Trimurti–Aliansi Dosen ASN Kemendintisaintek Seluruh Indonesia (ADAKSI) melakukan aski simbolik pada tanggal 6 Januari 2025. Dikutip dari siaran persnya, ADAKSI menuntut pemerintah untuk segera menerbitkan Perpres yang mengatur pemberian Tukin bagi dosen ASN, memastikan alokasi anggaran Tukin dalam APBN 2025, memberikan jadwal pasti untuk pelaksanaan pemberian Tukin bagi dosen ASN. Tuntutan tersebut disampaikan melalui karangan bunga ke kantor Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi
Aksi ini adalah bentuk protes terhadap ketidakadilan yang dialami para dosen ASN. Jika pegawai lain di Kemendiksaintek telah diberi Surat Keputusan (SK) sebagai Aparatus Sipil Negara (ASN) dan langsung mendapatkan Tunjangan Kinerja (Tukin), para dosen justru belum mendapatkannya sejak 2020.
Dalam rilisnya ADAKSI mengatakan, pada akhir masa jabatan Menteri Nadiem Makarim, pemerintah menjanjikan Tukin dosen ASN akan terealisasi mulai Januari 2025. Namun, pernyataan terbaru Plt. Sekjen Kemendiktisaintek pada tanggal 3 Januari 2025, Togar Mangihut Simatupang, menyebutkan bahwa dana untuk Tukin belum tersedia dan belum diterbitkan Peraturan Presiden (Perpres) terkait tukin dosen ASN Kemendiktisaintek ini.
Satu minggu setelah aksi simbolik tersebut, akun instagram Aliansi Dosen ASN Kemendiktisaintek Seluruh Indonesia (ADAKSI) mengalami peretasan. Melalui unggahan akun instagram Serikat Pekerja Kampus (SPK), disebutkan bahwa peretasan tersebut terjadi pada 15 Januari 2025 yang diketahui melalui notifikasi adanya upaya login mencurigakan hingga akhirnya akun tersebut tidak bisa diakses sampai saat ini.
Dalam unggahan yang sama, salah satu netizen berkomentar meledek “bayar hacker bisa, bayar tukin dosen gak bisa 😂😂😂”.
Sementara itu, baru-baru ini, terpantau beberapa media juga merilis berita dengan headline persetujuan pemerintah untuk menganggarkan Tukin. Dalam berita yang dipublikasikan oleh Kompas.com dengan judul “Pemerintah Setujui Anggaran Tukin Dosen ASN Rp 2,5 Triliun” yang dipublikasikan pada 20 Januari 2025, ditulis bahwa Tunjangan Kinerja atau tukin dosen kini tinggal dicairkan saja.
Kompas menulis, kabar ini tentu sangat dinanti dosen ASN (Aparatur Sipil Negara) karena tukin-nya tertunda hingga lima tahun. Katanya, dengan adanya kepastian ini, dosen ASN tinggal menunggu proses penerbitan peraturan presiden (Perpres).
Tukin yang diserahkan pada dosen ASN Kemendikteksaintek adalah satu hak yang dari sekian hak lain yang belum kunjung dipenuhi oleh negara terhadap dosen dan pekerja kampus. Ditunggaknya Tukin selama 5 tahun sejak 2020, merupakan pengabaian negara terhadap hak-hak pekerja atau buruh selama ini yang menunjukan ketidakseriusan negara dalam mengurusi pendidikan warga negaranya.
Pada 20 Januari 2025, melalui aplikasi Whatsapp, Trimurti mewawancarai Dhia Al Uyun yang merupakan Ketua Serikat Pekerja Kampus (SPK) terkait ditunggaknya Tukin yang seharusnya diterima oleh dosen ASN Kemendikteksaintek sejak lima tahun yang lalu. Saat ini Serikat Pekerja Kampus (SPK) beranggotakan 1196 orang. Berikut wawancara kami:
Beberapa waktu lalu Aliansi Dosen ASN Kemendiktisaintek Seluruh Indonesia (ADAKSI) melakukan aksi menuntut dibayarkannya Tunjangan Kinerja dosen ASN. Bagaimana SPK melihat ini?
Serikat Pekerja Kampus (SPK) melalui pernyataan resminya dalam hal ini memang memperjuangkan kesejahteraan dalam artian keseluruhan. Artinya apakah itu kemudian yang diperjuangkan oleh teman-teman Aliansi Dosen ASN Kemendiktisaintek Seluruh Indonesia (ADAKSI) yaitu dosen-dosen satuan kerja di bawah Kementerian ataukah Badan Layanan Umum (BLU), ataukah Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN BH), ataukah dosen swasta, ataukah tenaga kependidikan lainnya, yang kemudian bernaung di pekerja kampus. Itu Serikat Pekerja Kampus (SPK) memiliki kewajiban di dalam AD ART-nya untuk memperjuangkan kesejahteraan mereka.
Apakah dengan begitu bisa dikatakan bahwa Serikat Pekerja Kampus (SPK) sendiri melihat perjuangan untuk menuntut tunjangan kinerja dosen ini sebagai sesuatu yang strategis bagi gerakan pekerja kampus?
Menuntut tunjangan kinerja ini sebagai sesuatu yang strategis menurut saya, kemarin juga tenaga ahli DPR juga ada yang mempertanyakan, begitu ya. Di sini, Serikat Pekerja Kampus posisinya adalah kesejahteraan untuk semuanya. Jadi perjuangan Tukin adalah bagian dari seluruh aspek kesejahteraan dosen begitu. Jadi setelah tukin harus ada yang lain yang harus diperhatikan yaitu juga tentang bagaimana kesejahteraan dosen secara keseluruhan, dengan mekanisme-mekanisme Beban Kinerja Dosen (BKD) yang mestinya itu juga harus dihapus, Sertifikasi Dosen (SERDOS) yang itu semestinya langsung given, tidak perlu kemudian ada tes-tes lagi gitu ya. Dan juga dengan jaminan-jaminan terhadap situasi kerja yang baik, K3 yang baik, begitu. Itu juga menjadi salah satu dorongan kami Serikat Pekerja Kampus termasuk juga bagaimana perhatian terhadap dosen-dosen swasta. Menteri kemarin malah mencabut Permendikbud Nomor 44 tahun 2024 yang sebenarnya itu menjadi jalan lampu hijau bagi dosen-dosen swasta untuk dijamin kesejahteraannya karena harus sesuai dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) di setiap wilayah.
Bagaimana dosen ASN mengelola keuangan mereka selama menunggu realisasi tunjangan yang telah dijanjikan?
Ada banyak sekali pekerjaan-pekerjaan sampingan yang dilakukan oleh kawan-kawan (dosen), termasuk juga di Instagram kemarin kami juga sudah publish. Ada yang menjadi makelar tanah, ada juga mereparasi listrik, ada juga yang menjadi ojol, ada juga yang mencari dana dari penghasilan penghasilan lain. Tapi memang di riset Gaji Minimum Beban Kerja Maksimum, 76% memang mencari pekerjaan sampingan, (bahkan ada juga yang sudah) bukan lagi mencari (pekerjaan sampingan, tapi) menjadikannya (sebagai penghasilan) harian mereka, sebagai bagian dari bagaimana mereka survive. Kadang-kadang narasi umumnya begini, mereka sering disebut tidak ikhlas (bekerja sebagai dosen). Padahal dengan tetap bekerja sebagai dosen meski penghasilan sampingan mereka lebih besar, (itu menunjukan) mereka ikhlas. Dengan kata lain, situasi di mana pekerjaan utama sebagai dosen jadi sampingan sementara pekerjaan sampingan jadi pekerjaan utama. Itu menunjukan hak-hak dosen sebagai pekerja tidak terpenuhi.
Jika para buruh di sektor manufaktur banyak yang terjebak dalam pinjaman online–disamping menambah pekerjaan–untuk bertahan hidup, apakah ini juga terjadi pada dosen dan pekerja kampus lainnya?
Kami masih belum memiliki data finalnya ya untuk itu. Tapi memang terutama teman-teman yang lanjut studi S3 itu memang banyak mengalami kesulitan keuangan, di mana kemudian melakukan pinjaman-pinjaman. Tapi kami belum dapat data pasti tentang jumlah pinjaman tersebut. Kita baru memulai untuk mendata dan semoga di tahun ini kami sudah bisa mengkomunikasikan berapa teman-teman yang terlilit hutang.
Apakah pekerjaan tambahan dan desakan tagihan pinjaman yang dihadapi oleh dosen mempengaruhi partisipasi mereka khususnya dalam aktivitas serikat pekerja kampus? Jika merujuk pada data yang dihimpun oleh Komite Hidup Layak, dua hal tersebut mempengaruhi partisipasi buruh dalam aktivitas serikat sehingga belakangan militansi buruh melemah. Apakah itu juga terjadi pada di sektor pekerja kampus?
Iya itu memang menjadi salah satu hal yang mempengaruhi. Tapi yang lebih utama dari itu adalah sebenarnya tentang larangan berserikat sendiri bagi dosen. Berbeda dengan kawan-kawan yang ada di pekerja pada umumnya yang tunduk di dalam undang-undang Nomor 2 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja. Kami yang ada di lingkungan kampus ini terhambat dengan ketentuan adanya Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) sebagai satu-satunya wadah yang diakui. Sedangkan di sisi lain kami melihat bahwa KORPRI tidak pernah memperjuangkan hak-hak kami. Ini juga menjadi salah satu permasalahan. Kami ingin memiliki hak yang sama, karena di dalam pasal 28 ataupun di dalam pasal 27 UUD 1945 menyebutkan hak untuk berserikat dan berkumpul itu adalah hak yang paling mendasar di dalam pengaturan hak asasi manusia. Itu mestinya juga menjadi hal yang utama.
Apakah bentuk pengekangan itu juga terjadi pada protes terkait tukin?
Ya pengekangan juga terjadi dalam proses kami berjuang mendapatkan hak-hak kesejahteraan. Di teman-teman (ADAKSI) juga mengalami situasi-situasi yang sama. apakah itu pengancaman, apakah itu teguran, apakah itu larangan untuk mogok dan seterusnya. Kemudian juga terkait dengan peretasan media sosial juga kami mengalaminya. Peretasan juga terjadi beberapa kali saat kami melakukan diskusi. Jadi ini adalah situasi-situasi tidak demokratis Jadi ada usaha-usaha sebenarnya untuk membuat bagaimana kemudian tuntutan kami ini tidak terselenggara. Padahal ini adalah hal yang menjadi prioritas mestinya dalam tata kelola perguruan tinggi.
Belakangan dikabarkan bahwa pemerintah menyetujui Tunjangan Kinerja Dosen, apakah berita ini dapat dikonfirmasi kebenarannya?
Sampai saat ini kami belum mendapatkan informasi tentang kebenaran itu. Selama belum masuk ke dalam nomor rekening, kami tidak mau kena PHP (diberi janji palsu) lagi ya. Kami sudah pernah dikabarkan bahwa Tukin akan cair Januari 2025 tapi nyatanya di Januari 2025 itu tidak muncul. Kami tidak mau dibohongi lagi, kami ingin ada surat yang jelas tentang jaminan bahwa Tukin itu memang dicairkan untuk semua ya.
Apakah pernyataan yang beredar di berbagai media tersebut merupakan salah satu bentuk atau upaya untuk meredam gejolak protes dari para dosen?
Tentu bukan kapasitas kami ya untuk merespon, apakah itu adalah upaya untuk membuat gejolak ini menurun. tapi sejak komunikasi dengan beberapa anggota DPR itu masih belum ada sinyalemen dari Kementerian untuk merealisasi janjinya. Jadi kami masih belum bisa mempercayai janji tersebut yang mengatakan akan mencairkan. Jadi oleh karena itu kami masih tetap menuntut tentang bagaimana kesejahteraan dosen ini diutamakan dengan take homepay 10 juta atau dengan Tukin untuk semua dosen.
Reporter: Abdul Harahap
Editor: Rokky Rivandy