Rabu malam, 6 Juni 2018, film dokumenter Halo-Halo Bandung diputar perdana di RW 11 Tamansari, Bandung. Berbagai kalangan, mulai dari warga RW 11 Tamansari yang menolak proyek rumah deret, warga Rancacili korban gusuran Jalan Karawang, sebagian warga Dago Elos, mahasiswa, hingga pelajar sekolah menengah, turut menyaksikan film produksi Nafsu Visual tersebut.
Halo-Halo Bandung menampilkan kontras antara pembangunan dan penggusuran yang ada di Kota Bandung. Penceritaan film tersebut fokus pada perlawanan rakyat melawan penggusuran serta nasib warga yang sudah tergusur, yang kini menempati Rumah Susun Sewa (Rusunawa) Rancacili.
Nafsu Visual, komunitas film yang terdiri dari tujuh mahasiswa jurnalistik UIN Sunan Gunung Djati, menggarap film itu secara kolektif untuk mengevaluasi kebijakan pemerintah terkait “relokasi”.
Bagus Ahmad Rizaldi, editor film tersebut, mengatakan bahwa istilah “relokasi” tidak sesuai dengan yang terjadi di lapangan. “Sebenernya kurang pas kalo disebut relokasi karena banyak menyalahi prosedur, jadi (lebih pas) isu ‘penggusuran’,” ujar Bagus seusai acara.
Menurutnya, Halo-Halo Bandung juga ingin merefleksikan program pembangunan pemerintah kota di Tamansari dan Jalan Karawang.
“Tamansari dijanjikan satu tahun jadi (percontohan) rumah deret, sementara warga Jalan Karawang sudah diiming-imingi janji serupa yang belum direalisasi hingga saat ini. Warga yang telah direlokasi jadi terlantar dan masih mengharapkan kembali lagi ke tempat asal,” sambungnya.
Terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi Nafsu Visual mengangkat tema penggusuran dalam karya dokumenter perdananya. Pertama, mereka melihat bahwa belakangan fakta-fakta di Tamansari kerap dibelokkan oleh beberapa media arus utama.
Kedua, keterlibatan mereka dalam pameran foto di beberapa agenda mahasiswa dan warga yang ada di titik konflik. Bagus menyebut Festival Kampung Kota di Dago Elos, Bandung, sebagai salah satu contohnya.
“Nah, dari situ keresahan kita mulai muncul, ingin lagi menggarap lebih dalam dan lengkap dengan bentuk audiovisual,” lanjut Bagus.
Faktor terakhir yang mendorong mereka membikin film itu lebih bersifat personal. Mayoritas personil Nafsu Visual merupakan mahasiswa tingkat akhir. Sebelum lulus, mereka ingin mendapat pengalaman berharga dari proses membuat karya jurnalistik.
“Pelajaran berharga banget bagi setiap anggota tim. Ke lapangan itu gak semudah yang dibayangin, contohnya waktu (merekam) bentrokan itu,” Bagus merujuk pada bentrok mahasiswa dan warga yang menolak proyek dengan warga dan ormas pro proyek rumah deret, Selasa malam, 6 Maret 2018.
Yoga Zara, seorang pengamat konflik agraria, mengapresiasi film berdurasi 64 menit tersebut. Menurutnya, Halo-Halo Bandung merupakan tindakan merebut legitimasi yang selama ini ada di tangan penguasa.
“Selama ini kan pemkot seenaknya melabeli pemukiman A sebagai kumuh, pemukiman B sebagai ilegal. Mereka juga mengiming-imingi hidup di tempat relokasi itu lebih enak. Label dan janji itu jadi pembenaran bagi pemkot untuk menggusur warga. Nah, film ini jadi medium untuk melawan dan menggugat bahkan merebut legitimasi tersebut,” ujarnya saat diskusi usai nonton bareng.**
Reporter: Dachlan Bekti
Redaktur: Ari Morgan