Trimurti.id, Bandung — Merampas, merusak, dan tak memiliki izin. Itulah potret Proyek Strategis Nasional (PSN) PLTU di Jawa Barat. Gambaran tersebut disampaikan oleh beberapa narasumber dalam acara “Sorotan PSN Pembangkit Listrik Tenaga Uap atau PLTU di Jawa Barat”, yang berlangsung pada Senin, 3 Februari 2025, di Gedung Indonesia Menggugat, Kota Bandung.
Dalam acara yang dihadiri oleh sekitar 70-an orang tersebut, Direktur Walhi Jabar, Wahyudin, mengatakan bahwa pembangunan Proyek Strategi Nasional (PSN) ikut merampas hak asasi manusia.
“Karena kegiatan pembangunan ini selalu dipaksakan pemerintah dan mengesampingkan masalah lingkungan dan keselamatan manusia,” jelas Wahyudin.
Dia mencontohkan mata pencaharian nelayan di laut yang perlahan hilang karena wilayah tangkap ikan yang semakin jauh. Namun, dampak yang dirasakan oleh nelayan tidak hanya di laut. Di daratan, lahan-lahan milik warga juga dirampas untuk mengakomodir pembangunan PLTU.
Wahyudin melanjutkan, derita warga Indramayu yang tinggal di sekitar wilayah PLTU juga diperparah oleh dampak kesehatan yang ditimbulkan oleh Proyek Strategis Nasional (PSN) tersebut.
Dari hasil riset dan kajian mengenai dampak pangan dan kesehatan warga, tren penyakit infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) meningkat secara drastis.
“Walau Puskesmas tidak mau menyampaikan (penyebab) hal itu, salah satunya (adalah) dari abu PLTU,” ujarnya.
Perlu diketahui, menurut Wahyudin, warga yang terdampak masalah kesehatan tersebut paling banyak adalah anak usia 2-7 tahun serta kalangan lanjut usia.
Berbagai dampak yang ditimbulkan oleh PLTU di Jawa Barat seolah tidak dihiraukan oleh pemerintah. Pasalnya pemerintah berencana membangun satu lagi PLTU di Jawa Barat dengan kapasitas 2×660 megawatt (MW) di wilayah Cirebon.
Direktur LBH Bandung, Heri Pramono, mengatakan bahwa PLTU Tanjung Jati A sempat digugat oleh pihaknya karena izinnya tidak memuat analisis dampak lingkungan emisi gas rumah kaca (GRK) dan kontribusinya terhadap pemanasan global serta perubahan iklim.
“Putusan hakim menerima gugatan kami dengan pertimbangan bahwa dalam proses pembuatan izin lingkungan, pemerintah tidak mempertimbangkan aspek perubahan iklim,” terang Heri saat dikonfirmasi via Whatsapp, Selasa, 4 Januari 2025.
Heri menambahkan, saat ini pihaknya tengah mengajukan gugatan hukum di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta kepada Menteri Energi Sumber Daya Mineral, agar PLTU Tanjung Jati dikeluarkan dari Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL).
Sebelumnya, upaya gugatan juga pernah dilakukan pada PLTU 2 Indramayu dengan daya 2.000 megawatt (MW) di Desa Sumur Adem, Kecamatan Sukra, serta Desa Mekarsari, Desa Patrol Lor, Desa Patrol Baru, Kecamatan Patrol, Kabupaten Indramayu.
Gugatan tersebut dilakukan karena izin PLTU 2 Indramayu dikeluarkan oleh pihak yang tidak memiliki wewenang bahkan tanpa mengantongi Surat Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup (SKKLH). Berbagai birokrasi yang semestinya ditempuh oleh PLTU 2 Indramayu menimbulkan kesan bahwa proyek ini seakan dipaksakan.
Bahkan menurut Heri, warga sekitar tidak mendapatkan informasi, apalagi dilibatkan dalam terbitnya keputusan tentang kegiatan pembangunan PLTU yang berkapasitas 2×1.000 megawatt (MW) tersebut.
Tidak adanya ruang partisipasi bagi masyarakat juga disoroti Walhi Jabar dalam kaitannya dengan implementasi Hutan Tanaman Energi dan Industri Sawdust (serbuk gergaji) di Jawa Barat.
“Sosialisasi tidak partisipatif, implementasi tidak efektif. Contohnya, di wilayah Sukabumi, penyemaian tanaman energi dilakukan di tahun 2022, tetapi ditinggalkan begitu saja,” ujar Wahyudin.
Hutan Tanaman Energi adalah sumber biomassa yang digunakan dalam pembakaran bersama dengan batubara. Proses ini disebut co-firing. Proses ini diklaim lebih ramah lingkungan hanya karena mencampur bubuk gergaji dengan batubara.
Tentu, klaim tersebut dengan mudah terbantahkan. Salah satunya melalui temuan Walhi Jabar, menyebutkan bahwa pembakaran tersebut justru melepaskan sebanyak 26,48 juta ton emisi baru.
Selain itu, keberadaan Hutan Tanaman Energi yang diklaim dapat menyerap emisi pembakaran dari PLTU juga ngawur. Rupanya, menurut Walhi Jabar, terdapat potensi deforestasi sekitar 1 juta ha serta potensi konflik di wilayah hulu terkait lahan KHDPK (Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus) yang digunakan sebagai Hutan Tanaman Energi.
Reporter: Abdul Harahap
Editor: Nana Miranda