Trimurti.id, Bandung—“Mudah-mudahan, awal Januari [kasus positif COVID-19] berkurang,” Imas berharap.
Sayang, harapan itu jauh dari kenyataan. Jumlah kasus Covid-19 di Indonesia ternyata terus merangkak naik. Hingga Selasa 26 Januari, tercatat ada 1 juta kasus positif, dengan 28.468 orang lainnya meninggal dunia dan 820.356 sembuh.
Menurut Lapor COVID-19, sepanjang Maret hingga 26 Januari 2021, tenaga kesehatan yang meninggal jumlahnya sudah mencapai 654 orang. Mayoritas adalah dokter, sebanyak 278 orang, disusul perawat, 210 orang. Keduanya adalah profesi kesehatan yang paling banyak berhubungan dengan pasien.
Laporan yang sama mengatakan, kematian tenaga kesehatan melonjak terus setiap bulan. Puncaknya terjadi pada Desember 2020 ketika jumlah yang meninggal mencapai 127 orang.
Covid-19 merenggut nyawa banyak tenaga kesehatan di seluruh dunia. Di balik statistik angka kematian yang tercantum di atas, ada cerita pengalaman dari para tenaga kesehatan, yang sejak awal Maret 2020 mati-matian menanggulangi bencana global ini.
November 2020 lalu, reporter Trimurti berbincang dengan dua perawat yang bekerja di salah satu rumah sakit swasta di Bandung. Mereka adalah Imas (40) dan Eva (39).
Menurut Imas, sesudah wabah Covid-19 melanda, rumah sakit segera mengetatkan disiplin. Semua tenaganya diminta untuk mematuhi protokol kesehatan. Para perawat disiagakan 24 jam dengan pengaturan waktu 3 shift.
“Yang jelas, di rumah sakit itu full banget bednya,” katanya.
Rumah sakit tempatnya bekerja mulanya membatasi layanan karena kurangnya alat perlindungan diri. Namun, pasien terus berdatangan. Kegawatan yang meningkat memaksa rumah sakit menambah fasilitas perawatan.
“Tiap hari kita harus ngerujuk terus. Sementara ngerujuk itu susah punya tempatnya. Pasien kasian menunggu. Kalau yang gawat kan berisiko,” jelas Imas saat ditemui pada Kamis 15 November 2020 lalu.
Menurut dia, sejak pandemi melanda, alat perlindungan diri belum tersedia cukup. Imas dan kawan-kawan terpaksa merogoh uang dari kantung sendiri untuk membeli alat seperti masker, sarung tangan, dst.
“Kasarnya mah mending ngemodal daripada kita celaka sendiri,” katanya.
Eva, sejawat Imas, menceritakan bagaimana dia dihampiri perasaan takut dan tertekan. “Perasaan takut tertular. Kita juga punya keluarga. Punya anak, punya suami.”
Penuturan Imas agak berbeda. Dia tidak merasa terlalu banyak dilanda ketakutan, karena banyak tempat hiburan dan belanja, mall, café, mulai buka. Baginya, seperti halnya alat pelindung diri yang harus dipenuhi sendiri, ketakutan adalah risiko yang juga harus diatasi sendiri.
“Kami berusaha untuk menenangkan diri. Jalani apa adanya. Malah kalau dibikin stress, daya tubuhnya menurun. Kami lebih rentan soalnya.”
Setiap Minggu Ada yang Tertular
Cerita lain datang dari Ita (bukan nama sebenarnya). Ita baru beberapa bulan bekerja di bagian layanan BPJS di sebuah rumah sakit di Purwakarta.
Dia mengatakan, mengikuti lonjakan kasus harian, beban kerja para tenaga kesehatan otomatis meningkat. Sementara itu, risiko tertular terus mengintai. Karena itu, tenaga kesehatan diwajibkan untuk menjalani tes cepat serology. Jika hasilnya reaktif, mereka wajib mengurung diri selama dua minggu di rumah sakit.
“Dan, setiap minggu ada saja karyawan yang reaktif dan harus diisolasi,” jelasnya saat dihubungi melalui percakapan Whatsapp, Sabtu 23 Januari 2021.
Untuk menanggulangi beban kerja yang meningkat, dan menggantikan tenaga yang kedapatan hasil tesnya reaktif, jam kerja ditambah. Selain itu, rumah sakit merekrut tenaga baru.
Beruntung, sejauh ini semua tenaga kesehatan selamat dari Covid-19. “Semoga dengan adanya vaksin juga bisa jadi salah satu solusi yang lebih baik,” tandas Ita.
Kondisi Pekerja Kesehatan di Tiap Negara
Berdasarkan laporan Amnesty International,Terpapar, Dibungkam, Diserang: Kegagalan Melindungi Pekerja Kesehatan dan Esensial selama Pandemi COVID-19 (2020), hingga 5 Juni 2020, di 73 negara di seluruh dunia, lebih dari 3000 tenaga kesehatan meninggal karena COVID-19 dan penyebab terkait.
Di beberapa negara, tenaga kesehatan mengalami peningkatan beban kerja. Bahkan sejak awal, beban kerja tenaga kesehatan sudah sangat tinggi. Meningkatnya jumlah pasien menyebabkan beban kerja bertambah secara signifikan.
Menurut laporan ini, di Paraguay, seorang tenaga kesehatan mengatakan, “sebelum COVID-19, kami dulu sering beristirahat. Tetapi dengan COVID, tidak mungkin untuk mendapatkan istirahat [di tempat kerja].”
Seorang tenaga kesehatan lain dari Afrika Selatan, yang telah berhenti kerja karena terinfeksi COVID-19, mengungkapkan kekhawatirannya selama pandemi. Selain stress akibat kelelahan, malangnya dia adalah seorang dokter pengganti —yang hanya akan diupah ketika bekerja.
“Yang menjadi masalah besar bagi saya adalah betapa lelahnya kami semua berturut-turut merawat satu pasien ke pasien berikutnya, yang mengakibatkan banyak dari kami secara tidak sengaja menyentuh wajah, membuat kami terpapar virus.”
Laporan Amnesty International juga mengungkapkan, tidak semua negara dengan sigap segera menambah jumlah tenaga kesehatan untuk menanggulagi wabah ini. Semestinya negara-negara tersebut segera merekrut lebih banyak tenaga dan melibatkan lebih banyak relawan dalam sistem kesehatan masyarakat.
Lebih lanjut, laporan itu mengatakan, “pendekatan yang lebih luas sangat penting untuk memastikan bahwa tenaga kesehatan dan layanan esensial memiliki dukungan psikososial yang mereka butuhkan di tempat kerja.”
Angka penularan Covid-19 di Indonesia hingga hari ini belum kunjung menurun. Langkah bijaksanakah menganjurkan orang untuk tetap pergi berwisata?
Reporter: Syawahidul Haq
Editor: Agus Saragih