Trimurti.id—Malang nasib Jeyasre Kathiravel. Pada 5 Januari 2021 lalu, perempuan 20 tahun itu diketemukan sudah tak bernyawa. Jeyasre adalah buruh pabrik garmen Natchi Apparels, perusahaan pemasok pakaian untuk merek terkenal H&M. Pabriknya terletak di negara bagian Tamil Nadu, India.
Tersangka pembunuhan adalah Thangadurai, supervisor di Natchi Apparels. Di depan yang berwajib, Thangadurai mengakui telah memperkosa dan membunuh Jeyasre. Sangkaan ini diperkuat pula oleh keterangan sejawat dan teman-teman Jeyasre, yang dalam beberapa bulan terakhir berulang kali melihat Thangadurai melecehkan Jeyasre secara seksual di pabrik.
Pembunuhan Jeyasre
Menurut keterangan keluarga dan teman-temannya, Jeyasre berangkat dari rumah pada 1 Januari 2021 sekitar siang hari setelah dihubungi dan diperintahkan pengawas untuk masuk kerja. Dari penyelidikan polisi, diketahui bahwa Jeyasre dibawa pengawas ke rumah salah seorang temannya. Keluarga menduga, di rumah inilah Jeyasre diperkosa dicekik hingga mati oleh supervisor dan begundalnya.
Waktu melaporkan kehilangan Jeyasre, keesokan harinya, keluarga menyebut si supervisor sebagai terduga pelaku. Alasannya ada beberapa. Orang sudah lama tahu, Thangadurai sering melecehkan Jeyasre. Dia pulalah orang terakhir berjumpa Jeyasre sebelum perempuan itu diketahui hilang. Thangadurai tersohor sering melecehkan buruh-buruh perempuan, dan Jeyasre bukanlah satu-satunya korban. Semula menyangkal, Thangadurai akhirnya mengakui perbuatannya.
Jeyasre diketemukan penggembala ternak pada 5 Januari 2021 di sebuah lahan kosong. Mayatnya diketemukan sudah membusuk akibat hujan deras berhari-hari. Jadi, diperkirakan akan sulit untuk mendapatkan bukti kekerasan dan pemerkosaan dari pemeriksan mayat.
Namun demikian, dari keterangan para saksi, duduk persoalan sudah jelas. Karena supervisor di pabrik pemasok H&M itu dibiarkan berperilaku buruk, buruh perempuan muda itu jadi korban. Dan, korban adalah perempuan Dalit, suku yang kedudukannya dipandang sangat rendah.
Keterangan Saksi
Dari tujuh buruh Natchi Apparels yang memberikan keterangan, semua mengatakan bahwa pelaku berulang kali melakukan pelecehan seksual terhadap korban. Sudah lama pelaku punya kebiasaan buruk begitu. Keterangan tambahannya, dia bukan satu-satunya pelaku. Beberapa supervisor dan manager lainnya juga pelaku.
Para saksi mengungkapkan, pelecehan dan kekerasan seksual sering terjadi di pabrik. Dalam berbagai bentuk. Dari mulai panggilan dan siulan kurang ajar, perundungan, ancaman, dan pukulan.
Masalahnya, jika ada kejadian kekerasan seperti itu, buruh tidak tahu kemana harus melapor. Kalaupun melapor, kejadian kekerasan sukar dibuktikan, karena di tempat kerja tidak ada kamera pengawas. Padahal, pelecehan dan kekerasan seksual sangat dimungkinkan terjadi di pabrik. Karena 90% pengawas adalah laki-laki, sementara 90% buruhnya adalah perempuan.
Lebih merepotkan lagi, buruh tidak mempercayai saluran pengaduan yang disediakan pabrik. Pengaduan biasanya menguap begitu saja. Orang yang mengadu biasanya dipindahkan kerja ke bagian lain, seketika dibebani target produksi tinggi atau terkena hukuman lainnya.
Untuk diketahui, semua pabrik pemasok H&M wajib membentuk suatu komisi yang tugasnya menerima pengaduan dari buruh. Kenyataannya, buruh-buruh Natchi Apparels tidak tahu menahu tentang komisi tersebut, tidak tahu cara kerjanya, dan tidak tahu siapa sajakah anggota komisi tersebut.
Tentang kamera pengawas (CCTV), menurut para buruh kejadian kekerasan berbasis gender selalu sukar dibuktikan karena di ruang produksi tidak ada kamera pengawas.
Salah seorang buruh yang sudah tiga tahun bekerja, dan tidak ingin namanya disebutkan, memberikan keterangan berikut kepada pengurus serikat buruh:
“Kamera hanya dipasang di pintu masuk, di lorong, dan di dekat kamar kecil (toilet). Dipasang hanya untuk mengawasi siapa saja yang memasuki kawasan pabrik, untuk memantau buruh yang berkeliaran, atau berapa lama buruh berada di kamar kecil. Maksudnya, kamera dipasang hanya untuk mengawasi buruh, untuk mengetahui berapa lama buruh meninggalkan pekerjaan.“
“Di ruang produksi, CCTV malah tidak ada. Padahal, di situlah pelecehan sering terjadi. Karena itu, pelecehan seksual di pabrik sukar dibuktikan. Karena tidak ada kamera, manager bisa berbuat seenaknya.”
Saksi lainnya, juga tidak ingin namanya disebutkan, berpendapat bahwa para buruh “dibiasakan” menganggap pelecehan seksual di pabrik sebagai kejadian lumrah.
“Supervisor atau manager hampir tidak ada satupun yang perempuan. Padahal, hampir semua buruh adalah perempuan, usianya muda, dan berasal dari kota lain. Kalau mengalami pelecehan seksual di pabrik, mereka tidak bisa mencari pertolongan. Sebagai orang miskin, mustahil mereka berani mengadukan managernya. Takut dipecat dan tidak bisa menafkahi keluarga.
Buruh ini menambahkan, perempuan muda asal setempat seperti Jeyasre umumya bekerja delapan jam sehari untuk membiayai sekolah. Kalau dipecat dari pabrik, tamat sudah kesempatan mereka untuk melanjutkan pendidikan. Terpaksalah mereka diam menerima kondisi kerja buruk di pabrik.
Persoalan Lainnya di Pabrik
Kasus Jeyasre ternyata mengungkap pula bobroknya kondisi kerja di pabrik. Perusahaan kedapatan mengemplang upah, mengupah di bawah ketentuan upah minimum, tidak membayar upah lembur, menetapkan target produksi yang tinggi, dan memecat buruh mendekati akhir tahun untuk menghindarkan pembayaran bonus tahunan.
Satu orang buruh lagi melaporkan, “waktu lockdown Covid-19, upah tidak dibayar penuh. Sesudah lockdown dicabut, kami lembur terus dan upah lemburnya tidak dibayar.”
Lebih keterlaluan lagi, perusahaan menolak berurusan dengan serikat buruh. Menurut Thivya, ketua Serikat Buruh Tekstil dan Umum Tamil Nadu, “pabrik-pabrik di Dindigul, Tamil Nadu, termasuk Natchi Apparels, mengatakan bahwa, berdasarkan perintah pengadilan, tidak boleh ada kegiatan serikat. Karena pabrik-pabrik di sini terletak dekat Jalan Raya Nasional. Karena banyak kendaraan melaju dengan kecepatan tinggi, buruh dilarang berkumpul-kumpul di luar pabrik.”
“Waktu kami tantang, nyatanya pihak pabrik tidak dapat menunjukkan salinan surat perintah pengadilan tersebut.”
“Perintah pengadilan, yang tidak ada buktinya, selama bertahun-tahun digunakan untuk mencegah pembentukan serikat tingkat pabrik. Sejauh ini, kami mengorganisir buruh di kampung-kampung.”
Serikat Buruh Tektile dan Umum Tamil Nadu (Tamil Nadu Textile and Common Labour Union, TTCU) saat ini sedang mendampingi keluarga Jeyasre untuk mengusut kasus pembunuhan di atas. TTCU, berdiri pada 2013, merupakan serikat buruh khusus perempuan. Anggotanya 11.000, kebanyakan (80%) bekerja di sektor tekstil dan sandang, yang tersebar di pusat-pusat industri garmen di Coimbatore, Dindigul, Erode and Tirupur.
Artikel di atas merupakan hasil terjemahan dari Asia Floor Wage Alliance. Artikel aslinya dapat Anda baca di sini.
Penerjemah: Andi Gozali