks nasional, tujuh bantuan yang dijanjikan Jokowi belum juga nampak.
Sejak PPKM Darurat berlaku, pengetatan lalu lintas, penutupan pedagang kecil, hingga pengambilan paksa barang dagangan terus terjadi di Jawa Tengah. Anehnya, pabrik-pabrik masih beroperasi tanpa ada informasi berapa jumlah buruh yang terinfeksi Covid-19. Bagaimana penanganannya? Apakah buruh yang melakukan isoman mendapat kelayakan dari pabrik? Bagaimana jaminan kesehatan buruh? Informasi itu seolah ditutupi kabut tebal.
Salah satu buruh PT Djarum, Karang Bener, Kab. Kudus, menjelaskan kondisi operasional di pabrik kepada kontributor Trimurti.id, “Ya, pabrik masih beroperasi dengan 60% buruh yang masuk kerja. Buruh linting harian yang melakukan isoman tidak mendapat uang (insentif) dari pabrik.”
Seperti dikutip dari Genpi.co, Plt. Bupati Kudus Hartopo menerapkan aturan operasi pabrik adalah 50% dari jumlah buruh. Walaupun nampaknya tidak ada sanksi berat bagi pabrik yang melanggar aturan.
Semarang menjadi sorotan ketika tindakan brutal Satpol PP terhadap warung-warung kecil viral di media sosial. Beberapa pedagang di Semarang yang warungnya disegel harus membayar denda Rp5 juta dan menandatangani kesepakatan, alih-alih mendapat insentif dari pemerintah. PPKM Darurat pada akhirnya menjadi lumbung mengeruk keuntungan.
Sejak dibentuk pada tanggal 4-8 Juli 2021, KOBAR Jateng setidaknya menghimpun banyak protes dan amarah dari berbagai kota. Penanganan buruk PPKM Darurat seperti pemadaman lampu kota hingga penutupan warung hanya menyisakan keganjilan di benak rakyat. Sementara pemandangan pabrik-pabrik di Pantura masih beroperasi 3 sif tanpa ada penerapan PPKM Darurat secara ketat.
Minimnya Informasi Layanan Kesehatan dan Ketersediaan Vaksin
Indikasi robohnya layanan kesehatan di Jawa Tengah selama PPKM Darurat tercermin dari, salah satunya, kelangkaan oksigen. Lonjakan harga oksigen semprot dari Rp50 ribu ke Rp100 ribu – Rp275 ribu, sedangkan oksigen tabung yang berkisar di angka Rp850 ribu – Rp1.200 ribu. Kelangkaan oksigen berimbas pada hal lain, yaitu operasi. Laporan mengenai ketersediaan oksigen ini datang dari Surakarta dan Semarang.
Selain oksigen, minimnya informasi layanan kesehatan ada pada suplai obat dan logistik. Di Semarang, warga isoman tidak mendapat insentif dan obat-obatan dari lembaga-lembaga kesehatan terdekat seperti Puskesmas.
“Ketika ada warga yang bertanya soal insentif berupa obat-obatan ke Satgas Covid 19, malah dijawab warga harus lebih pro-aktif menghubungi lembaga kesehatan seperti Puskesmas. Ini kami diping-pong ke sana ke mari demi akses obat-obatan,” tukas salah satu warga Semarang yang terhimpun di KOBAR Jateng.
Dari Brebes dikabarkan bahwa tes swab habis di sana ketika banyak warga terinfeksi Covid-19. Setidaknya ada tiga kecamatan yang kesulitan mendapat alat SWAB.
Ketersediaan vaksin juga bermasalah di tahap sosialisasi dan penerapan. Banyak warga yang akhirnya takut untuk melakukan vaksinasi. Seperti di Wedung, Demak, salah seorang warga ada yang dijanjikan diberi uang Rp50 ribu agar mau divaksin. Jelas hal tersebut merupakan kegagalan sosialisasi dari pemerintah. Sementara para buruh dan pedagang yang harus tetap bekerja dalam kerumunan tidak memiliki layanan baik untuk vaksinasi.
Reporter: Jauzatul
Editor: Dachlan Bekti