Sepanjang November 2023 tuntutan kenaikan upah bergejolak di berbagai tempat. Sementara para buruh menggalang aksi massa di jalanan, netizen ramai bergunjing di dunia maya, melontarkan tuduhan basi bahwa buruh tidak tahu diri. Sudah diberi pekerjaan tapi masih saja rewel banyak tuntutan.
Banyak juga netizen secara sukarela menempatkan dirinya sebagai juru bicara perusahaan sambil menakut-nakuti buruh. Kalau buruh banyak tuntutan perusahaan bakal hengkang, ucap mereka. Kunjungi saja konten-konten aksi massa buruh yang viral beberapa minggu ke belakang, dan -kalau ada waktu- silakan tanggapi balik komentar mereka.
Sudah? Jika sudah saya akan lanjut dengan beberapa cerita dari Semarang, Jawa Tengah. Sepanjang November 2023 aksi massa untuk menuntut perbaikan upah sudah berlangsung tiga kali di kota pelabuhan ini. (21, 28 dan 30 November 2023). Pada tiga kesempatan aksi massa ini para buruh menyuarakan protes terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023 (PP 51/2023) tentang Pengupahan, acuan terkini yang dipakai pemerintah untuk menetapkan upah minimum.
Mengikuti PP 51/2023 (pengganti PP Nomor 36/2021) upah minum ditentukan oleh tiga variabel yaitu: inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan suatu indeks tertentu yang dinamai alpha. Rumus penghitungan upah minimumnya mungkin baru. Masalahnya, rumus baru itu tetap saja tidak menggembirakan untuk buruh.
“Kami sangat kecewa ketika kenaikan UMK, yang dulu memakai pedoman pemenuhan kebutuhan hidup layak, hari ini (justru) ditetapkan oleh pemerintah dengan mengacu rumusan atau formula baru yang tidak lagi mengakomodir kebutuhan dasar hidup layak,” jelas Tabiin dari Serikat Pekerja Nasional (SPN) saat dihubungi Trimurti.id, Senin, 11 Desember 2023.
Sesudah dua kali aksi protes tak digubris, pada 30 November 2023 Tabiin dan kawan-kawan kembali berpawai dan berdemonstrasi di depan kantor Gubernur Jawa Tengah. Aksi berlangsung sejak pukul 10:00 WIB diikuti oleh sekitar dua ribuan massa aksi dari Serikat Pekerja Nasional (SPN), Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Federasi Serikat Pekerja Farmasi dan Kesehatan (FARKES) serta Serikat Pekerja Mandiri (SPM).
Hari itu pula massa aksi memblokir Jalan Pahlawan, mendesak untuk berbicara langsung dengan (pejabat) Gubernur Jawa Tengah, Nana Sudjana. Dan, begitulah. Pejabat setempat selalu punya seribu satu alasan untuk mangkir menemui buruh. Seperti sudah diduga, seperti semua pejabat Gubernur, Nana Sudjana mengabaikan tuntutan buruh dan menetapkan upah minimum berlandaskan pada PP 51/2023.
Beberapa hari sebelumnya Upah Minimum Provinsi (UMP) untuk 2024 ditetapkan sebesar Rp 2.036.947. Hanya naik Rp 78.778 dari tahun lalu. Dan, pada hari itu Gubernur mengeluarkan surat keputusan (SK Nomor 561/57 Tahun 2023) yang menetapkan upah minimum kota/kabupaten se Jawa Tengah untuk tahun depan. Upah minimum tertinggi adalah Rp3.243.969 (kota Semarang) dan yang terendah adalah Rp2.038.005,00 (kabupaten Banjarnegara).
Besaran upah minimum tersebut tentunya masih jauh dari harapan. Menanggapi hal itu, Tabiin berujar, perjuangan buruh tidak akan berhenti pada terbitnya SK Gubernur.
“SPN tetap akan melakukan perjuangan upah demi pemenuhan kebutuhan hidup buruh melalui kebijakan pemerintah lainnya yang diharapkan bisa mengcover dan meringankan beban pengeluaran buruh,” jelas Tabiin.
**
Semarang, metropolitan terbesar kelima di Indonesia, mendapatkan kekayaannya berkat keringat kaum buruh. Menurut Badan Pusat Statistik (2022), 137.293 buruh bekerja di 4.594 pabrik yang beroperasi di wilayah ini. Semarang beserta berbagai kota-kota industri di Jawa Tengah menggerakkan ekonomi Jawa Tengah. Industri pengolahan (manufaktur), salah satu yang terpenting, sepanjang 2021 menyumbang sepertiga (34,31%) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Tengah (bisnis.com). Puluhan tahun menggerakkan ekonomi Jawa Tengah dan bosan diupah murah, wajar saja jika kaum buruh menuntut pembagian kesejahteraan yang lebih adil. Sementara, besaran upah minimum saat itu tentu sangat tidak memadai, tidak memungkinkan buruh dan keluarganya untuk hidup layak.
Parahnya lagi, dengan upah minimum yang sudah rendah, di kota Semarang masih ada saja yang diupah di bawah ketentuan upah minimum. Dikutip dari solopos.com ada buruh yang mengaku mendapat upah sekitar Rp2,5 juta.
“Gaji saya Rp2,5 juta tiap bulan, itu pun belum dipotong [iuran] BPJS. Jadi jauh di bawah UMK, makanya kadang merasa kurang, kadang ngepres [pas],” ujar Maknun kepada Solopos.com, Kamis 2 November 2023.
Besaran upah minimum tahun ini tentu jauh dari harapan Tabiin dan kawan-kawannya di SPN. Mereka tahun ini secara mandiri menyelenggarakan Survey Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Menurut hitungan mereka, agar buruh dan keluarganya dapat hidup secara layak, buruh di Jawa Tengah seharusnya diupah setidaknya Rp4.000.000,00 per bulan.
Lain lagi hitung-hitungan dari buruh-buruh berbagai sektor industri di beberapa kota yang berhimpun dalam Komite Hidup Layak. Pada September-Oktober 2023 Komite ini menyelenggarakan survey pengeluaran rumah tangga buruh di Sukabumi (Jawa Barat), Kota dan Kabupaten Tangerang (Banten), Grobogan, Boyolali, Sukoharjo, Semarang (Jawa Tengah), kemudian Morowali dan Buol (Sulawesi Tengah). Dari survey ditambah serangkaian diskusi yang mereka lakukan, menurut Komite Hidup Layak pengeluaran rata-rata rumah tangga buruh adalah sebesar Rp9.299.666,65 per bulan. Rinciannya, pengeluaran untuk kebutuhan pangan adalah sebesar Rp2.332.641,44 (25,08 persen), dan untuk kebutuhan non-pangan adalah Rp6.967.025,21 (74,92 persen). Senada dengan Tabiin dan kawan-kawan, dalam siaran persnya Komite Hidup Layak menolak PP 51/2023.
Semata-mata dari dua survey di atas, segera tampak alangkah besarnya perbedaan antara upah minimum (kota/kabupaten) dengan pengeluaran nyata keluarga buruh di Semarang dan sekitarnya. Di tahun 2023 ini saja, UMK kota dan kabupaten Semarang masing-masing adalah Rp3.243.969 dan Rp2.582.287. Sementara, Komite Hidup Layak punya hitung-hitungan rata-rata pengeluaran buruh di Semarang adalah adalah Rp6.935.109.
Temuan lain yang menarik adalah tentang besarnya prosentase pengeluaran kebutuhan non-pangan, yang mencakup biaya pemeliharaan rumah dan perbaikan bulanan, biaya sekolah/kuliah anak termasuk iuran bulanan komite sekolah.
“Jenis pengeluaran non makanan itu bukan berarti buruh konsumtif, suka berfoya-foya apalagi tidak pandai mengatur keuangan. Karena yang dibeli oleh buruh adalah jenis barang yang dapat menunjang pekerjaannya, seperti sepeda motor untuk keperluan bekerja, memperbaiki tempat tinggal agar buruh dapat beristirahat,” jelas Koordinator Komite Hidup Layak Kokom Komalawati dalam siaran persnya.
Jika kesenjangan antara upah minimum dengan pengeluaran rumah tangga demikian besar, lalu darimana buruh “menambal” kekurangannya? Semua orang tahu jawabannya. Agar kebutuhan tercukupi buruh terpaksa mengambil kerja lembur atau mencari pendapatan sampingan. Obrolan yang berulang terdengar di lingkungan keluarga buruh adalah tentang si ini dan si anu yang mesti berhutang agar dapat bertahan hidup. Komite Hidup Layak menemukan, 76,8% responden survey memiliki hutang rata-rata Rp1.466.316,55 per bulan. Responden asal Kabupaten dan Kota Semarang serta Kabupaten Grobogan, seluruhnya merupakan buruh sektor pakaian-jadi (garment), rata-rata mempunyai hutang ke bank bahkan hingga belasan juta Rupiah yang harus dicicil setiap bulan. Seperti di kota industri lainnya, perjuangan buruh-buruh Semarang untuk hidup layak dan bermartabat rupanya masih panjang.
Penulis: Abdul Harahap
Editor: Suyatno