Dalam arti umum, pekerja yang tidak bertuan dan melakukan pekerjaannya dengan keahliannya sendiri, kemudian mendapatkan penghasilan dari pekerjaannya, biasanya disebut freelancer atau pekerja lepas. Dalam konteks kehidupan minoritas transpuan, banyak transpuan yang bekerja sebagai pekerja harian lepas dengan cara mengamen.
Di Daerah Istimewa Yogyakarta, ada puluhan transpuan yang bekerja dengan durasi lepas antara jam 9 pagi hingga jam 5 sore, atau bisa dimulai sore jika pada masa liburan. Mereka, baik secara perorangan maupun berkelompok, biasa menjadikan wilayah Proliman, Bogem, dan Prambanan, sebagai tempat untuk mencari rezeki.
Teman-teman transpuan termasuk ke dalam kategori penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) sehingga terbilang susah untuk mencari penghasilan. Untuk menyiasati kebutuhan bertahan hidup, mereka bekerja dengan cara mengamen. Sebagai pekerja harian lepas, teman-teman transpuan juga memiliki prosedur ketika mengamen. Tertib mengikuti antrean mengamen, misalnya, lalu tidak membawa senjata tajam, serta rajin mengolah keahlian atau skill mengamen dengan musik dan nyanyian.
Tantangan bagi Pengamen Transpuan
Terdapat sejumlah tantangan yang menyulitkan aktivitas ekonomi para pengamen transpuan. Pertama, teman transpuan masih mengalami keterbatasan untuk mencari pekerjaan. Syarat minimal untuk mendapat pekerjaan adalah mempunyai kartu tanda penduduk atau KTP, tapi untuk bisa mengakses formulirnya saja sulit, apalagi mengakses pendidikan dan pelayanan kesehatan.
Kedua, keberadaan Peraturan Daerah No. 1/2014 tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis (Perda Gepeng) kerap menjadi legitimasi bagi satuan polisi pamong praja (Satpol PP) untuk mengambil tindakan terhadap para pengamen di Yogyakarta. Perda tersebut melarang aktivitas mengamen karena dianggap mengganggu ketertiban umum.
Perda Gepeng menyebut bahwa pekerjaan menggelandang dikategorikan sebagai pekerjaan yang menimbulkan belas kasihan orang lain. Sering kali kegiatan mengamen door to door dan di lampu merah disalahpahami sebagai aksi menggelandang. Padahal peraturan tersebut mendefinisikan gelandangan sebagai warga yang tidak punya tempat tinggal dan mengembara ke mana saja tanpa tujuan yang jelas, dan tidak memiliki kartu tanda penduduk. Karena tidak memiliki tempat tinggal yang tetap, gelandangan dianggap mengganggu kenyamanan masyarakat.
Hal ini perlu dikaji kembali, sebab pengamen bekerja memakai tenaga dan alat. Pengamen juga mensyaratkan keahlian khusus dalam berkreasi, antara lain: berdandan serapi mungkin, menguasai cara menggunakan alat musik seperti gitar atau krecek, dan mampu menyanyi atau meniru gerakan nyanyian (lipsync).
Pengertian pengamen transpuan sebagai gelandangan atau pengemis gugur karena yang diandalkan pengamen bukanlah belas kasihan, melainkan kreativitas.
Seperti dua pengamen transpuan yang ada di Yogyakarta, Solihah dan Endang Urmila. Solihah mengamen menggunakan pakaian rapi dan alat musik bas betot. Sedangkan bagi Endang, kendati mengamen hanyalah pekerjaan sampingan, tata busana yang layak selalu ia perhatikan. Ia menata payet untuk busana yang ia jahit sendiri.
“Jika mengamen memakai baju sopan tentu saja akan lebih dihargai,” ujar Solihah. “Biasanya penghasilan jadi lebih berkah karena yang memberi uang ikhlas,” tambahnya.
“Mengamen dengan busana yang dijahit dengan payet dan rapi akan membuat orang lain menghargai tampilan kita,” kata Endang. Ia pun menambahkan, “Mengamen di jalan tentu saja harus menghargai ketertiban umum.”
Advokasi dan Dialog Penting Dilakukan
Advokasi pengamen sebagai pekerja harian lepas dilakukan karena dalam aktivitas mengamen terdapat durasi kerja serta membutuhkan profesionalisme dan ketertiban. Hal ini dapat dipertimbangkan sebagai kebebasan berekspresi karena teman transpuan sulit mendapat pekerjaan layak.
Mami Rully yang membidani Waria Crisis Center menambahkan, “Mengamen sebetulnya adalah bentuk eksistensi identitas transpuan. Bahwa kelompok itu sebenarnya ada dan perlu prioritas dan pendampingan dalam berbagai aspek.”
Teman transpuan yang mengamen akan terlihat oleh masyarakat dan sebetulnya pemerintah perlu diajak dialog untuk melahirkan solusi yang inklusif, yang dapat diterima sebagai manfaat positif bagi teman transpuan.
Dari diskusi di atas, advokasi pengamen transpuan sebagai pekerja harian lepas menjadi isu prioritas yang harus disuarakan. Sebab masih banyak ketimpangan akses yang dialami oleh kelompok transpuan. Penanggulangan awal bisa disosialisasikan dengan dialog bersama menggunakan pendekatan feminis.
Pendekatan feminis yang dilakukan tentu saja perlu kerja sama dengan berbagai pihak. Dengan Komnas Perempuan, misalnya, jika terjadi ketidakadilan sistemik atau dengan media perempuan untuk memberitakan realita yang terjadi pada kelompok transpuan. Aksi-aksi lain juga perlu dilakukan seperti melingkar untuk berdiskusi bersama, aksi turun ke jalan, aksi diam, serta aksi menuliskan keresahan sebagai bentuk solidaritas terhadap ketidakadilan yang dialami kelompok transpuan. Keadilan bagi semua golongan, gender, dan identitas, harus diwujudkan.
Penulis: Jessica Ayudya Lesmana
Editor: Dachlan Bekti