Categories
Kabar Perlawanan

Aliansi GERAK : Tolak UU Ketenagakerjaan Versi Pemodal

Trimurti.id, Bandung – Puluhan massa aksi yang tergabung dalam aliansi Gerakan Rakyat anti Kapitalisme (GERAK) menggelar aksi demonstrasi menolak rencana revisi Undang-undang Ketenagakerjaan (UUK) nomor 13 tahun 2003 dan menentang agenda besar neoliberalisme di Gedung Sate, pusat pemerintahan daerah provinsi Jawa Barat, Rabu, 28 Agustus 2019.

Sejak pukul 10 pagi WIB, melalui serentetan orasi, aliansi GERAK -terdiri dari elemen serikat buruh, mahasiswa dan pemuda- mengutarakan kemarahan mereka terhadap agenda ekonomi-politik kapitalisme, tepatnya kebijakan neoliberalisme yang tercurah di dalam berbagai paket deregulasi untuk memudahkan investasi seperti privativasi aset-aset negara dan sumber daya alam, liberalisasi ekonomi, komodifikasi lahan serta komodifikasi tenaga kerja.

Beberapa waktu ke belakang, pemerintah Indonesia mencanangkan rencana untuk merevisi UUK. Sementara revisi tersebut ditengarai kuat akan membuat buruh semakin tereksploitasi, lantaran pengusaha tidak akan dibebani kewajiban memenuhi jaminan sosial untuk kesejahteraan buruh. Revisi diduga kuat akan semakin memperdalam fleksibilitas tenaga kerja, membuat buruh semakin sulit mendapatkan jaminan pekerjaan tetap, kondisi kerja semakin buruk, dan upah semakin jauh dari layak.

Bahkan jauh sebelum revisi UUK, beberapa regulasi menyoal ketenagakerjaan sudah sarat dengan masalah. Untuk menyebut beberapa: PP Pengupahan 78/2015, Permenaker 26/2016 Pemagangan, UU 2/2004 Hubungan Industrial, Permenaker tentang Outsourcing, dan lainnya.

Diwawancarai seusai aksi, Syaiun, anggota Sebumi-KASBI, menyatakan bahwa, sekalipun ada undang-undang ketenagakerjaan, perampasan terhadap hak buruh sudah kerap dilakukan oleh pengusaha;  seperti pemberangungan serikat (union busting), membayar upah di bawah ketentuan, dan tidak adanya cuti haid bagi buruh perempuan yang bekerja di sektor pengolahan (manufaktur).

Ia mencontohkan pemberangusan serikat yang pernah terjadi di PT.Leuwijaya Textille, kemudian pratik memperpanjang jam kerja dengan sistem (kejar) target produksi, serta banyaknya kasus tidak dibayarkannya upah lembur, seperti yang terjadi di  di PT Kahatex, PT JSP, PT San-san serta PT Nam-Nam.

“Jadi menurut saya, revisi ini lebih melegalkan tindakan perusahaan untuk merampas hak-hak buruh baik itu upah dan lain-lain. Ini tidak lain hanya praktik (eksploitasi) empiris pengusaha yang dilegalkan oleh undang-undang saja,” ujar Syaiun.

Lebih lanjut Syaiun mengatakan, dia tak hanya menolak rencana revisi UUK no.13 tahun 2003. UUK yang sekarangpun ditunjuknya sebagai  pangkal masalah fleksibilisasi tenaga kerja. Syaiun menuntut undang-undang yang pro buruh. Menurut pandangannya, momentum saat ini semestinya dimanfaatkan untuk mengobarkan semangat perjuangan buruh melawan eksploitasi oleh pengusaha. Menutup wawancara, Syaiun mengingatkan, andai kata revisi UUK tidak terlaksana, pemerintah akan selalu memiliki celah untuk merubah regulasi tersebut melalui peraturan-peraturan lainnya.

Reporter : Imam Hendarto

Editor : Soetomo